Fujinkai

salah satu organisasi perkumpulan perempuan bentukan Jepang pada saat menjajah Indonesia

Fujinkai (婦人会) adalah salah satu organisasi perkumpulan perempuan bentukan Jepang pada saat menjajah Indonesia. Organisasi ini dibentuk bulan Agustus 1943.[1] Fujinkai didirikan atas dasar perkumpulan perempuan militan yang berada di Jepang dengan nama Dai Nippon Fujinkai. Para anggota Fujinkai di negara asalnya berjumlah 15 juta jiwa dengan rata-rata usia 20 tahun ke atas. Perkumpulan ini memiliki tugas menjaga pertahanan peperangan garis belakang, seperti mendukung majunya perekonomian dan pengadaan berbagai peralatan perang.[2]

Di Indonesia, Fujinkai mulai didirikan dari tingkat pusat sampai dengan tingkat paling bawah. Nama kelembagaannya disesuaikan dengan tingkat dan tempat kedudukannya, seperti penamaan Ken untuk kekuasaan tingkat kabupaten dan Si untuk tingkat kota. Para pemimpin perkumpulan adalah istri-istri kenko atau disebut juga bupati. Karena diprakarsai oleh para istri pegawai daerah dan diketuai oleh istri kepala daerah, organisasi ini mirip dengan Dharma Wanita (organisasi istri para pejabat sipil). Mengikuti organisasi ini adalah keharusan untuk para pamong praja baik di tingkat atas sampai tingkat kecamatan. Setiap anggota wajib menggerakkan tenaga para kaum perempuan. Anggota yang bisa berpartisipasi dalam organisasi ini adalah anak gadis yang berumur 15 tahun ke atas.[3] Kegiatan utama yang dilakukan adalah melakukan pelatihan pertolongan pertama atau penanganan kesehatan untuk pejuang yang terluka dalam peperangan, membantu urusan logistik untuk mendukung tentara Jepang dan digerakan dalam bidang domestik seperti menanam berbagai sayuran dan membuat baju dari bahan karung goni untuk dipakai para pekerja romusha. Hal ini terjadi karena di Indonesia belum memiliki industri peralatan perang, sehingga dalam perjalannanya Fujinkai hanya dilatih pendidikan militer sederhana. Pada tahun 1944 perkumpulan wanita ini berubah nama menjadi pasukan Srikandi. Dalam pertempuran, Fujinkai bertugas melakukan mobilisasi tenaga perempuan untuk mendukung tentara Jepang dalam Perang Pasifik.[4]

Upaya organisasi

sunting

Usaha-usaha yang dilakukan Fujinkai antara lain sebagai berikut.

  • Mengobarkan semangat cinta kepada tanah air dikalangan perempuan dan menanamkan rasa nasionalisme.
  • Menganjurkan agar berkorban dan rela menderita untuk tanah air dan bangsa.
  • Menyiapkan tenaga dalam rangka bersiap di belakang garis peperangan.
  • Menganjurkan pola hidup yang teratur dan selalu berhemat.
  • Memperbanyak hasil bumi dengan mengolah semua tanah dengan tanaman penghasil bahan makanan dan pakaian.
  • Menghidupkan pekerjaan tangan dan industri rumahan yang sederhana.
  • Mengadakan berbagai pelatihan keterampilan yang diperlukan.
  • Menghidupkan pekerjaan untuk memberantas pengangguran.[5][6]

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Fujinkai tertuang dalam regulasi khusus Jawa Hokokai bagian IV yang dipublikasikan di Kanpo pada tahun 1943 yang mencakup pelaksanaan segala sesuatu dengan nyata dan ikhlas untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat persaudaraan antara semua bangsa dan untuk memperkokoh pembelaan tanah air.[7] Pertengahan tahun 1944 kekuatan Angkatan Perang Jepang semakin terdesak oleh kekuatan Sekutu. Karena keadaan tersebut, pemerintah Jepang memperkuat badan-badan yang telah ada seperti Keibodan (Pembantu Polisi), Seinendan (Barisan Pemuda), Heiho (Pembantu Prajurit), dan PETA (Pembela Tanah Air) dengan membentuk Barisan Srikandi yang akan menjadi bagian dari Fujinkai. Pasukan ini benar-benar dipersiapkan sebagai pasukan tempur, karena mereka telah dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang kemiliteran[8]

Pada masa akhir pemerintahan pendudukan Jepang keadaan diwarnai kesusahan. Sandang dan pangan susah untuk didapat. Jepang menentukan jatah beras hanya 180 gram bagi setiap penduduk, padahal memperolehnya sangat sukar.[9] Romusha tersebar sampai ke Asia daratan sebagai tenaga kerja paksa serta tiba gilirannya menjadi manusia yang disia-siakan karena tidak lagi mendapat perhatian yang layak, karena itu banyak di antara mereka yang menghilang begitu saja. Untuk pulang ke kampung halaman tidak ada daya untuk mendukungnya. Untuk mengimbangi keadaan yang semakin genting tersebut kaum perempuan yang berpayung Fujinkai turun ke lapangan untuk memberikan penerangan-penerangan terhadap kaum ibu di di wilayah Tonarigumi (Rukun Tetangga) dalam usaha melakukan gerakan penghematan. Selain itu juga turut mengerjakan sawah dan ladang seperti mengetam padi, menanam kapas dan jarak.[10]

Barisan Srikandi

sunting

Dalam sidang parlemen di Jepang, Perdana Menteri Kuniaki Koiso merilis keputusan resmi Kekaisaran Jepang yang membuat pihak yang hadir di ruang sidang terkejut. Putusan tersebut menyatakan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada Bangsa Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sebelum wilayah tersebut dilumat oleh pasukan Sekutu. Putusan sidang ini dibacakan pada tanggal 7 September tahun 1944, sehingga memicu berbagai reaksi pihak-pihak penting yang berada di tanah air, termasuk salah satunya adalah organisasi perkumpulan perempuan yang telah dibuat oleh Jepang sebelumnya. Organisasi tersebut adalah Fujinkai. Dalam menyikap kondisi yang tidak menentu, Fujinkai segera mengadakan rapat yang bertempat di Taman Raden Saleh, Jakarta. Rapat ini diselenggarakan pada pertengahan bulan September tahun 1944. Nyonya R.A. Abdurrachman sebagai ketua Fujinkai Jakarta dalam rapat itu menyatakan keberatan jika kaum perempuan sama sekali tidak dilibatkan dalam upaya menyambutan kemerdekaan. Perjuangan perempuan Indonesia tidak berhenti begitu saja, tindak lanjutnya perkumpulan ini mengadakan pertemuan secara mandiri untuk menyambut kebahagiaan bahwa Indonesia akan segera merdeka di masa datang. Yang paling penting adalah terlepas dari penjajahan Jepang.[4]

Pada awalnya, kaum perempuan Indonesia tidak mau bergabung dengan Fujinkai. Tapi, seiring dengan waktu terbesit motif melanjutkan pergerakan emansipasi perempuan melalui berbagai kegiatan organisasi tersebut. Negosiasi secara tidak langsung kepada pihak Jepang telah dilakukan sejak awal. Malah sebagaian tuntutan tersebut ada yang sesuai dengan ideologi fasisme yang berlaku di Jepang. Dari tahun 1943, Jepang sudah berupaya memupuk jiwa militan di kalangan kaum perempuan Indonesia melalui serangkaian kegiatan propaganda. Bukti nyatanya adalah pembentukan badan-badan semi-militer istimewa yang diberi nama Barisan Srikandi. Barisan Srikandi adalah bagian dari fujinkai (pangreh praja) yang berdiri secara resmi pada April 1944 di Jakarta. Untuk menghilangkan kesan dikuasai Jepang, badan ini menunjuk Sudharti Sutarjo (Putri Residen Jakarta) sebagai pimpinan sekaligus pelatih yang memiliki bawahan tiga guru perempuan. Barisan ini merupakan barisan yang paling istimewa, karena setiap anggotanya harus ikut dalam setiap pelatihan keprajuritan di berbagai tangsi militer. Selain itu, mereka dibekali ilmu tatakrama dan adat perempuan. Hal ini dilakukan agar jiwa, jasmani, dan rohani Barisan Srikandi tergembleng oleh berbagai menu latihan ilmu keprajuritan. Tujuan utamanya adalah agar mereka bisa menjadi pemimpin di kalangan perempuan yang memiliki karakter unggul dan berbudi luhur, di samping tugas dalam kehidupan sehari-hari menjadi ibu rumah tangga.[7]

Barisan Srikandi sengaja dipersiapkan dalam rangka menghadapi perang pasifik lantaran dalam pelatihan militernya terlihat proporsi yang sangat unggul. Tapi, harapan Jepang untuk menerjunkan barisan ini di garis depan tidak pernah terwujud. Bertepatan dengan Indonesia merdeka, Fujinkai dan seluruh sub-organisasinya juga dibubarkan oleh pemerintah. Setelah merebaknya kabar Jepang kalah pada tanggal 14 Agustus 1945, beberapa orang anggota Barisan Srikandi jadi perempuan pertama yang ikut menyebarkan luaskan berita gembira tersebut ke seluruh Jakarta. Bersama dengan gerakan pemuda bawah tanah, mereka melakukan aksi perampasan berbagai senjata dan bahan baku pembuatan bendera di gudang persediaan milik Tentara Jepang. Dalam serangan tersebut, Barisan Srikandi ikut menurunkan bendera Jepang di berbagai kantor dan menggantinya dengan Sang Merah Putih. Setelah itu, anggota yang berpartisipasi ditugaskan untuk membagikan bendera pusaka tersebut ke seluruh Jakarta.[4]

Sepanjang peperangan revolusi, anggota Barisan Srikandi menyebar ke berbagai penjuru di Pulau Jawa. Banyak juga yang memilih berjuang bersama-sama dengan Laskar Wanita Indonesia (Laswi) untuk mempertahankan berbagai wilayah di Bandung. Malah beberapa orang ada juga yang tercatat sebagai pelopor berdirinya Kelaskaran Pemuda Putri Republik Indonesia yang sangat aktif dalam pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945.[4]

Pertentangan

sunting

Berdirinya Fujinkai mendapatkan pertentangan dari aktifis perempuan Indonesia. Nyai Suyatin Kartowiyono, seorang pencetus gagasa kongres perempuan Indonesia pertama, dalam suatu pertemuan resmi dengan pihak Jepang menyampaikan penolakan kerjasama untuk kepentingan Jepang. Ini terjadi ketika Shimitzu (Kepala Bagian Propaganda Jepang) dalam rapat tersebut mengajak bergabung kepada seluruh perempuan Indonesia untuk membentuk suatu perkumpulan yang dinamakan Fujinkai. Setelah ditolak mentah-mentah, Nyai Suyatin Kartowiyono justru mengusulkan untuk memberdayakan organisasi perempuan yang sudah ada. Beliau meminta kepada pemerintah untuk mendukung dan menghidupkan kembali pergerakan kaum perempuan yang sudah mengakar di berbagai daerah di Indonesia. Mendengar usul yang sangat bersemangat tersebut, pemimpin rapat memberikan secarik kertas pada Nyai Suyatin Kartowiyono. Isinya adalah peringatan keras yang bertuliskan hati-hati kempetai, tapi teguran tersebut tidak mematahkan semangatnya untuk memperjuangkan kesinambungan perkumpulan perempuan. Setelah rapat, banyak berita yang menyebutkan bahwa Nyai Suyatin Kartowiyono masuk dalam daftar hitam kempetai (tentara Jepang).[10]

Selain itu, pertentangan juga datang dari Aisyiyah sebagai organisasi perempuan yang telah mengakar. Oleh pamerintahan Jepang, Aisyiyah dilarang melakukan gerakan sosial. Organisasi yang berwenang hanya Fujinkai. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka pemeliharaan anak yatim perempuan oleh Aisyiyah terpaksa diserahkan kepada Muhammadiyah. Tetapi dalam pelaksanaannya anggota-anggota Aisyiyah lainnya secara diam-diam terus melakukan kegiatan. Mereka terus aktif mengumpulkan infak dan sedekah berupa uang atau beras dan juga mengumpulkan pakaian-pakaian bekas dari dermawan yang kemudian diberikan kepada fakir miskin. Salah satu kegiatan yang paling menonjol adalah perayaan Nujulul Quran dan perayaan Hari Kartini sebagai penghormatan atas jasa-jasanya. Sehubungan dengan larangan yang diinstruksikan pemerintahan Jepang, maka untuk memperoleh izin, Nyai Arini Suwandi beserta lima orang anggotanya menghadap pembesar Jepang yang berkedudukan di Gedung Agung, Yogyakarta. Dengan mengajukan berbagai alasan yang meyakinkan, pada akhirnya penguasa Jepang memberikan izin dengan beberapa syarat sebagai berikut.

  • Tidak boleh melantunkan Indonesia Raya.
  • Tidak boleh mengibarkan bendera Merah Putih.
  • Peserta didik boleh lebih dari 500 orang.
  • Waktu pelaksanaan tidak boleh lewat dari pukul 22.00.
  • Untuk keamanan diadakan penjagaan oleh tentara Jepang.

Perayaan diselenggarakan di Gedung CHTH atau gedung KONI, Yogyakarta. Acara berlangsung dengan tertib dan teratur. Kemudian Nyai Arini ditunjuk sebagai pimpinan Fujinkai, meskipun awalnya dia menolak, tetapi pada akhirnya bersedia juga.[11]

Pembubaran

sunting

Pada masa kemerdekaan, Fujinkai dibubarkan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan melalui kongres pada 16 Desember 1945. Mantan anggota Fujinkai kemudian bergabung menjadi Persatuan Wanita Indonesia (Perwari).[12] Dengan membubarkan Fujinkai, kemudian kaum perempuan membentuk barisan-barisan untuk mendukung perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pengalaman-pengalaman selama bergabung dengan Fujinkai dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan. Akan tetapi karena keadaan geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau menyulitkan penyebaran berita yang perlu disampaikan dalam waktu singkat. Organisasi-organisasi perempuan di setiap daerah dibentuk, di antaranya di Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Medan dan di berbagai daerah lainnya. Sehubungan dengan itu kaum wanita Jawa Barat yang aktif mengikuti perkembangan Jakarta dengan segera membentuk wadah perjuangan yang bergerak dalam kepalang-merahan, dapur umum, dan kegiatan lainnya.[13] Dalam rangka menyambut kemerdekaan, kaum wanita di wilayah Indonesia bagian barat, kaum khususnya kaum wanita di Sumatera Utara sampai ke Selatan bangkit bersama kaum pria secara bersamaan. Aktifitas kaum wanita bukan saja mempersiapkan diri di garis belakang seperti dapur umum, tetapi juga telah terpanggil untuk menghimpun dana perjuangan berupa barang perhiasan seperti yang dilakukan wanita Aceh. Untuk memperkuat barisan, maka tokoh-tokoh perempuan dari Aceh, Sumatra Timur, dan Tapanuli yang ketika itu tergabung dalam wilayah Sumatera Utara membentuk barisan Srikandi. Barisan ini dipersiapkan dengan keterampilan militer, dapur umum, dan keterampilan operator radio. Kaum wanita di Sulawesi Selatan juga turut aktif bersama para pemudanya untuk berjuang menyambut kemerdekaan. Tokoh-tokoh perempuan daerah ini tampil dengan mendirikan organisasi perempuan ataupun kelaskaran.[14]

Perwari dan Laswi

sunting

Setelah proklamasi, armada Sekutu yang ditunggangi Belanda datang ke Indonesia. Orang-orang bersiap dan berhimpun untuk menanggulangi suasana yang panik dan tidak menentu. Termasuk organisasi perempuan yang telah tumbuh dan mengakar dalam pergerakannya. Sebagai pelopor organisasi perempuan setelah kemerdekaan, Perwari yang dirintis dari masa kekuasaan Fujinkai mengadakan kongres yang pertama pada tanggal 17 Desember 1945 dalam rangka membahas kelanjutan perjuangan perempuan di Indosesia, namun kongres ini tidak menghasilkan apa-apa.[15]

Setelah kongres Perwari selesai, Nyonya Djatmani Suparta yang berpengalaman dalam menjalankan organisasi Fujinkai, memutuskan bergabung dengan Laswi cabang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tapi, ada penolakan dari orang tua terutama berkaitan dengan reputasi Laswi yang telah identik dengan citra pasukan tentara. Selain seorang Nyonya Djatmani, Laswi juga banyak merekrut anggota dari kalangan perempuan revolusioner serta aktif berorganisasi. Seperti pendiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Umi Sardjono dan Tris Metty yang pernah digembleng oleh Laswi. Laswi berdiri atas dasar komando Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Jawa Barat. Setelah tersiar kabar Sekutu datang, Sumarsih yang merupakan istri dari komandan Badan Keamanan Rakyat Divisi III Provinsi Jawa Barat Arudji Kartawinata berusaha untuk meyakinkan para pimpinan TKR di Jawa Barat supaya perempuan Bandung diberikan izin untuk berperang. Perjuangan Sebenarnya perjuangan Laswi dimulai ketika pasukan Inggris dan Gurkha datang di stasiun Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Pasukan Laswi berdiri untuk membantu para TKR di garis belakang dalam rangka pertempuran mempertahankan Bandung. Tapi, kadang juga dilibatkan di garis depan peperangan. Para perempuan dalam organisasi Laswi banyak mendapat berbagai pelatihan kedisiplinan, cara menembak, dan mempelajari siasat dalam bertempur serta pertahanan langsung saat peperangan dari TKR. Banyak juga anggota Laswi yang dididik di bawah Barisan Srikandi. Maka dari itu, Laswi berkembang menjadi laskar perempuan dengan kedisiplinan dan solidaritas yang tinggi dengan sesama pejuang kemerdekaan.[15]

Penghujung bulan Oktober tahun 1945, Radio Pemberontakan memberikan kritik yang cukup menohok atas kegagalan laskar Jawa Barat merebut markas Kempetai Kiaracondong, Kota Bandung. Kritikan ini menjadi pemicu pertikaian dan menimbulkan kesalahpahaman di kalangan para pejuang. Puncaknya adalah ada anggota Laswi menembak mati salah seorang tentara Gurkha untuk membela laskar Jawa Barat. Sumarsih Subiyati selaku Ketua Laswi pada saat itu sangat hati-hati membawahi Laswi supaya tidak ada pelanggaran moral yang dilakukan masyarakat. Maka dari itu, Sumarsih melarang keras segala hubungan percintaan dalam tangsi militer terutama pada anggota Laswi yang masih gadis. Laswi juga sering mendampingi para tentara sepanjang perang revolusi berlangsung. Sekilas, Laswi tampak seperti bala tentara perempuan. Bahkan setiap anggotanya diberi pangkat kemiliteran, meski hanya sementara saja. Laswi cenderung berjuang lebih keras dalam menuntut kedaulatan negara. Setelah itu, Laswi juga sempat bergabung dengan perkumpulan perempuan Solo yang terkenal dengan nama Laskar Putri Indonesia (LPI).[15]

Referensi

sunting
  1. ^ ix, untuk smp/mts kelas. Ilmu Pengetahuan Sosial 3. Grasindo. hlm. 29. ISBN 978-979-462-882-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-08-07. 
  2. ^ Mackie, Vera (2003-02-26). Feminism in Modern Japan: Citizenship, Embodiment and Sexuality (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 109. ISBN 978-0-521-52719-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-08-09. 
  3. ^ Panitia Kongres Wanita Indonesia. (1986). Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 85
  4. ^ a b c d "Barisan Srikandi: Laskar yang Lahir dari Propaganda Jepang". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-18. Diakses tanggal 2020-08-03. 
  5. ^ Sumbangsihku bagi pertiwi: (kumpulan pengalaman dan pemikiran). Yayasan Wanita Pejoang. 1984. hlm. 30. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-09-03. 
  6. ^ Peranan wanita Indonesia di masa perang kemerdekaan 1945-1950. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan Nasional. 2001. hlm. 21. ISBN 978-979-699-037-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-09-03. 
  7. ^ a b The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: In cooperation with the Netherlands Institute for War Documentation (dalam bahasa Inggris). BRILL. 2009-12-14. hlm. 293. ISBN 978-90-04-19017-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-08-08. 
  8. ^ Ohorella, G. A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992-01-01). Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 40. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-09-03. 
  9. ^ Soebagiyo IN. (1982). Trimurti Wanita Pengabdi Bangsa. Jakarta: Gunung Agung. Hal. 58
  10. ^ a b Ohorella, G. A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992-01-01). Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 43. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-08-07. 
  11. ^ Sumbangsihku bagi pertiwi: (kumpulan pengalaman dan pemikiran). Yayasan Wanita Pejoang. 1985. hlm. 38. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-09-03. 
  12. ^ Musman, Asti. WONG WADON: Peran dan Kedudukan Perempuan Jawa dari Zaman Klasik hingga Modern. Anak Hebat Indonesia. hlm. 98. ISBN 978-602-5469-74-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-09-03. 
  13. ^ Ohorella, G. A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992-01-01). Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 76. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-09-03. 
  14. ^ Ohorella, G. A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992-10-01). Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pergerakan Nasional. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 79. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2020-09-03. 
  15. ^ a b c "Laskar Wanita Indonesia: Pantang Bercinta demi Indonesia Merdeka". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-07. Diakses tanggal 2020-08-07.