Frot (kependekan dari frottage, dari bahasa Prancis: frotter, "menggesek") adalah sebuah bentuk seks nonpenetratif pada lelaki seks lelaki ketika penis disentuhkan ke penis pasangan.[1] Istilah ini dipopulerkan oleh aktivis pria gay yang tidak menyukai praktik seks anal[1] namun kini tidak lagi terkait dengan itu. Karena frot tidak melibatkan penetrasi sehingga meminimalkan penyebaran HIV/AIDS, frot dinilai cenderung lebih aman. Akan tetapi, frot masih dapat menularkan penyakit lainnya seperti HPV dan kutu kelamin.[2][3]

Ilustrasi dua orang pria yang saling menggesekkan penis mereka.

Konsep dan etimologi

sunting

Primatologi mengenal istilah genital-genital (GG) rubbing untuk mendeskripsikan perilaku seksual seperti tribadisme pada bonobo betina[4][5] serta pada pejantan (yang kadang disebut anggar penis [penis fencing]).[4] Karena itu, perilaku saling menggesekkan penis antara pejantan diperkirakan telah ada sebelum pemisahan evolusi antara manusia dengan bonobo.[6]

Definisi modern dari frot muncul dalam konteks perdebatan mengenai seks anal di kalangan pria gay. Beberapa yang tidak menyukai seks anal lebih memilih frot dan menganggap seks anal harus dihindari.[1] Aktivis gay, Bill Weintraub, mulai mengkampanyekan istilah frot untuk menyebut penggesekan penis dan penis di forum-forum Internet pada akhir tahun 1990-an. Ia menyebutkan bahwa kata bahasa Prancis frottage dapat digunakan untuk perilaku erotis apapun yang melibatkan penggesekan sementara frot hanya berlaku untuk penis dan penis.[7] Istilah lainnya adalah frictation, yang juga dapat memiliki arti seperti frottage,[8] sword-fighting, Oxford style, Princeton rub, dan Ivy League rub.[7]

Seks aman

sunting

Karena frot tidak melibatkan penetrasi, risiko menularnya sebuah penyakit menular seksual (PMS) dapat berkurang dengan tidak adanya kontak antara membran mukosa dengan cairan praejakulasi atau semen. Hal ini membuat frot dipandang sebagai seks yang lebih aman. Penelitian menunjukkan tidak ada risiko penularan HIV melalui frot.[2][9][10] Meskipun demikian, frot masih dapat menularkan penyakit lainnya seperti HPV dan kutu kelamin.[2][3]

Perbandingan dengan seks anal

sunting

Beberapa pria gay ataupun lelaki seks lelaki (LSL) cenderung memilih frot atau bentuk masturbasi bersama lainnya karena dinilai lebih nyaman dan lebih emosional ketimbang seks anal. Sebagian lainnya beralasan frot merupakan pilihan alternatif yang lebih aman daripada penetrasi anal.[1][11][12][13] Beberapa pendukung frot menyatakan bahwa posisi seperti top dan bottom membuat adanya ketidaksetaraan dalam seks.[1][14] Pandangan tersebut diperdebatkan oleh ilmuwan yang menyebut bahwa tidak ada bukti jelas yang dapat menunjukkan pola umum atau maskulinitas pada hubungan pria gay. Seks anal dapat dipandang sebagai hal maskulin masing-masing pasangan.[15] Seks anal sering dianggap merupakan seks yang biasa pada LSL.[16] Beberapa LSL menolak alasan-alasan pendukung frot dan menilai frot sebagai hubungan intim yang lebih rendah.[7] Psikolog, Walt Odets, berpikiran bahwa seks anal bagi pria gay dapat dipandang sebaga kesamaan dengan seks penis-vagina bagi orang heteroseksual. Karena itu, tidak akan mungkin dapat meminta pria gay berhenti melakukan seks anal sama halnya dengan meminta orang heteroseksual berhenti melakukan seks penis-vagina.[1]

Seksolog dan ahli psikoterapi, Joe Kort, mengajukan istilah side untuk pria gay yang tidak tertarik dengan seks anal dan lebih memilih hubungan intim lainnya. Ia menilai bahwa seseorang yang tidak menyukai seks anal buakn berarti ia tidak dapat berhubungan seks "betulan".[17]

Prevalensi

sunting

Sebuah survei tahun 2011 terhadap pria gay dan biseksual menemukan bahwa seks yang dilakukan, yang paling umum (16%), adalah, "memeluk pasangan secara romantis, mencium mulut pasangan, masturbasi sendiri, memasturbasi pasangan, menerima masturbasi dari pasangan, serta kontak antara kelamin."[18]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f "The New Sex Police". The Advocate. 2005-04-12. hlm. 39–40, 42. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2011-02-12. 
  2. ^ a b c "Sexual Risk Factors". AIDS.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 201-05-02. Diakses tanggal 2012-06-08. 
  3. ^ a b Hales, Dianne (2008). An Invitation to Health Brief 2010-2011. Cengage Learning. hlm. 269–271. ISBN 978-0495391920. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2013-08-29. 
  4. ^ a b de Waal, Frans B. M. (March 1995). "Bonobo Sex and Society" (PDF). Scientific American. 272 (3): 58–88. doi:10.1038/scientificamerican0395-82. PMID 7871411. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 27 January 2012. Diakses tanggal 21 December 2011. They also practice so-called penis-fencing, in which two males hang face to face from a branch while rubbing their erect penises together. ...Perhaps the bonobo's most typical sexual pattern, undocumented in any other primate, is genito-genital rubbing (or GG rubbing) between adult females. One female facing another clings with arms and legs to a partner that, standing on both hands and feet, lifts her off the ground. 
  5. ^ Paoli T, Palagi E, Tacconi G, Tarli SB (Apr 2006). "Perineal swelling, intermenstrual cycle, and female sexual behavior in bonobos (Pan paniscus)". Am J Primatol. 68 (4): 333–47. doi:10.1002/ajp.20228. PMID 16534808. 
  6. ^ M., Hodge; Blackwood, Evelyn; Dickemann, Jeffrey M.; Jones, Doug; Muscarella, Frank; Vasey, Paul L.; Williams, Walter L. (2000). "The Evolution of Human Homosexual Behavior". Current Anthropology. 41 (3): 385–413. doi:10.1086/300145. PMID 10768881. 
  7. ^ a b c Piepenburg, Erik. "What's Rub Got to Do With it?". Out. No. Maret 2006. hlm. 74, 76. Diakses tanggal 2011-02-18. 
  8. ^ "Aaron's Dictionary of Gay Terms, F". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-12. 
  9. ^ Kelly, Jeffrey A (October 1995). "Advances in HIV/AIDS education and prevention". Family Relations. National Council on Family Relations. 44 (4): 345–352. doi:10.2307/584989. JSTOR 584989. 
  10. ^ Pilowsky, Daniel; Wu, Li-Tzy (2015). "Sexual risk behaviors and HIV risk among Americans aged 50 years or older: a review". Substance Abuse and Rehabilitation: 51–60. doi:10.2147/SAR.S78808. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-20. Diakses tanggal 2019-07-06. 
  11. ^ Joseph Gross, Michael (2003). Like a Virgin. The Advocate. Here Publishing. hlm. 44–45. 0001-8996. Diakses tanggal 2011-03-12. 
  12. ^ Edwin Clark Johnson; Toby Johnson (2008). Gay Perspective: Things Our Homosexuality Tells Us about the Nature of God & the Universe. Lethe Press. hlm. 139. ISBN 978-1-59021-015-4. Diakses tanggal 2011-02-12. 
  13. ^ Steven Gregory Underwood (2003). Gay men and anal eroticism: tops, bottoms, and versatiles. Psychology Press. hlm. 4. ISBN 978-1-56023-375-6. Diakses tanggal 2011-02-12. 
  14. ^ Dolby, Tom. "Why Some Gay Men Don't Go All The Way". Out. No. Februari 2004. hlm. 76–77. Diakses tanggal 2011-02-12. 
  15. ^ Harvey, John H.; Wenzel, Amy; Sprecher, Susan (2004). The handbook of sexuality in close relationships. Routledge. hlm. 355–356. ISBN 978-0805845488. Diakses tanggal 2011-03-12. 
  16. ^ Bell, Robin (13 February 1999). "Homosexual men and women". BMJ. 318 (7181): 452–5. doi:10.1136/bmj.318.7181.452. PMC 1114912 . PMID 9974466. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-11. Diakses tanggal 9 November 2011. 
  17. ^ Kort, Joe (2013-04-16). "Guys on the 'Side': Looking Beyond Gay Tops and Bottoms". Huffington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-26. Diakses tanggal 2014-02-13. 
  18. ^ Rosenberger, Joshua G. (2011). "Sexual Behaviors and Situational Characteristics of Most Recent Male‐Partnered Sexual Event among Gay and Bisexually Identified Men in the United States". The Journal of Sexual Medicine. 8 (11): 3040–3050. doi:10.1111/j.1743-6109.2011.02438.x. PMID 21883941.