Fitoremediasi Merkuri

Kata fitoremediasi berasal dari gabungan antara Bahasa Yunani phyto (‘tanaman’) dan Bahasa Latin remedium (‘menyembuhkan dari yang jahat’). Kata fitoremediasi pertama kali diciptakan oleh Ilya Raskan pada 1994. Fitoremediasi adalah teknik untuk memfasilitasi reklamasi tanah dan air oleh tanaman. Reklamasi tersebut dilakukan tanaman dengan cara mengakumulasi polutan pada tanaman, mengindikasikan keberadaan polutan, dan/atau mengekstruksi polutan ke permukaan. Polutan yang dimaksud dapat berupa polutan organik ataupun polutan anorganik. Teknik fitoremediasi terbagi menjadi lima tipe, yaitu fitoekstraksi, rhizofiltrasi, fitostabilisasi, fitodegradasi, dan fitovolatilisasi. Fitoremediasi juga dapat dilakukan secara in situ dan ex situ bergantung dari keadaan yang terjadi.[1]

Logam berat yang menjadi salah satu sumber polutan anorganik dapat berasal dari pestisida dan pupuk, lumpur, gas buang kendaraan, pabrik peleburan, residu dari tambang tembaga, dan emisi dari incinerator. Logam-logam ini mencemari tanah karena konsentrasi yang tinggi, apalagi jika sudah tidak terpakai dan menjadi karat sehingga mempengaruhi kesehatan manusia dan lingkungan. Hal ini juga meningkatkan tingginya laju kematian dan rusaknya lahan pertanian.[1]

Salah satu logam berat yang menjadi kontaminan paling berbahaya adalah merkuri (Hg). Merkuri merupakan senyawa non-esensial dan merupakan salah satu bahan yang paling berbahaya dan beracun. Merkuri juga bertanggung jawab terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Tanaman dapat mengubah merkuri menjadi bentuk yang lebih tidak toksik. Proses fitoremediasi yang terjadi pada penguraian merkuri adalah fitovolatilisasi. Rekayasa genetika dapat membantu tanaman untuk meningkatkan toleransinya terhadap merkuri sehingga proses fitoremediasi menjadi lebih efektif.[1]

Hiperakumulator Alami dan Tanaman Transgenik

sunting

Beberapa spesies tanaman dapat mengakumulasikan logam pada jaringan atas tanah pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada konsentrasi logam yang ada di tanah. Tanaman ini dapat disebut sebagai hiperakumulator ketika konsentrasi logam yang diakumulasi 50–100 kali lebih tinggi (tergantung jenis logam) daripada konsentrasi logam yang ada pada tanaman non-akumulator. Tanaman hiperakumulator telah dimanfaatkan dalam fitoremediasi. Tanaman hiperakumulator dapat dihasilkan melalui selective breeding (alami) dan rekayasa genetik yang menghasilkan tanaman transgenik.[2]

Metode selective breeding memiliki proses yang lebih sederhana untuk mendapatkan tanaman hiperakumulator dari non akumulator dan akumulator. Hal ini disebabkan karena mekanisme hiperakumulasi melibatkan berbagai tahapan di berbagai bagian tanaman yang dimulai dari peningkatan penyerapan logam ke dalam akar, xylem loading, translokasi ke pucuk (shoot) melalui transpor ligand, unloading dan akhirnya penyimpanan di vakuola. Berbagai protein transpoter juga menunjukkan regulasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor (umur, jaringan, jenis logam) yang berbeda.[2]

Oleh karena itu, untuk membuat tanaman hiperakumulator melalui rekayasa genetik dari tanaman non-akumulator, harus dilakukan modifikasi ekspresi berbagai gen di berbagai jaringan yang spesifik, kemungkinan pada berbagai tahap tanaman dan ontogenesis daun. Hal ini menyebabkan tanaman hiperakumulator alami lebih dipilih, kecuali ditemukan “switch gene” umum yang dapat mengubah ekspresi semua gen lain yang terlibat dalam hiperakumulasi.[2] Sedangkan, tanaman transgenik dari hiperakumulator dapat dimodifikasi sehingga memiliki koefisien bioakumulasi yang lebih tinggi dan tanaman tidak hanya dapat mengakumulasi logam tetapi dapat melakukan fitoremediasi (mengubah logam yang berbahaya menjadi bentuk yang tidak berbahaya).[3]

Gen Pengatur Kemampuan Remediasi

sunting

Gen yang mengatur kemampuan organisme dalam melakukan fitoremediasi bagi lingkungan adalah kompleks gen rekombinan merA, merB, merC. Kompleks gen ini secara spesifik berperan menguraikan atau meremediasi cemaran logam merkuri. Gen merA mengkodekan ion merkuri reduktase yang berperan menguraikan dan mendetoksifikasi bentuk asli logam merkuri menjadi bentuk elementalnya, dengan reaksi sebagai berikut.[1]

Gambar 1 Reaksi gen merA[1]

Gen merB sebenarnya adalah gen milik bakteri yang mengkode organomercurial lyase berperan memotong (cleaved) merkuri organik alami menjadi bentuk metana dan ion merkuri. Dengan kata lain, membuat merkuri alami, menjadi less toxic .[1]

Gambar 2 Reaksi gen merB[1]

Gen merC terdapat pada organel sel tumbuhan. Gen ini memiliki peran yang sangat signifikan, terutama dalam proses transporter merkuri. Gen ini membantu mengubah merkuri yang toksik maksimum menjadi less toxic .[1]

Gambar 3 Reaksi gen merC.[1]

Jenis tanaman, gen, tempat ekspresi, dan tingkat resistensi

sunting

Beberapa jenis tanaman sudah digunakan untuk penelitian fitoremediasi ini, antara lain Arabidopsis thaliana, yaitu tanaman dari famili Brassicaceae. Tanaman ini sering digunakan sebagai media ekspresi gen dalam teknologi rekayasa tanaman. Proses rekayasa pada tumbuhan ini dilakukan dengan menyisipkan gen merA dan diekspresikan secara spesifik pada bagian akar. A. thaliana ini memiliki tingkat resistensi mencapai 80 μM HHgCl2. Gen merA banyak diaplikasikan secara spesifik untuk berekspresi di bagian akar, karena akar adalah bagian tumbuhan yang paling rentan terhadap cemaran logam merkuri. Tanaman lain yang digunakan sebagai media ekspresi adalah padi (Oryza sativa). Tanaman padi juga disisipkan gen merA sebagai perkembangan tumbuhan dan memiliki resistensi mencapai 250 μM HgCl2 untuk tanaman rekombinasi dan untuk tipe liar memiliki resistensi hanya 150 μM HgCl2. Tumbuhan lain ada Spartina alterniflora atau tanaman rumput-rumputan yang resisten hingga 500 μM HgCl2 ketika sudah direkayasa. Ada pula tanaman Chlorella sejenis mikro alga yang memiliki resistensi 40 μM HgCl2 setelah disisipkan merA.[3]

Secara umum, gen merA mampu memproteksi tanaman, namun tidak dalam pencemaran skala besar dan high toxicity mercury. Tanaman membutuhkan kombinasi kerja gen merA dan merB untuk melindungi sel dari logam merkuri organik, karena bentuk organik merkuri lebih berbahaya daripada bentuk inorganiknya. Ketika gen merB ini disisipkan ke genom inti sel tanaman A. thaliana resistensinya meningkat sebanyak 1 μM PMA (phenylmercuric acetate). Namun, ketika tanaman ini dikombinasikan gen merA dan merB resistensinya mengkat sebanyak 5 μM PMA. Lokasi ekpresi dari gen-gen tersebut berada di retikulum endoplasma dan dinding sel untuk gen merB. Sedangkan kombinasi 2 gen tersebut terekspresi di sitoplasma.[3]

Rekombinasi gen merA dan merB pada genom kloroplas

sunting

Aktivitas reaksi redoks yang dikatalisis oleh ekspresi gen merA dan merB membutuhkan ketersediaan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dalam jumlah yang banyak sebagaidonor elektron. NADPH dihasilkan oleh reaksi yang terjadi dalam kloroplas, yaitu fotosistem 1. Kebutuhan akan NADPH yang tinggi menyebabkan kebergantungan enzim (MerA) terhadap keberadaan kloroplas. Senyawa organomerkuri (senyawa organik yang mengandung merkuri) bersifat sangat toksik bagi kloroplas. Oleh sebab itu, modifikasi genetik pada genom kloroplas diperlukan agar tercipta kondisi yang mendukung fungsi kerja enzim untuk mendetoksifikasi merkuri yang disandikan oleh gen merA dan merB.[4]

Untuk mendapatkan tingkat resistensi yang lebih tinggi (> 5–10 μM PMA), kloroplas memerlukan proteksi terhadap toksik merkuri, karena kloroplas merupakan target utama racun Hg. Toksik merkuri dapat menginhibisi kinerja kloroplas, seperti transpor elektron, reaksi Hill, fotofosforilasi, fotosintesis, metabolisme sulfur atau nitrogen, dan sintesis pati, asam amino, asam lemak, pigmen, serta vitamin. Rekombinasi genetik kloroplas keuntungan, yaitu dapat dikembangakan pada tanaman transgenik yang membutuhkan ekspresi multiple gen untuk meningkatkan efektivitas fitoremediasi. Dengan transformasi kloroplas, beberapa jalur biosintesis dapat dikembangkan dalam satu transformasi, tanpa membutuhkan backcross dengan galur tertentu. Keuntungan lainnya adalah mampu menutupi kekurangan dari transformasi inti, seperti gene silencing dan efek posisi. Tingkat ekspresi gen yang tinggi dapat diperoleh karena setiap sel tanaman transgenik memiliki lebih dari 10.000 kopi gen.[3]

Di samping beberapa keuntungan yang telah disebutkan, ada beberapa kekurangan pada metode transformasi kloroplas, yaitu membutuhkan vektor spesifik spesies, sehingga sekuens genom kloroplas perlu diketahui, khususnya pada bagian intergenic spacer dan endogenous regulatory sequences (promotor, 5′UTR, 3′UTR), untuk merancang vektor spesifik spesies. Kekurangan lainnya adalah homoplasmy (integrasi gen ke dalam setiap genom kloroplas dan mengeliminasi genome kloroplas nontransforman). Fitoremediasi melalui genom kloroplas berlangsung dengan baik, karena merkuri, khususnya dalam bentuk organik, ditargetkan pada kloroplas. Merkuri ion reduktase berfungsi dengan baik di dalam kloroplas karena NADPH yang berlimpah. Keberhasilan fitoremediasi juga ditandai melalui efisiensi volatilitas Hg0, yang disebabkan oleh aktivitas merkuri ion redukase dan organomerkuri liase pada kloroplas transgenik.[3]

Konstruksi vektor kloroplas yang terdiri dari gen merA dan merB

sunting

Gen merA dan merB, yang berasal dari bakteri, diklon pada vektor transformasi kloroplas. Dengan vektor ini, gen yang akan ditransformasi dapat berintegrasi secara site-specific pada situs pengulangan genom kloroplas, di antara trnI dan trnA. Promotor konstitutif Prrn, mengatur proses transkripsi pada downstream, termasuk aadA (gen aminoglycoside 3′- adenylyltransferase) yang menyandikan gen resistensi spectinomycin, dan operon merAB.[4]

Ada dua metode pembuatan vektor transformasi kloroplas. Pada metode pertama, 3′untranslated region (3′UTR) dari gen pssbA kloroplas diinsersi pada downstream operon merAB, sehingga proses transkripsi berlangsung dengan stabil. Pada metode kedua, vektor tidak memiliki psbA 3′UTR. Vektor yang digunakan adalah pLDR-MerAB-3′UTR dan pLDR-MerAB.[4]

Efek ekspresi merA dan merB terhadap pertumbuhan dan toleransi merkuri

sunting

Hg organik merupakan logam yang sangat toksik karena sifatnya yang hidrofobik sehingga memfasilitasi pergerakannya melalui membran dan akumulasinya pada membran yang terikat organel. Hal ini menghambat proses oksidasi dan fotosintesis pada tanaman karena akumulasinya dapat mengganggu reaksi transport elektron, evolusi oksigen, fotofosforilasi, reaksi Hill, dan fluoresensi klorofil. Hg dalam bentuk ion juga dapat merusak membran transporter seperti aquaporin sehingga mengganggu transportasi air dan nutrisi pada tanaman. Semua ini dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan akhirnya menyebabkan kematian. Rekayasa genetik dengan gen merA (mercuric ion reductase) dan merB (organomercurial lyase) menyebabkan tanaman dapat mentoleransi kadar Hg yang tinggi dan memiliki pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan, organomercurial lyase memiliki aktivitas protonolisis untuk mengubah Hg organik (bentuk yang sangat berbahya) menjadi Hg2+, sedangkan mercuric ion reductase memiliki aktivitas untuk mengubah Hg2+ menjadi Hg0 yang kemudian menguap dari tanaman.[3]

Rekayasa merAB melalui genom inti

sunting

Berbagai studi fitoremediasi memanfaatkan gen merA atau merB untuk memodifikasi tanaman melalui genom inti. Gen merA mengkodekan merkurik ion reduktase yang berperan dalam detoksifikasi merkuri (Hg2+ menjadi Hg0, yang akan diuapkan dari tanaman), sementara merB merupakan gen yang berperan untuk memotong merkuri organik menjadi bentuk yang kurang toksik seperti metan dan merkuri ionik. Penggunaan merA pada awalnya menemui beberapa kegagalan karena gen tersebut gagal mengekspresikan merkurik ion reduktase, seperti yang diujicobakan pada A. thaliana. Penggunaan merB pada tanaman serupa, resistensi terhadap merkuri meningkat sebanyak 1 µM fenilmerkurik asetat (PMA), yang berarti sangat rendah. Penggunaan merA dan merB secara bersamaan atau dengan rekombinasi menyebabkan resistensi pada A. thaliana transgenik meningkat hingga 5 µM PMA dan 10 µM CH3Hg, yang berarti lima kali lebih efektif daripada penggunaan merB saja.[3]

Akumulasi Total Merkuri dan Volatilisasi Merkuri

sunting

Tanaman tembakau yang belum ditransformasi memiliki kemampuan untuk mengakumulasi merkuri hingga konsentrasi 500 µg/g dan terkena efek samping berupa penurunan pertumbuhan secara signifikan. Namun tanaman tembakau hasil transformasi mampu mengakumulasi merkuri pada jaringan akar hingga konsentrasi 2000 µg/g. Tembakau transforman ini juga dapat terus tumbuh tanpa hambatan dari sifat beracun merkuri. Kemampuan akumulasi tembakau transgenik terhadap merkuri organik lebih tinggi dibandingkan merkuri inorganik. Kemampuan akumulasi merkuri oleh tembakau transgenik juga tidak menunjukkan titik jenuh seperti pada tembakau biasa. Transfer akumulasi merkuri ke bagian tunas juga dapat dilakukan oleh tembakau transgenik secara lebih baik dibandingkan tembakau biasa yang hanya dapat mentransfer kurang dari 0.2% merkuri ke bagian tunas.[4]

Volatilisasi merkuri adalah tahap akhir dalam jalur detoksifikasi merkuri organik. Insersi gen merA dan merB pada tembakau transgenik dapat meningkatkan volatilisasi secara signifikan. Proses volatilisasi merkuri dapat diukur dengan chamber khusus yang kedap udara. Laju volatilisasi tembakau transgenik yang diberikan merkuri organik akan mencapai puncak pada hari ke-2, namun menurun pada hari ke-5 karena proses detoksifikasi telah berjalan sempurna. Bila diberikan merkuri inorganik, maka laju volatilisasi akan mencapai puncak pada hari ke-3, namun menuru pada hari ke-6. Tanaman tembakau alami tidak menunjukkan proses volatilisasi yang signifikan sehingga tidak dapat diukur. Tembakau alami juga mengalami klorosis dan kematian jaringan akibat sifat beracun merkuri, sedangkan pada tembakau transgenik terdapat ekspresi gen merA dan merB yang melindungi tanaman.[4]

MekanismeLain untuk Fitoremediasi Merkuri

sunting

Fitoremediasi oleh tanaman bergantung pada kominasi berbagai gen untuk memacu prosesnya. Tanaman tidak dapat mengkonversi merkuri menjadi wujud lain yang tidak beracun. Namun, fitoremediasi dapat dilakukan dengan melakukan rekayasa genetika, sehingga tanaman dapat mereduksi toksisitas merkuri pada lingkungan. Operon mer miliki tiga gen pentranspor antar membran yang terlibat dalam proses translokasi Hg2+ ke dalam sel, yaitu merC, merP, dan merT.[3]

Gen merC dapat meningkatkan hipersensitivitas terhadap konsentransi subletal HgCl2, sehingga tanaman dapat dimodifikasi secara genetik dengan transporter metal untuk meningkatkan daya serap logam. Gen merP dapat meningkatkan resistensi hingga 10 µM HgCl2, namun membutuhkan gen merT untuk translokasi Hg2+, sehingga diyakini merP mengurung Hg pada membran sel yang menyebabkan sitoplasma terlindungi. Gen merA dapat ditambahkan dalam modifikasi untuk memanfaatkan kemampuan ketiga gen sebelumnya dalam mekanisme transpor, sehingga dapat diperoleh resistensi terhadap Hg.[3]

Alternatif lain dapat berupa pemasangan merC dengan gen pengkelat seperti polifosfat kinase atau metalotionein untuk mengembangkan tanaman transgenik yang dapat mengakumulasi Hg. Alternatif berikutnya adalah dengan merekayasa genetik kloroplas. Protein membran dapat ditargetkan ke membran amplop dalam kloroplas dan terakumulasi pada tingkat yang sangat tinggi, sehingga membuka kemungkinan transformasi pada genom kloroplas yang dapat meningkatkan akumulasi atau fitoremediasi Hg.[3]

Kelebihan dan Kekurangan

sunting

Dari segi ekonomis, sejak tahun 1988, fitoremediasi memberikan hasil yang lebih murah dibandingkan dengan teknik remediasi tanah konvensional yang pernah digunakan. Harga yang dibutuhkan untuk remediasi tanah dengan teknik konvensional dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik fitoremediasi. Hal ini terjadi karena fitoremediasi merupakan proses yang menggunakan energi panas dari matahari, sehingga prosesnya tidak memerlukan energi tambahan. Fitoremediasi juga ramah lingkungan karena dapat memproses ulang polutan yang mencemari air, udara, maupun tanah sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Fitoremediasi juga berguna untuk proses petambangan. Contohnya, pada industri pertambangan emas, tanaman dapat mengakumulasi emas yang spesifik dengan penambahan amonium tiosianat ke dalam substratnya.

Penelitian-penelitian dilakukan agar proses fitoremediasi dapat berjalan dengan lebih baik. Namun, pada kenyataannya terdapat hal-hal yang harus diteliti lebih lagi karena dapat memiliki efek negatif. Ada jenis tanaman yang mengakumulasi polutan pada jaringannya. Yang menjadi masalah adalah diperlukan cara untuk memusnahkan polutan tersebut. Jika tanaman tersebut dikonsumsi, masalah baru akan timbul. Tanaman yang tidak dapat dimanfaatkan justru akan menambah masalah ekologi akibat timbunan tanaman. Selain itu, tanaman untuk melakukan fitoremediasi memiliki waktu tumbuh yang lama. Kondisi tanaman juga perlu diperhatikan agar proses fitoremediasi dapat berjalan dengan baik.

Tantangan Masa Depan

sunting

Teknologi hijau merupakan tantangan yang perlu dijawab untuk mengatasi masalah-masalah pencemaran lingkungan, terutama untuk membersihkan polutan. Fitoremediasi dapat menjadi jawaban untuk permasalahan ini. Fitoremediasi yang ramah lingkungan karena hanya memanfaatkan matahari sebagai sumber energinya akan membantu mengurangi energi yang terbuang untuk melakukan remediasi. Selain itu, introduksi gen pada tanaman transgenik akan menambah efektivitas fitoremediasi yang dilakukan. Akumulasi polutan pada tanaman selanjutnya dapat dimanfaatkan kembali. Namun, dampak negatif yang telah dipaparkan perlu ditindaklanjuti untuk efektivitas fitoremediasi.[5]

Gambar 4 Teknologi hijau[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i Surriya O, Saleem SS, Waqar K, Kazi AG (2015). "Phytoremediation of soils: prospects and challenges". Dalam Hakeem K, Sabir M, Ozturk M, Mermut AR. Soil Remediation and Plants: Prospects and Challenges. London: Elsevier. hlm. 36. 
  2. ^ a b c Sherameti I, Varma A (2011). Detoxification of Heavy Metal. New York: Springer. 
  3. ^ a b c d e f g h i j Ruiz ON, Daniells H. (2009). "Genetic engineering to enhance mercury phytoremediation". Curr Opin Biotechnol. hlm. 213-219:20(2). 
  4. ^ a b c d e Hussein HS, Ruiz ON, Terry N, Daniell H. (2007). "Phytoremediation of mercury and organomercurials in chloroplast transgenic plants: enhanced root uptake. Translocation to shoot, and volatilization". Environ Sci Technol. hlm. 8439-8446:41(24). 
  5. ^ a b Gratao PL; et al. (2005). "Phytoremediation: green technology for the clean up of toxic metals in the environment". Braz J Plant Physiol. hlm. 53-64:17(1).