Estetika Bali mengenal beberapa konsep ideal yang bersinggungan dengan keindahan, di antaranya taksu dan becik. Taksu berkenaan dengan daya kekuatan seorang penampil, sedangkan becik berkenaan dengan kesatuan dan keseimbangan unsur-unsur dalam suatu karya seni. Dalam kesenian Bali, karya seni juga cenderung menghindari ruang kosong, sehingga hiasan-hiasan rumit ditorehkan untuk mengisi seluruh bidang.[1][2]

Salah satu karya lukis dalam Museum Puri Lukisan
 
Seorang penari Legong

Taksu ᬢᬓ᭄ᬲᬸ adalah salah satu konsep inti dalam estetika Bali. Taksu berarti daya spiritual yang dapat ditemukan pada topeng, wayang, karakter atau senjata pusaka. Taksu juga dapat merujuk pada kekuatan karismatik dari seorang penampil yang berhasil menampilkan karakter yang dibawakannya. Meskipun utamanya digunakan dalam dunia seni pertunjukan, istilah taksu juga bisa digunakan pada bidang kesenian lain, seperti seni lukis.[2]

Becik ᬩᭂᬘᬶᬓ᭄ adalah penilaian umum masyarakat Bali terhadap keindahan yang berlandaskan pada kesatuan dan keseimbangan antarunsur dan bentuk dalam suatu karya seni, juga keterampilan yang digunakan, dan ikatan antara seni dan kehidupan atau alam. Meskipun ukuran-ukuran tersebut cukup jamak ditemukan dalam kebudayaan lain, tetapi dalam kebudayaan Bali penerapannya bisa berbeda. Sebagai contoh, pengukuran rumah di Bali secara tradisional didasarkan bagian-bagian tubuh tertentu dari si pemilik rumah. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara bangunan dan penghuninya. Contoh lainnya lagi, proporsi penggambaran manusia (misal dalam lukisan Bali) tidak langsung mengacu pada manusia asli, melainkan mengacu pada penggambaran wayang.[2]

Ngrawit

sunting
 
Ukiran Bali yang rumit, penuh dengan hiasan sulur dan bunga-bunga.

Ngrawit ᬗ᭄ᬭᬯᬶᬢ᭄ dalam bahasa Bali (juga bahasa Jawa) berarti sangat indah atau sangat halus.[3][4] Kata ngrawit masih memiliki kata dasar yang sama dengan kata karawitan.[5] Istilah ngrawit digunakan untuk menyebut tingginya keindahan dan kemampuan teknis seorang perajin/seniman dalam menghasilkan karya seni yang rumit, rinci, indah dan penuh ornamen.[6] Sebagai contoh dalam lukisan Bali, hutan atau pohon digambarkan bersama daunnya satu per satu.[2] Konsep ngrawit dalam pengertiannya tidak hanya sebatas pada seni rupa, melainkan juga musik dan seni pertunjukan. Konsep estetika ngrawit dianggap dapat ditemui dalam banyak kebudayaan tradisional di Indonesia.[7]

Seni lukis Bali tidak mengenal ruang kosong, semua bidangnya diisi dan dihias dengan ukiran yang rumit-rumit. Dalam istilah seni rupa, hal ini dikenal dengan istilah horror vacui atau ketakutan akan ruang kosong.[8] Perkumpulan Pita Maha masyhur akan lukisan-lukisannya yang ngrawit.[9] Dalam suatu penelitian, anak-anak Bali cenderung mengisi keseluruhan bidang halaman ketika ditugaskan untuk menggambar.[1]

Lihat juga

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Schellekens, Elisabeth; Goldie, Peter (2011-10-13). The Aesthetic Mind: Philosophy and Psychology (dalam bahasa Inggris). OUP Oxford. ISBN 978-0-19-969151-7. 
  2. ^ a b c d Davies, Stephen (2007). "Balinese Aesthetics". The Journal of Aesthetics and Art Criticism. 65 (1): 21–29. ISSN 0021-8529. 
  3. ^ "SEAlang Library Javanese Lexicography". sealang.net. Diakses tanggal 2020-05-24. 
  4. ^ "Ngrawit - BASAbaliWiki". dictionary.basabali.org. Diakses tanggal 2020-05-24. 
  5. ^ "Karawitan Jawa - Pengertian, Sejarah, Jenis, Filosofi & Fungsi Karawitan". Blog Kulo. 2018-06-10. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-17. Diakses tanggal 2020-05-24. 
  6. ^ M.Sn, Dr Muh Fakhrihun Na’am. Pertemuan Antara Hindu, Cina, dan Islam pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan, Jepara. Dwi - Quantum. 
  7. ^ Sutton, R. Anderson (2002-09-05). Calling Back the Spirit: Music, Dance, and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-535465-2. 
  8. ^ Boelaars, Jan Honoré Maria Cornelis (1984). Kepribadian Indonesia modern: suatu penelitian antropologi budaya. Gramedia. 
  9. ^ Adnyana, Wayan Kun (2018-10-08). Pita Maha: Gerakan Seni Lukis Bali 1930-an. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-271-8.