Eksibisi Film adalah tahap akhir dari sederetan panjang dari proses produksi dalam film. Eksibisi film itu sendiri diartikan dengan sebuah tahap akhir dalam proses produksi yang memperlihat hasil akhir dari film kepada masyarakat setelah melewati proses development, pra produksi, produksi dan pasca produksi. Eksibisi film selalu dikaitkan dengaan distribusi film. Seperti kebanyakan bisnis, produksi film terkait dengan membuat produk (produksi), melakukan distribusi dan juga menjual barang tersebut. Oleh karena itu dalam bisnis perfilman yang perlu diperhatikan adalah 3 tahap yaitu produksi, distribusi dan eksibisi.[1]

Tahap eksibisi film sering kali dilupakan oleh kru filmnya khususnya oleh seorang produser. Seorang produser seharusnya dari awal produksi (tahap development ataupun pra produksi) sudah memikir ke mana film ini akan diputar nantinya ketika film tersebut sudah release. Film terbentuk atas sederetan proses produksi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, film tidak hanya terbatas dibuat tetapi juga harus bisa disampaikan kepada masyarakat, oleh karena itu film perlu tempat untuk memutarkannya (eksibisi).

Eksibisi film terbagi menjadi dua yaitu theatrical dan nontheatrical exibition.[1]

Theatrical Eksibisi

sunting

Theatrical eksibisi adalah tempat pemutaran film yang menggunakan proyektor film didalamnya atau yang lebih popular dengan nama bioskop. Umumnya proyektor yang digunakan adalah proyektor 35mm dengan bahan baku seluloid film, tapi sekarang ini beberapa bioskop sudah menggunakan proyektor digital atau lebih dikenal dengan nama DCP (Digital Cinema Package)[1]. Di Indonesia sendiri sudah ada 162 bioskop dengan 721 layar, 82% dari bioskop yang ada dimiliki oleh 21cineplex, 10% oleh Blitzmegaplex dan sisanya adalah bioskop non-komersial [2]. Di Indonesia yang termasuk dalam bioskop non-komersial adalah Kineforum (Jakarta), Kinoki (Jogjakarta), Kineruku (Bandung) dll. Bioskop non-komersial di Eropa ataupun di Amerika lebih dikenal dengan nama art house cinema. Umumnya art house cinema ini memiliki ukuran lebih kecil dari bioskop komersial ataupun tidak memiliki tempat permanen atau sesuai dengan standar pemutaran film komersial.

Non-theatrical Eksibisi

sunting

Non-theatrical eksibisi adalah pemutaran film dengan tidak menggunakan bioskop tetapi dengan cara menjual VCD/DVD dan memutarkan film tersebut di stasiun televisi ataupu media online.

Sejarah Bioskop Indonesia

sunting

Bioskop di Indonesia sudah dikenal sejak awal abad 20-an, ketika itu seorang warga negara Belanda yang bernama Talbot mendesain sebuah gedung menjadi sebuah bioskop di daerah lapangan gambir (monas). Setelah ini mulai banyak warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia mulai membangun gedung-gedung bioskop, salah satunya adalah Schwarz yang mendirikan bioskop didaerah tanah abang. Bioskop yang didirikan oleh Schwarz tidak bertahan lama karena terjadi kebakaran. Sejak kejadian tersebut makin banyak tumbuh bioskop bioskop. Salah satu bioskop yang memiliki konsep menarik adalah bioskop De Callone di Deca Park, jika kenal dengan konsep bioskop "misbar" -gerimis bubar- ini adalah bioskop yang pertama kali menggunakan konsep tersebut. Bioskop De Callone adalah bioskop yang terbuka dan berada di lapangan, tapi bioskop ini tidak lama berdiri kemudian bisokop pindah dan menempati gedung dan mengubah namanya menjadi bioskop Capitol. Bioskop capitol mejadi salah satu bioskop yang termahal masa eranya [3] Diarsipkan 2014-10-21 di Wayback Machine..

Proses Produksi Film

sunting

Proses produksi dalam membuat film yaitu development, pra produksi, produksi, pasca produksi, distribusi dan eksibisi. Proses development adalah proses pengembangan cerita yang angkat di dalam film. Pada proses development dikerjakan oleh produser, sutradara dan penulis skenario (lebih sering dikenal dengan triangle sistem). Proses pra produksi adalah proses persiapan untuk menyiapkan segala hal dari lokasi, pemain, kamera, audio dan yang lainnya agar pada proses produksi berjalan dengan lancar. Proses produksi adalah proses menggambilan gambar dan suara. Dalam proses pra produksi dan produksi semua kru sudah bekerja kecuali penulis skenario (6 bidang yaitu divisi penyutradaraan, divisi produksi, divisi kamera, divisi suara, divisi artistik, bahkan divisi editing). Setelah proses produksi selesai kemudian masuk dalam proses pasca produksi, proses pasca produksi adalah proses melakukan editiing oleh editor, merapikan semua suara oleh soundman dari materi ketika proses produksi, dan melalukan married print antara gambar dan audio. Bila tahap pasca produksi telah selesai maka bisa dikatakan film telah menjadi satu kesatuan yang utuh, tapi tidak sampai pada tahap tersebut masih ada proses distribusi dan eksibisi. Proses distribusi adalah proses melakukan distribusi film tersebut, pada tahap ini biasanya dikerjakan oleh seorang produser distributor tapi bila di Indonesia tahap umumnya dikerjakan sendiri oleh produser. Selain ini proses terakhir dalam produksi film adalah eksibisi, di tahap ini film diperlihatkan kepada masyarakat. Proses distribusi dan eksibisi tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berhubungan. --petrussitepu 8 Oktober 2014 11.02 (UTC)

Referensi

sunting
  1. ^ a b Bordwell, David dan Kristian Thompson, FILM ART An Introduction Sixth Eddition, McGraw-Hill, New York, 2001

Permohonan belum diproses

sunting
  • Mohon ditinjau artikel Eksibisi Film. Terima kasih. --petrussitepu 9 Oktober 2014 10.37 (UTC)