Ekalawya (Dewanagari: एकलव्य; ,IASTEkalavya, एकलव्य) adalah seorang pangeran dari kaum Nishada (persekutuan dari suku-suku pemburu dan manusia pedalaman) dalam wiracarita India Mahabharata. Diceritakan bahwa ia merupakan anak angkat dari Hiranyadanus, pemimpin kaum Nishada, dan merupakan sekutu Jarasanda. Ia memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa ia bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia sehingga memohon untuk diangkat sebagai murid Drona, tetapi permohonannya ditolak. Meskipun di kemudian hari ia kehilangan ibu jari tangan kanannya, Ekalawya tetap dikenal sebagai seorang pemanah dan kesatria yang tangguh.[2]

Ekalawya
एकलव्य
Ilustrasi Ekalawya belajar memanah dengan didampingi oleh patung Drona, dari buku Myths of the Hindus & Buddhists.
Ilustrasi Ekalawya belajar memanah dengan didampingi oleh patung Drona, dari buku Myths of the Hindus & Buddhists.
Tokoh Mahabharata
NamaEkalawya
Ejaan Dewanagariएकलव्य
Ejaan IASTEkalavya
Kitab referensiMahabharata, Bhagawatapurana
Asalkerajaan Nishada
SukuNishada
Kastasudra[1]
Senjatapanah
AyahHiranyadanus

Arti nama

sunting

Dalam bahasa Sanskerta, kata Ekalavya secara harfiah berarti "ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran".[3] Sesuai dengan arti namanya, Ekalawya adalah seorang kesatria yang memusatkan perhatiannya kepada ilmu memanah. Dalam kisah pedalangan Jawa yang mengadaptasi wiracarita Mahabharata, Ekalawya disebut Bambang Ekalaya atau Bambang Ekawaluya, atau dengan sebutan Bambang Palgunadi.

Latihan memanah

sunting
 
Ilustrasi Ekalawya belajar memanah. Ilustrasi karya Warwick Goble, diambil dari buku Indian tales of the great ones among men, women, and bird-people (1916).

Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa Ekalawya merupakan pemanah dari golongan Nishada. Dengan didasari oleh keinginan untuk memperdalam ilmu panahan, ia datang ke Hastinapura untuk berguru langsung kepada Drona, guru para pangeran Dinasti Kuru (Pandawa dan Korawa). Namun permohonannya ditolak karena Drona khawatir bahwa kemampuannya bisa menandingi Arjuna, murid kesayangan Drona. Di samping itu, Drona berjanji untuk menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya kesatria pemanah paling unggul di dunia. Meskipun demikian, penolakan Drona tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu memanah.

Ekalawya memutuskan untuk kembali ke hutan dan mulai belajar sendiri. Sebagai motivasi dan inspirasi, ia membuat patung berbentuk Drona dari tanah dan lumpur bekas pijakan Drona, serta memuliakan patung tersebut seakan-akan itu adalah Drona yang asli. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit dengan kecakapan dalam ilmu memanah, yang berpotensi untuk menyaingi kemahiran Arjuna.

Pada suatu hari, saat sedang berlatih di tengah hutan, ia mendengar suara anjing menggonggong ke arahnya. Tanpa melihat sumber suara, Ekalawya melepaskan beberapa anak panah yang akhirnya menyumpal mulut anjing tersebut. Si anjing tidak mati, tetapi sumpalan anak panah membuatnya tak bisa menggongong. Ia pun segera meninggalkan Ekalawya. Saat anjing yang tersumpal itu ditemukan oleh Drona dan para pangeran Dinasti Kuru, mereka kebingungan karena sejauh pengetahuan mereka, tidak ada orang yang mampu melakukan keterampilan memanah seperti itu selain Arjuna. Kemudian mereka melacak jejak anjing tersebut, yang mengarah kepada Ekalawya. Saat diinterogasi, Ekalawya memperkenalkan dirinya sebagai murid Drona. Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang pemanah terbaik di dunia. Perasaan gundah Arjuna akhirnya terbaca oleh Drona, yang juga teringat akan janjinya untuk menjadikan Arjuna sebagai pemanah terhebat di dunia.[4]

Pemotongan ibu jari

sunting
 
Ilustrasi Ekalawya mempersembahkan ibu jarinya kepada Drona, dalam prangko India keluaran tahun 2013.

Saat bertemu Drona dan Arjuna, Ekalawya dengan sigap menyembah sang guru, tetapi ia malah mendapat amarah atas sikap yang dianggap tidak bermoral, yaitu lancang mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diterima sebagai murid. Dalam kesempatan itu pula, Drona meminta Ekalawya untuk mempersembahkan guru-daksina apabila mau diakui sebagai murid.[5] Pada zaman India Kuno, guru-daksina merupakan tradisi memberikan sesuatu sesuai permintaan guru kepada muridnya, sebagai tanda terima kasih dari seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan.[6]

Ekalawya mengaku bahwa ia tidak memiliki barang berharga apa pun untuk diberikan. Namun Drona meminta supaya ia memotong ibu jari tangan kanannya sebagai daksina. Awalnya Ekalawya ragu, tetapi Drona tetap memintanya secara tegas. Permohonan Drona pun dilakukan oleh Ekalawya. Ia menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, yaitu kehilangan kemampuan maksimal dalam memanah.[4][7]

Riwayat selanjutnya

sunting

Dalam kitab Hariwangsa dan Bhagawatapurana, dikisahkan bahwa Ekalawya mengabdi pada Jarasanda di Magadha. Ia juga turut membantu ketika Jarasanda mengepung Mathura, kota para Yadawa. Saat Rukmini dilarikan oleh Kresna, Ekalawya juga turut melakukan pengejaran bersama Jarasanda dan Sisupala.[8]

Kematian Ekalawya termuat dalam Srimad-bhagawatam. Setelah tewasnya Jarasanda, Ekalawya bertempur untuk membalas dendam dengan cara mengepung Dwaraka, kediaman Kresna dan Baladewa (Balarama). Ia bertarung melawan pasukan Yadawa, dan akhirnya tewas dalam pertempuran setelah Kresna melemparkan batu ke arahnya.[8]

Pewayangan Jawa

sunting
 
Wayang golek tokoh Ekalaya, kini disimpan di Tropenmuseum, Belanda.

Dalam lakon pewayangan Jawa yang mengadaptasi kisah Mahabharata, tokoh Ekalawya lebih dikenal dengan sebutan Ekalaya (dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama Palgunadi). Menurut lakon pewayangan, ia adalah raja negara Paranggelung, sehingga bergelar "Prabu". Ekalaya mempunyai istri yang cantik dan setia bernama Dewi Anggraini, putri apsari (bidadari) Warsiki. Ekalaya seorang raja-kesatria, yang selalu mendalami latihan keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia diceritakan sebagai manusia sakti dan mahir mempergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Sebagai tokoh pewayangan, Ekalaya diceritakan berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.

Sebagaimana dalam Mahabharata, Ekalaya dalam pewayangan juga dikisahkan gigih dalam menuntut ilmu. Dalam suatu lakon, dikisahkan bahwa Ekalaya mendapatkan bisikan gaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang hanya dimiliki oleh Resi Drona (Durna). Namun sang resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang-orang selain para Pandawa dan Korawa. Meskipun ditolak, secara diam-diam Ekalaya membuat patung sang resi (sebagai pengganti kehadiran Drona), lalu belajar sendiri dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.

Istri Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna (salah satu Pandawa) berhasrat padanya. Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Ekalaya pun bertarung dengan Arjuna, yang menyebabkan Arjuna sempat mati, tetapi kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna. Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh 'patung' Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiannya, Ekalaya berjanji akan membalas dendamnya kepada Resi Drona.

Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria dari Pancala, yang memenggal kepala Resi Drona.

Referensi

sunting
  1. ^ Ekalavya, Ekalavyā: 8 definitions, Wisdom Library, Droṇācārya refused to accept him as a disciple because he was a Śūdra. 
  2. ^ "Eklavya—A Powerful Archer and Charioteer". Diakses tanggal 19 November 2013. 
  3. ^ Jit Majumdar, Ekalavya Meaning, Hindupedia, Ekalavya: 1) one with a single goal or target; 2) one concetrated in achieving a single purpose; one who aims for a single knowledge 
  4. ^ a b Kumar, S. THE MAHABHARATA. HarperCollins Publishers India (2011), ISBN 978-93-5029-191-7
  5. ^ Kakar, S. (1971). The Theme of Authority in Social Relation in India. The Journal of Social Psychology, 84(1), 93-101
  6. ^ Radhakrishnan, L. J., & Rabb, H. (2010). Even in nephrology, gurudakshina is important, Kidney International, 78, 3-5
  7. ^ "GURU DRONACHARYA & EKALAVYA". Times of India Blog (dalam bahasa Inggris). 2019-02-21. Diakses tanggal 2020-09-15. 
  8. ^ a b Bhagavata Purana Skandha X Chapter 50 verse 10.2-4, Vrindavana Edition.

Pranala luar

sunting