Doudo, Panceng, Gresik

desa di Kabupaten Gresik, Jawa Timur

Desa Doudo (dalam bahasa setempat dilafalkan "Ndhudha") merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Panceng. Desa ini berbatasan dengan Desa Sekapuk Kecamatan Ujungpangkah di sebelah utara, Desa Gedangan Kecamatan Sidayu di sebelah tenggara, dan Desa Wotan Kecamatan Panceng di sebelah barat. Desa ini dihuni oleh sekitar 500 kepala keluarga, dengan sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani dan pekerja di luar negeri.

Doudo
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenGresik
KecamatanPanceng
Kode pos
61156
Kode Kemendagri35.25.03.2014 Edit nilai pada Wikidata
Luas-
Jumlah penduduklebih kurang 500 kepala keluarga
Peta
PetaKoordinat: 6°57′36″S 112°30′1″E / 6.96000°S 112.50028°E / -6.96000; 112.50028

Asal Nama

sunting

Nama Doudo menurut legenda masyarakat setempat diambil dari nama pendiri desa, yakni Pak Dhudha. Makam dari Pak Dhudha sendiri menurut kepercayaan dikubur di Kuburan Sentana, yang dahulu merupakan kuburan yang dikeramatkan dan diupacarai dengan sedekah bumi tiap tahunnya. Saat ini, kuburan tersebut telah dibongkar karena dianggap menimbulkan unsur syirik bagi masyarakat, dan dialihfungsikan sebagai kantor kepala desa, setelah sebelumnya digunakan sebagai sekolah dasar. Namun dalam versi lain, ada yang menyebut Desa Doudo ini berasal dari bahasa Kawi, "doh" yang berarti jauh, dan "uda" yang berarti air, mengingat keadaan alam Desa Doudo sendiri yang sulit didapati air tanah.

Ketampakan Alam

sunting

Desa Doudo sebagian besar disusun atas tanah bronggalan atau tanah merah, tanah lempung yang berwarna coklat kekuningan, serta tanah hitam dan tanah kapur. Lahan bertanah merah atau tanah hitam biasanya digunakan untuk alas (tegalan) yang ditanami palawija dan singkong, atau digunakan untuk perkebunan misalnya jambu monyet dan mangga. Sedangkan lahan bertanah lempung biasanya digunakan untuk sawah dengan padi sebagai tanaman utama. Desa ini tidak mengandung sumber air tanah sama sekali dalam jarak 20 m dari permukaan tanah, kecuali di beberapa titik misalnya Laga Geneng yang bahkan menghasilkan mata air namun hanya sedikit. Orang dahulu akhirnya mengusahakan dibangunnya telaga Doudo sebagai sumber air utama desa, dengan sumber dari tadah hujan. Telaga ini pada masa lampau digunakan sebagai tempat kegiatan masyarakat desa yang berhubungan dengan air, misalnya mandi, mencuci baju, memandikan sapi, maupun mengambil air minum. Namun saat ini fungsi telaga ini hanya digunakan untuk irirgasi pertanian saja, karena sudah diadakan pengusahaan air bersih melalui perpipaan ledeng.

Pembagian Wilayah

sunting

Wilayah Desa Doudo terbagi dalam beberapa sub-wilayah:

  • Desa: Ndhudha, Sentana
  • Alas Kulon: Paktipah, Sulbak/Selbak
  • Alas Kidul
  • Alas Wetan: Ndhekem, Kuburan
  • Alas Lor: Sangar, Laga Geneng

Kebudayaan

sunting

Desa Doudo memiliki beberapa kebudayaan yang bisa dianggap sebagai kebudayaan unik, di antaranya:

  • Unsur penggunaan bahasa yang memiliki logat dan kosakata khas, yang diadaptasi dari berbagai bahasa. Umumnya kosakata tersebut diambil dari bahasa Jawa baku, dengan perbedaan pelafalan pada kata berakhiran -ih (yang dilafalkan -eh), -uh (yang dilafalkan -oh), serta beberapa kata berakhiran -i+konsonan (yang dilafalkan -iy+konsonan). Kosakata yang lain disinyalir diadaptasi dari berbagai bahasa, misalnya "pulampu" yang disinyalir diambil dari bahasa Sanskerta atau bahasa Tamil, "cembalin" yang diambil dari bahasa Melayu "penjalin", dan "kermit" yang diambil dari bahasa Inggris, "permit" (surat izin). Terdapat pula beberapa kosakata yang masih belum diketahui akar bahasanya, dan dimungkinkan merupakan bahasa asli, misalnya "brokohan" (makan pagi di sawah), dan "mbalon" (pesawat terbang).
  • Makanan khasnya yakni "rujak bumbu mentah", di mana posisi gula jawa sebagai bumbu rujak pada umumnya diganti dengan terasi dan petis. Selain itu, bumbu-bumbu yang ada tidak digoreng atau disangrai sebagaimana bumbu rujak pada umumnya. Campuran dari bumbu rujak ini bisa dipadukan dengan buah-buahan (jambu air, jambu batu, jambu monyet, mengkudu, pisang batu, bengkuang, nanas, dsb.) maupun dengan "blunyoh", sejenis timun laut mentah.
  • Tradisi "kondangan", yakni kunjung-mengunjung antar-warga pada saat malam hari raya (kecuali pada hari raya Ketupat dilakukan di pagi hari), dengan menyuguhkan tumpeng atau berkat kepada yang berkunjung.
  • Tradisi takbir keliling dengan membawa oncor(obor) dari pelepah pepaya atau bambu mengelilingi desa tiap malam hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, tetapi sekarang tradisi ini sudah bisa dianggap punah.

Objek Terkenal

sunting

Objek yang terkenal dari desa ini adalah jambu monyet, karena daerah ini, bersama dengan desa sekitarnya yakni Desa Wotan dan Desa Petung merupakan daerah satu-satunya di kawasan Gresik Utara yang menghasilkan tanaman jambu monyet. Selain itu, desa ini juga terkenal dari telaganya yang sering menjadi jujugan pelancong dari desa/kecamatan tetangga, baik untuk sekadar berenang atau memancing.