Dombret atau dongbret merupakan kesenian rakyat yang berkembang di daerah Pantai Utara Jawa Barat, khususnya di Pantai Blanakan Pamanukan, Kabupaten Subang.[1] Selain berfungsi sebagai hiburan untuk para nelayan, dombret berfungsi pula sebagai bagian dari upacara nadran sebagai simbol kesuburan.[1] Dombret sering ditampilkan ketika musim pelelangan ikan tiba, dan menjadi hiburan pelepas lelah bagi para nelayan.[1] Selain itu, dombret pun menjadi hiburan bagi para pembeli ikan, sehingga mereka sering kali memilih membeli ikan di tempat tersebut.[1] Dombret populer sejak tahun 1930-an.[1] Kesenian ini mempunyai kemiripan dengan seni ronggeng (Ketuk Tilu), baik dilihat dari struktur pertunjukannya, lagu-lagu yang digunakan, maupun musik pengiringnya.[1] Istilah dombret sama halnya dengan doger atau ronggeng, yaitu penari wanita yang memiliki kemampuan menyanyi dan menari.[1] Tempat pertunjukan biasanya di arena terbuka, tanpa panggung khusus. Oleh sebab itu, para nayaga menggelar tikar, duduk sembari diterangi dengan colen (semacam obor terbuat dari bambu).[1] Selain dipergelarkan di pantai Blanakan, dombret juga sering mengamen ke beberapa daerah di sekitar pantai seperti ke Ciasem, Patok Beusi, Jatiragas Hilir, Tegal Koneng, dan sebagainya.[1] Di daerah-daerah tersebut mereka menggelar pertunjukan di tempat yang agak jauh dari rumah penduduk, misalnya di kebun-kebun dan di tempat terbuka lainnya.[1] Kadang-kadang ada juga masyarakat yang memberikan tempat di halaman rumah (bale).[1] Pengunjung yang datang pada umumnya adalah kaum laki-laki.[1] Waditra (alat musik) yang digunakan dalam dombret adalah ketuk, kecrek, kendang, rebab, dan goong kecil. Musiknya sangat ceria, riang, sehingga bisa mengundang orang untuk datang ke arena tersebut dan ikut menari bersama dombret. Pertunjukannya diawali dengan tatalu (musik pembuka), sebagai tanda bahwa sajian akan dimulai.[1] Para dombret masuk ke arena pertunjukan, kemudian salah seorang dari dombret menyanyikan lagu kidung yang difungsikan sebagai doa, agar semua yang hadir, baik seniman maupun penonton, diberi kelancaran dan keselamatan.[1] Setelah itu, para dombret menari bersama. Para penonton yang hadir, bisa menari dengan dombret sesuai pilihannya, juga dapat meminta lagu sesuai dengan kesenangannya.[1] Penari dombret dapat pula diajak ke luar arena pertunjukan oleh penari pasangannya ke tempat yang gelap untuk diajak bercengkrama. Tidak lama kemudian dombret kembali ke arena pertunjukan, lalu menyimpan uang pemberian penggemarnya ke dalam peti yang telah disediakan dekat para panjak (pemain musik).[1] Dombret pun menari kembali sambil menunggu pasangan yang mau menari lagi bersamanya. Demikianlah suasana pertunjukan hingga berakhir. Lucunya, di arena pertunjukan kadang-kadang hanya tinggal para panjak saja karena para dombret ada yang membawa ke luar arena pertunjukan. Waktu pertunjukan bisa sampai dini hari, dan selesainya akan sangat tergantung kepada para penggemarnya. Pertunjukan bisa berakhir jika para penggemarnya kelelahan atau kehabisan uang untuk membayar dombret.[1] Adanya perilaku yang berlebihan dari para penggemar terhadap dombret, mengakibatkan munculnya dampak negatif, bahkan lama-kelamaan kesenian tersebut hanya dijadikan kedok untuk menutupi praktik-praktik prostitusi.[1] Tahun 1950-an mulai muncul warung remang-remang yang menyediakan jasa layanan seksual yang berkedok dombret. Perkembangan kemudian, berubah menjadi sajian dangdut ala pesisir pantai utara Jawa Barat dengan gaya yang sangat khas.[1] Perubahan itu juga sekaligus sebagai akhir dari keberadaan dombret. Kini kesenian tersebut telah hilang.[1]

Dombret dahulu marak di daerah pantura, seperti di Subang

Referensi

sunting