Djauharah (majalah)

majalah dari Sumatra Barat

Djauharah (bahasa Arab: جوهره, translit. Permata) adalah majalah Islam bulanan berabjad Jawi yang terbit di Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi), Sumatera Barat dari 1923 hingga 1924. Majalah ini didirikan oleh Shadiyah Shakurah, putri Abdul Latif Syakur, seorang ulama Minangkabau. Mengusung motto "oentoek bangsa perempoean”, Djauharah berkembang menjadi media bagi pelajar perempuan di sekolah-sekolah Agam.[1][2]

Sampul majalah Djauharah. Tulisan memanjang di antara dua kotak segitiga artinya "dihiasi dengan pengetahuan agama tertib sopan penghidupan".

Sejarah

sunting

Majalah Djauharah didirikan oleh Shadiyah Shakurah, dibantu oleh Abdul Latif Syakur yang merupakan ayahnya. Di antara kontributor majalah ini, selain Shadiyah, adalah Khadijah dan Rosmini.[3]

Kemunculan Djauharah kemungkinan terinspirasi dari penerbitan Soenting Melajoe, majalah perempuan yang didirikan oleh Rohana Kudus. Hal ini tercermin dari pandangan Abdul Latif Syakur, seorang ulama yang secara aktif mendorong perempuan berkiprah di bidang pendidikan, termasuk memberi contoh dengan menyekolahkan putrinya di madrasah berkonsep modern yang ia didirikan, Al-Tarbiyatul Ḥasanah di Balai Gurah, IV Angkek, Agam. Dalam autobiografinya berjudul Al-Mu’ashārah, Abdul Latif Syakur menyatakan dukungannya terhadap upaya Rohana Kudus menerbitkan Soenting Melajoe.[1]

Majalah Djauharah dikeluarkan di Fort de Kock dengan ukuran kertas 20 cm x 12 cm.[3]

Segala anak perempuan janganlah diberikan tinggal diam saja daripada menuntut ilmu pengetahuan dan jangan selalu disuruh bekerja di dapur, bertanak menggulai saja, menumbuk menjemur saja, melainkan suruhkan pulalah menempuh medan pengajaran. Masukkanlah ke sekolah agama. Ajarilah kepadanya segala yang difardhukan Allah Taala dan rasul-Nya.

Djauharah, No. 1, Maret 1923

Majalah Djauharah ditulis menggunakan abjad Arab dalam bahasa Melayu. Djauharah adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti permata. Majalah ini terbit sekali dalam sebulan dan menggunakan penanggalan Hijriyah.[4] Setiap edisinya berjumlah 16 halaman. Urutan halaman dimulai dari sebelah kanan. Pemuatan iklan di dalam majalah diletakkan pada halaman pertama dan terakhir.[5]

Di halaman sampul, terdapat keterangan tentang majalah: "Dihiasi dengan pengetahuan agama tertib sopan penghidupan". Tulisan tersebut ditulis memanjang di antara dua garis atas bawah, dan letaknya tak lazim sebagaimana majalah yang lain yakni, di tengah halaman muka, membelah sampul depan majalah yang berbentuk persegi panjang, sehingga halaman depan itu terlihat menjadi dua segitiga siku-siku.[4]

Secara umum, Djauharah membahas tentang agama Islam, terutama hubungannya dengan perempuan. Tulisan berkenaan topik ini dimuat di rubrik berjudul "Diniyah", "Al-Islam", dan "Ilmu al-Adab". Kebanyakan tulisan selalu diawali dengan menunjukkan hadis ataupun ayat Alquran sesuai tema tulisan dan diikuti terjemahannya.[3] Redaksi menerima karangan dari para perempuan. Walaupun demikian, terdapat tulisan-tulisan yang dimuat bersumber dari surat kabar lain.[5]

Rubrik lainnya yakni "Kata Tukang Syair", "Balasan", "Ucapan", dan "I'lam". Rubrik "Ucapan" diisi oleh redaksi Djauharah untuk mengucapkan terima kasih atas kiriman beberapa majalah seperti Pewarta Islam, Al-Munir, dan Al-Itqan. Masing-masing majalah diberi keterangan singkat baik tentang majalah, huruf, dan bahasa majalah, waktu terbit, harga berlangganan dan garis besar isi majalah. Redaksi memuat ajakan agar kaum perempuan membacai majalah-majalah tersebut bahkan alangkah baiknya bila memilih berlangganan.[6] Adapun rubrik "I'lam", yang berarti pengumuman dalam bahasa Arab, memuat daftar pelanggan yang telah membayar ongkos langganan, semacam transparansi uang masuk dari pelanggan.[6]

Respons dan berhenti terbit

sunting

Djauharah berkembang menjadi media bagi para perempuan, terutama pelajar di madrasah Abdul Latif Syakur, untuk menyuarakan pendapat dan pemikirannya dalam wilayah yang lebih luas.[1]

Penerbitan Djauharah hanya bertahan hingga 1924. Dalam rubrik "I'lam", Djauharah dengan bermacam cara meminta pelanggan untuk membayar uang langganannya: "Kalau Djauharah tidak diberi uang dan pakaian, tentulah dia tidak berani mengeluarkan perkataan, dan tidak ia dapat datang ke haribaan pembaca."[6]

Menurut observasi Ahmat Adam pada 1980, edisi Djauharah yang terdokumentasi yakni penerbitan tahun pertama dari nomor 1–5 dan penerbitan tahun kedua dari nomor 2–7.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Yulfira Riza & Titin Nurhayati Ma'mun. http://journal.perpusnas.go.id/index.php/manuskripta/article/download/134/110
  2. ^ http://www.gjat.my/gjat122018/GJAT122018-7.pdf
  3. ^ a b c Rhoma Dwi Aria Yuliantri (2008). Seabad pers perempuan: bahasa ibu, bahasa bangsa. I:boekoe. hlm. 61. ISBN 978-979-1436-08-3. 
  4. ^ a b Rhoma Dwi Aria Yuliantri (2008). Seabad pers perempuan: bahasa ibu, bahasa bangsa. I:boekoe. hlm. 60. ISBN 978-979-1436-08-3. 
  5. ^ a b Sunarti, Sastri (2013). Kajian Lintas Media. Diakses tanggal 16 September 2019. 
  6. ^ a b c Rhoma Dwi Aria Yuliantri (2008). Seabad pers perempuan: bahasa ibu, bahasa bangsa. I:boekoe. hlm. 63. ISBN 978-979-1436-08-3. 
  7. ^ Ahmat Adam (2012). Suara Minangkabau: sejarah dan bibliografi akhbar dan majalah di Sumatera Barat, 1900-1941. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya. hlm. 167.