Djajasoekarsa memiliki nama lengkap L.K. (Lurah Kanjeng) Djajasoekarsa,[1] seorang pengarang yang pada masa sebelum proklamasi termasuk pengarang yang tidak produktif, juga seangkatan dengan Sri Koentjara. Pada tahun 1938, Djajasoekarsa menerbitkan novel yang berjudul Sri Kumenyar melalui penerbit Balai Pusataka.[1]

Data diri dari Djajasoekarsa sulit untuk dilacak. Pada saat ia menerbitkan karya pertamanya, dapat diketahui bahwa Djajasoekarsa merupakan seseorang intelektual yang pernah mengenyam pendidikan modern Barat. Dengan mengacu pada latar belakang sosialnya, Djajasoekarsa diduga lahir dari keluarga priayi yang bekerja pada pemerintah kolonial Belanda.

Novel Sri Kumenyar karya Djajasoekarsa agaknya dapat disebut sebagai novel yang mewakili pemerintah saat itu, yakni menggiring masyarakat pribumi untuk dapat menerima pemikiran dan budaya Barat. Singkatnya, novel Sri Kumenyar memuat ide-ide aktual sebagai "pencerahan" masyarakat pribumi dalam mengubah pandangan tradisional menuju ke kehidupan modern Barat. Hal ini menandakan bahwa Djajasoekarsa adalah pegawai pemerintah yang mendukung kebijakan kolonial Belanda.

Menilik pada singkatan nama pengarang novel Sri Kumenyar tersebut (L.K. yang merupakan kependekan dari Lurah Kanjeng) besar kemungkinan bahwa Djajasoekarsa adalah seorang cendekiawan modern yang berasal dari keluarga priayi tradisional yang bekerja sebagai pegawai pangreh praja.

Di dalam novel Sri Kumenyar diungkapkan bahwa cara untuk meningkatkan status sosial, seseorang harus menempuh pendidikan modern Barat. Dari perubahan perilaku dan status sosial tokoh dapat diketahui bahwa Djajasoekarsa memiliki visi perlunya masyarakat pribumi berorientasi pada budaya modern. Menurut Djajasoekersa, tindakan mengikuti budaya modern dipandang sebagai tuntutan zaman. Seseorang yang telah mampu menyelesaikan pendidikan formal dipandang memiliki status sosial yang baik.

Novel Sri Kumenyar

sunting

Sebelum novel Sri Kumenyar, ada novel Gambar Mbabar Wewados (Balai Pusataka, 1932) karangan Jaka Lelana yang juga mengangkat visi pengarang terhadap kehidupan modern Barat. Novel Sri Kumenyar juga mengangkat kisah kasih tak sampai, diceritakan bahwa Sri Kumenyar bertunangan dengan Sumarsono. Namun menjelang akad nikah, diketahui bahwa Sumarsono adalah kakak kandung Sri Kumenyar. Sekian lama keduanya telah terpisahkan oleh bencana alam sehingga tidak saling tahu menahu latar belakang keluarga masing-masing.

Akhirnya Sri Kemenyar dan Sumarsono sepakat untuk membatalkan pernikahan mereka berdua. Untuk menyelamatkan acara pesta pernikahan tersebut, Sumarsono mengubah acara itu menjadi syukuran karena Tuhan telah mempertemukan dirinya dengan saudara kandungnya. Dengan kisah tersebut, novel Sri Kumenyar mengangkat kisah kumpule balung pisah 'berkumpulnya kembali anggota keluarga yang telah lama berpisah'. Jadi kisah ini sama dengan kisah dalam novel Gambar Mbabar Wewados (1932).

Dari kisah pada novel tersebut, dapat diktetahui bahwa Djajasoekarsa adalah sosok yang sangat paham dengan pandangan hidup dan etika Jawa. Orientasi modern dalam novel itu diketahui dari himbauan pengarang melalui tokoh dalam memanfaatkan teknologi modern dalam menghadapi kemajuan.

Referensi

sunting
  1. ^ a b Prabowo, D. P (2015). Ensiklopedi Sastra Jawa. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 131-133. ISBN 978-979-185-235-7.