Distribusi film Indonesia


Distribusi film Indonesia berjalan dalam kondisi pasar yang bisa dibilang tidak transparan, kecuali pada masa pra Orde Baru yang menjalankan sistem pasar terbuka. Di era Orde Baru, tata niaga di tingkat impor dan pembelian film berlangsung tanpa transparansi yang bisa diamati oleh publik. Hal ini bahkan terjadi di level peredaran tingkat bawah. Saat itu, hanya ada dua entitas yang bermain dalam industri film, yaitu produser dan importir. Badan khusus di bidang distribusi praktis tidak terdengar. Hal ini terjadi karena kepemilikan perusahaan yang bergerak di bidang impor dan penayangan bioskop adalah kelompok yang sama. Akibatnya, produser film nasional harus berhadapan dengan satu badan raksasa yang menentukan hidup mati dari film yang diproduksinya. Meskipun sama-sama berjalan dalam kondisi yang tidak transparan, pola distribusi saat ini sangat berkebalikan dengan distribusi film Indonesia pada pra Orde Baru hingga menjelang akhir Orde Baru. Saat itu, kondisi distribusi di Indonesia dapat dikatakan masih bebas. Meskipun demikian, permasalahan distribusi tetap menjadi batu sandungan perfilman nasional. Hal ini terlihat dari mayoritas film nasional yang telah selesai diproduksi, tetapi gagal ditayangkan.[1]

Distribusi film

sunting

Distribusi film adalah seni yang tak tampak karena sepenuhnya berjalan di belakang layar, jauh dari hiruk pikuk produksi dan sorotan publik di tahap eksibisi. Distribusi memastikan mekanisme pasar berjalan karena melalui tahap inilah terjadi arus barang dan jasa. Dalam menentukan jumlah kopi film, distributor mempertimbangkan pangsa pasar, lokasi penayangan, waktu rilis hingga analisis kekuatan filmnya sendiri. Distributor mengadakan kesepakatan dengan berbagai pihak di sisi hulu dan hilir untuk menentukan mekanisme eksploitasi karya film sehingga bisa menguntungkan semua pihak. Pada umumnya, distributor membeli hak eksploitasi dari produser film dengan tiga cara, yaitu (1) sistem beli putus,(2) komisi setelah menjualkan atau (3) bagi hasil. Sementara cara menjual hak tayang film ke eksibitor dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) harga pasti atau (2) bagi hasil. Dalam sistem pasar terbuka, cara yang diadopsi adalah sistem bagi hasil karena cara ini bisa membangun hubungan jangka panjang dalam pasar dan membuat masing-masing pihak menerima risiko yang terukur sesuai porsinya.

Fase distribusi film

sunting

Fase bebas

sunting

Era perdagangan film pra Orde Baru dinamakan era American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI). Distribusi film yang berlangsung saat itu didominasi oleh sistem jual putus dan dijalankan oleh pengedar daerah yang biasanya merangkap sebagai broker (perantara atau calo) dan booker (orang yang melakukan pemesanan atau penjadwalan penayangan film di bioskop). Namun, kondisi perfilman saat itu dipengaruhi oleh maneuver politik PKI yang sangat anti-Amerika. Pada tahun 1962-1963, muncul Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang terus menerus berusaha mengambrukkan dominasi AMPAI secara kasar bahkan sampai terjadi ancaman pembakaran terhadap bioskop oleh PAPFIAS. Pemerintah pun akhirnya menghentikan kegiatan AMPAI pada 17 Agustus 1964. Keadaan ini disusul dengan merosotnya produksi film nasional ke tingkat terendah (hanya 1-2 judul)

Fase tata niaga

sunting

Hancurnya infrastruktur perfilman sejak peristiwa 1965 membuat pemerintah merasa perlu untuk segera membangkitkan kembali industri. Oleh karena produksi dalam negeri tidak dapat diharapkan segera bangkit, pemerintah akhirnya membuka lebar keran impor melalui keputusan Menteri Penerangan B.M Diah. Importir film pun berduyun-duyun memasuki arus baru ini dan tergabung dalam Gabungan Importir-Produsen Film Indonesia (GIPRODFIN). Sebagai pemancing produksi, B.M Diah mengeluarkan SK nomor 71 tahun 1967 yang menyatakan bahwa untuk setiap film yang diimpor, importir harus menyetor uang untuk dihimpun sebagai biaya pembuatan film nasional. Keputusan tersebut kemudian diperbaharui dengan memperluas penggunaan dana, tidak hanya untuk produksi, tetapi untuk perfilman secara keseluruhan. Pada tahun 1972 sewaktu kepemimpinan Menteri Penerangan Boediardjo, mekanisme pengaturan tata niaga mulai menuai masalah. Saat itu, Departemen Penerangan mengedarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa CV Asia Baru mendapat hak tunggal memasukkan film Mandarin. Pada masa kepemimpinan Boediardjo, terdapat kategori importir, yaitu kategori AS-Eropa, Asia dan Asia Non Mandarin. Para importir tersebut tergabung dalam badan-badan konsorsium (BKIF).

Pemerintah mengklaim bahwa BKIF adalah aspirasi para importir untuk mencegah persaingan tidak sehat, tetapi muncul juga pengakuan bahwa importir sebenarnya ditekan: bergabung dengan badan-badan tersebut atau ijinnya dicabut. Pada akhirnya BKIF dibubarkan pada tahun 1976. Lalu, saat Mashuri menjadi Menteri Penerangan, ia membentuk empat konsorsium importir film (KIF) dengan masing-masing anggota 21 importir. Mashuri tetap mengaitkan aktivitas impor film dengan produksi film nasional dengan menerbitkan surat keputusan yang mewajibkan importir film merangkap menjadi produser sebagai syarat untuk memasukkan film dari luar negeri. Meskipun mekanisme ini mampu memicu produksi nasional, ketidakpuasan tetap muncul karena film yang dibuat dengan cara ini hanya mengejar kewajiban dan jumlah sehingga mutunya diragukan. Selain itu, ada juga keluhan dari aspek distribusi karena pasarnya dipenuhi oleh spekulan dan broker. Untuk membenahi sistem edar ini, pemerintah akhirnya mengeluarkan SKB 3 Menteri (Menpen, Mendagri dan Mendikbud) yang mewajibkan penayangan film nasional dalam jadwal yang ditentukan dan membentuk PT Peredaran Film Indonesia (PT Perfin). Berikut ini merupakan bagan penataan distribusi yang diupayakan pemerintah Orde Baru.

Fase transisi

sunting

Fase ini merupakan masa paling bergolak dalam sejarah distribusi film Indonesia. Hal ini bermula pada tahun 1985 ketika terjadi penggantian ketua AIF Eropa-Amerika secara tiba-tiba. Saat itu, posisi ketua dipegang oleh PT Citra Jaya Film di mana dalam masa kepemimpinannnya dihasilkan film-film nasional yang kini lestari sebagai karya-karya yang patut dikenang, seperti Doea Tanda Mata, Kembang Kertas dan Secangkir Kopi Pahit. Namun, ditengah kepemimpinannya, PT Citra Jaya Film digantikan dengan PT Suptan tanpa alasan yang jelas. Setelah penggantian ini, jumlah anggota AIF Eropa-Amerika mengalami penyusutan menjadi lima importir, tiga diantaranya sama sekali baru. Dua di antara yang baru tersebut (PT Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Estetika) memiliki keterkaitan dengan Benny Suherman dan Sudwikatmono sebagai pemilik Suptan. Dua PT tersebut hingga saat ini menjadi pemain utama impor film dan berada di pusat kekisruhan pajak film impor tahun 2011. Selanjutnya, PT Suptan pelan-pelan berhasil menguasai jalur distribusi karena daya beli mereka yang tinggi. Kuota yang sebenarnya dibagi dengan sesama importir, akhirnya mereka kuasai. Misalnya, PT Perfini yang merupakan perusahaan film yang didirikan oleh Usmar Ismail terpaksa meminjam uang dari Sudwikatmon untuk melakukan kegiatan impor. Pada lini distribusi, ekspansi PT Suptan juga terasa dengan menunjuk distributor tunggal untuk setiap daerah edar. Dengan sumber pasokan yang sudah dikuasai, distributor tunggal di daerah-daerah ini menjadi memiliki kuasa untuk mendikte apa yang ditayangkan di bioskop. Selain itu, untuk memuluskan arus film, ekspansi juga dilakukan dengan menguasai jaringan bioskop di daerah. Sebagai importir tunggal yang juga menguasai jalur distribusi dan bioskop, PT Suptan tentu akan memprioritaskan film untuk bioskopnya sendiri. Hal ini menyebabkan bioskop di luar kelompok Suptan harus mau memutar film apa saja yang disodorkan oleh distributor. Perubahan arus distribusi pada fase ini ditunjukkan dengan terbentuknya integrasi vertikal antara lini importir atau pemilik film dengan lini eksibitor sehingga menjepit keberadan distributor.

Fase status quo atau monopoli

sunting

Fase ini merupakan fase yang paling tenang bagi jaringan 21, tetapi juga merupakan masa-masa yang menekan bagi pelaku industri film nasional, terutama di sisi produser. Infrastruktur distribusi yang semula kacau, kini malah tidak terekspose karena semuanya berjalan secara internal. Ketertutupan infrastruktur distribusi terjadi karena pada fase ini pengedar daerah berafiliasi ke arah hilir dengan jaringan PT Subentra sebagai pemilik jaringan bioskop dan ke arah hulu dengan importir, seperti PT Satrya Perkasa Estetika dan PT Camila Internusa Film. Selain itu, meskipun terdapat pelaku bisnis di bidang distribusi yang berada di luar jaringan tersebut, entry barrier untuk memasuki pasar masih terlalu tinggi. Akibatnya, pemain independen akan kewalahan membiayai distribusi film yang bertingkat ke daerah-daerah karena ia harus berhadapan dengan jaringan yang pembiayaannya sudah saling mendukung.

Fase distribusi internal

sunting

Dari segi distribusi, fase ini ditandai dengan fenomena yang diisi dengan produser film yang uber capitalist. Artinya, dengan kondisi yang vakum dari dukungan pemerintah dan di tengah pengasaan pasar distribusi film yang masih melenggang tenang, produser film berjuang sendirian membuat film dan memasarkannya. Para produser menanggung semua risikonya sendiri.

Referensi

sunting
  1. ^ Ekky Imanjaya, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Adriansyah Ismail (2011). Menjegal film Indonesia: pemetaan ekonomi politik industri film Indonesia. Perkumpulan Rumah Film dan Yayasan Tifa.  line feed character di |author= pada posisi 50 (bantuan)