Diplomasi preventif
Diplomasi preventif adalah sebuah diplomasi yang berusaha mencegah campur tangan langsung negara besar di dalama krisis yang timbul di dunia ketiga. Secara umum, diplomasi preventif dipahami sebagai sebuah diplomasi yang dilakukan untuk mencegah timbulnya konflik dan peperangan di dunia.[1]Bedjaoui kemudian membagi diplomasi preventif menjadi dua jenis yakni diplomasi preventif tradisional yang bersifat internal dan diplomasi preventif kontemporer yang berorientasi kepada situasi universal. Selain itu, terdapat tiga formulasi esensial di dalam diplomasi preventif yakni peacemaking yang berkaitan dengan upaya penegakkan perdamaian dalam situasi konflik, peacekeeping yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan perdamaian, dan peacebuilding yang berkaitan dengan upaya penataan kembali struktur yang rusak akibat konflik. Diplomasi preventif pada awalnya diperkenalkan oleh Presiden Woodrow Wilson melalui Wilson Fourteen Points yang menjadi cikal bakal dari pembentukan Liga Bangsa-Bangsa di akhir Perang Dunia I. Namun, dalam perjalanannya, diplomasi preventif kemudian menunjukkan eksistensinya pada era perang dingin di mana negara-negara yang tidak ingin terlibat di dalam kedua kekuatan superpower yang saling bersaing kemudian menuangkan ide dan pemikiran mereka di dalam sebuah diplomasi yang bertujuan untuk mencegah konflik yang berpotensi menimbulkan peperangan.[2]
Diplomasi offensif adalah sebuah praktik diplomasi yang memaksa pihak lain dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Praktik diplomasi yang menjadi ciri khas dari Kekaisaran Romawi di abad pertengahan ini kemudian menggunakan berbagai ancaman dan sanksi sebagai alat dan sarana untuk memaksa lawan berunding. Sanksi dan paksaan tersebut dapat berupa embargo ekonomi bahkan intervensi militer di dalam kasusnya yang ekstrem. Diplomasi offensif cenderung digunakan jika proses negosiasi kemudian mengalami sebuah jalan buntu. Diplomasi offensif ini memiliki kelebihan di bidang efisiensi waktu dan usaha dalam pencegahan konflik di mana negara-negara yang dianggap akan memulai konflik dipaksa untuk tunduk dan taat kepada negara yang lebih kuat. Akan tetapi, unsur paksaan dan sanksi yang terdapat di dalam praktik diplomasi ini kemudian akan merugikan negara-negara kecil dan hanya menguntungkan negara-negara besar yang memiliki kekuatan yang besar.
Diplomasi rahasia atau secret diplomacy adalah sebuah praktik diplomasi yang dilakukan oleh para aktor internasional terutama negara dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya secara rahasia dan tanpa sepengetahuan publik. Diplomasi tipe ini memiliki kelebihan di aspek perundingan yang hanya melibatkan sedikit aktor saja sehingga penyesuaian interest dan tujuan dapat lebih mudah dicapai. Selain itu, penyelesaian konflik dan masalah secara rahasia dapat menekan angka kekhawatiran publik mengenai permasalahan tersebut. Akan tetapi, kelemahan dari tipe diplomasi rahasia ini adalah ketika proses diplomasi berujung pada konflik dan kegagalan maka masyarakat atau publik akan turut menanggung akibatnya meskipun mereka tidak tahu menahu mengenai kebijakan diplomasi tertutup yang dilakukan oleh pemerintahan negaranya. Pola ini mulai terkenal pada era abad pertengahan di mana dunia masih menganut sistem monarki absolut dan kemudian mengalami turning point penting ketika Lenin membocorkan berbagai praktik diplomasi rahasia Kekaisaran Rusia Romanov di depan publik Rusia. Selain secret diplomacy, terdapat pula tipe yang menjadi kontra dari diplomasi rahasia ini yaitu diplomasi publik.
Diplomasi publik adalah pola diplomasi yang hadir pasca Perang Dunia Kedua di mana negara-negara kemudian berusaha memperbaiki citra dan martabatnya di depan publik mereka sendiri maupun publik internasional. Diplomasi publik merupakan proses diplomasi yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah terhadap masyarakat, baik masyarakat di negaranya maupun negara lain untuk meningkatkan kepentingan dan memperluas nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Diplomasi ini berkaitan erat dengan pembantukan opini publik meskipun di lain sisi, pemberian berbagai pandangan subjektif pada masyarakat dapat berakibat pada ketidakmampuan masyarakat dalam mengenali batas-batas kebenaran yang sesungguhnya.
Diplomasi budaya atau culture diplomacy adalah sebuah tipe diplomasi yang menggunakan kebudayaan sebagai salah satu sarana untuk berdiplomasi dan memperjuangkan kepentingan para aktor internasional. Aspek yang terdapat dalam diplomasi budaya tergolong luas, seperti musik, tarian, upacara adat, makanan, dan sebagainya. Diplomasi budaya kemudian berkembang pesat pada masa perang dingin di mana Amerika Serikat dan Uni Soviet sama-sama bersaing dalam memperkenalkan budaya mereka masing-masing kepada para negara sasarannya. Tipe diplomasi ini sangat bergantung pada kualitas interpretasi budaya aktor yang satu terhadap aktor yang lainnya sehingga kecenderungan kemunculan interpretasi negatif dari negara lain perihal seni dan budaya dari satu negara tertentu memiliki peluang untuk terjadi.
Diplomasi dollar atau dollar diplomacy didefinisikan sebagai sebuah praktik diplomasi yang bertujuan untuk mendapatkan pengaruh dengan menggunakan bantuan ekonomi sebagai salah satu sarana pencapaian tujuan tersebut. Diplomasi dollar ini kemudian menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, bantuan ekonomi adalah sebuah bantuan yang sifatnya esensial dan paling tepat untuk mempengaruhi negara lain dalam konteks jangka pendek. Akan tetapi, diplomasi dollar ini kemudian menimbulkan interdependensi yang kemudian merugikan negara yang sudah terlanjur melakukan diplomasi dengan negara yang bersangkutan. Selain itu, diplomasi ini dianggap hanya akan menguntungkan negara-negara besar dengan modal yang kuat.
Diplomasi senjata atau gun diplomacy diartikan sebagai praktik diplomasi yang menggunakan senjata dan kekuatan militer untuk menyebarkan ketakutan dan teror dalam rangka menjaga stabilitas sistem internasional. Tipe ini kemudian juga memiliki tujuan untuk memperjelas posisi dan status dari negara yang bersangkutan di dalam sistem internasional. Kelebihan diplomasi ini dapat dilihat dari lebih terjaganya stabilitas dan keamanan sistem internasional karena upaya menakut-nakuti tersebut menjalankan perannya secara efektif. Akan tetapi, kekurangan praktik diplomasi ini adalah ketakutan negara-negara lain sehingga pada akhirnya dapat memicu konflik dan peperangan.