Depati Bahrin
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Depati Bahrin adalah pahlawan yang pernah memimpin Perang Bangka I pada tahun 1819-1828, diangkat sebagai Depati Tanah Jeruk oleh Sultan Palembang dan salah satu Panglima Tujuh yang terkenal di Pulau Bangka bersama Akek Sak, Akek Kuah, Akek Mis, Akek Adung, Akek Ning dan Akek Ijah.
Keluarga dan kehidupan awal
suntingAmir merupakan salah satu anak laki-laki Depati Bahrin dari isteri bernama Dakim/Bakim. Saudara sekandung Amir antara lain Johara, Sajidah, Abdul Monas, Hamzah (Cing), Hasnah dan Penuh (Bonda)
Silsilah keturunan mereka dari Tomi Lugo yang lahir di Banten kemudian memiliki anak bernama Depati Karim. Anak Depati Karim adalah Depati Anggur. Depati Anggur alias Akek Tagak, memiliki anak bernama Depati Bahrin, yang lahir di Banten tahun 1636.
Kemudian hari, Depati Bahrin memiliki putra bernama Depati Amir,warga Jada Bahrin memanggil Depati Bahrin dengan sebutan Akek Pok. Makam pahlawan ini terletak di kawasan Ubuk Bunter, Desa Jada Barin Kabupaten Bangka. Sampai saat ini, makam depati bahrin masih dirawat oleh generasi keluarganya.
Di kawasan makam ini, juga terdapat kuburan para panglima Depati Bahrin, beserta dokumen negara serta peralatan persenjataan, peninggalan jaman Depati Barin masih memegang kekuasaan.
Kedatangan Depati Bahrin ke Pulau Bangka, diawali saat daerah Banten sedang terjadi perang besar-besaran. Sementara di Pulau Bangka, tidak ada sosok yang mengawal pertempuran, melawan Belanda.
Perang Bangka melawan penjajahan Belanda
suntingDepati Bahrin, diperintahkan sang ayah untuk membantu pertempuran di Bangka. Di Bangka, Depati Bahrin tinggal di sebuah menara di hulu sungai di tengah hutan. Ini dilakukannya, tak lain agar mempermudah mengawasi pergerakan Belanda kala itu.
Depati Bahrin akhirnya memiliki putra, yang kemudian dikenal sebagai Depati Amir. Lahir tahun 1805, Amir ikut melawan penjajah, bersama panglima perang lainnya. Akhmad Elvian dalam makalahnya:” Depati Amir Pejuang Tangguh Dan Berbahaya,” menuliskan, Depati Bahrin dan Amir dikenal sebagai pemimpin yang jago perang gerilya. Bahkan keduanya memiliki kesaktian bisa menghilang, saat hendak ditangkap Belanda.
F. Epp, seorang penulis Belanda menggambarkan kehebatannya: ”Der Depatti Barin zeigte sich hier als ein tuchtiger Guerillafuhrer, indem er und sein Sohn, der Depatti Amir, sich stets unsichtbar zu machen wussten, wenn sie in die Enge getrieben waren”(Depati Bahrin menunjukkan dirinya sebagai pemimpin gerilya yang ulung; ia dan puteranya, Depati Amir, selalu dapat menghilang, bilamana mereka terdesak).
Amir memang seseorang yang sangat berbahaya dan ekspresinya selalu mencurigakan. Perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir mendapat perhatian serius dari Batavia karena penghasilan negara dari tambang timah menjadi merosot. Perang ini menyebabkan banyak tambang tutup dan menimbulkan banyak kerugian bagi Belanda (Sujitno,2011:217).
Perang rakyat Bangka telah menyebabkan keresahan bagi pemerintah Hindia Belanda baik residen maupun pimpinan militer tertinggi Belanda di pulau Bangka. Keresahan itu hampir terjadi di delapan distrik di pulau Bangka. Komoditas timah pada pertengahan abad ke-19 merupakan komoditas ekspor terbesar ketiga setelah kopi dan gula yang memberikan keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda. Timah Bangka telah menjadi tambang emas: di Tahun 1926, sumber BTW memperkirakan Bangka mendatangkan keuntungan kasar f 400 juta dalam sembilan puluh tahun pertama (1820-1910) dan f 350 juta dalam lima belas tahun berikutnya (1911-25) (Heidues, 1992:128-129).
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Jacob Rochussen (memerintah Tahun 1845-1851 Masehi), karena kekhawatirannya, secara khusus mengirimkan seorang komisaris bernama H.J. Severijn Haesebroek untuk menjajaki berbagai perundingan dengan Depati Amir dan menyusun langkah-langkah mendasar guna penyelesaian peperangan.
Kegagalan penumpasan perlawanan rakyat yang dipimpin Depati Amir oleh polisi/opas dan Hoofd Jaksa Abang Arifin, berakibat Residen Bangka F. van Olden diberhentikan sebagai residen dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 17 September 1850 Masehi.
Untuk menumpas perlawanan seorang depati yang tidak memiliki pasukan militer karena pasukan Depati Amir adalah rakyat Bangka yang petani dan peladang dibantu oleh orang Cina Bangka para parittheew dan para kuli tambang (Alfiah, 1983/1984:56), pemerintah Belanda harus mendatangkan beberapa kali bala bantuan militer dari keresidenan Palembang dan dari Batavia. Bantuan yang datang antara lain, pada tanggal 26 April 1850 dengan kekuatan 4 perwira, 143 Bintara beserta anak buahnya dipimpin kapten J.H. Doorschodt dan Jonkheer de Casembroot (Bakar, 1969:43). Sebagian pasukan tinggal di ibukota Muntok dan sebagian pasukan ditugaskan ke distrik Pangkalpinang untuk selanjutnya ditempatkan di kampung-kampung di wilayah tempat terjadinya pertempuran7) (Elvian, 2014:21). Pasukan Kompi Afrikaansche Flank-kompagnie dari Batalion ke-12, sengaja didatangkan pemerintah kolonial Belanda untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir.
Sayang, Depati Amir akhirnya berhasil ditangkap oleh Belanda, saat sedang berusaha mempertahankan Muntok-Bangka Barat.
Belanda memiliki siasat untuk menangkap Depati Bahrin, dengan cara mengikat sang anak di tiang kapal. melihat itu, Depati Bahrin yang semula sudah bersiap-siap berperang, membatalkan niatnya.
Depati Bahrin tertangkap, lalu Depati Amir anaknya diasingkan ke Timur Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 1851.
Pada tahun 1848, Depati Bahrin wafat pukul empat sore, dan dimakamkan pukul 12 malam, di kawasan Lubuk Bunter, Jada Barin, Kabupaten Bangka. Oleh Belanda dibuatkan beberapa makam palsu Depati Bahrin, agar jasadnya tidak bisa ditemukan oleh siapapun.
Sementara di pengasingan, di sebelah Timur Kupang, Depati Amir hidup berkeluarga, namun tidak menyurutkan semangatnya melawan penjajah, hingga akhirnya dia terbunuh oleh Belanda tahun 1885.
Jasadnya dimakamkan di pekuburan islam Batu Kadera, Kelurahan Airmata, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.