Demokrat Kristen adalah sebutan bagi para penganut paham demokrasi Kristen sebagai ideologi politik yang ide utamanya adalah mengkonsepsikan penyatuan antara konservatisme religius, khususnya Kristen Katholik Roma dengan demokrasi, dan liberalisme. Paham ini berkembang di Eropa Barat, khususnya di negara-negara daratan Eropa – tidak termasuk Inggris - seperti Jerman dan Prancis.[1][2][3][4][5]

Latar Belakang

sunting

Pada 1945, pasca Perang Dunia II, ideologi konservatisme banyak mengalami perubahan dan perkembangan, khususnya hal ini terjadi di Eropa Barat. Di Inggris sendiri, konservatisme banyak mengambil nilai-nilai dari sisi kiri-tengah, yaitu sosial-demokrat, sementara di Eropa Barat daratan, khususnya Jerman dan Prancis, konservatisme juga mengalami adaptasi yang lebih besar terhadap lingkungan politik pasca-Perang Dunia II, karena wilayah ini sempat menjadi basis kekuatan ideologi kanan jauh, seperti fasisme.[6]

Selama fasisme berkuasa di Eropa Barat, kekuatan-kekuatan politik konservatif banyak yang berafiliasi dengan fasisme dan turunannya, seperi rasisme dan otoritarianisme, termasuk pembencian terhadap demokrasi, sehingga kekuatan konservatisme pasca-Perang Dunia II di Eropa Barat daratan mengalami banyak terdiskreditkan oleh pengalaman fasisme mereka. Untuk menganulir pengalaman fasis mereka dan menghapus pengaruh fasisme, kelompok konservatif di Eropa Barat daratan kemudian mengadopsi nilai-nilai demokrasi, namun juga mengambil nilai-nilai Kristen, dari sinilah paham demokrasi Kristen lahir.[7]

Antara Kanan dan Kiri

sunting

Demokrasi Kristen baru muncul pada 1945, pasca-Perang Dunia II, tetapi asal usul mereka jauh lebih tua daripada itu. Apa yang dimaksud “Kristen” dalam demokrasi Kristen adalah Kristen Kahtolik – kecuali di Jerman, demokrasi Kristen, yang direpresentasikan oleh Partai Uni Demokrat Kristen lebih mengadopsi nilai-nilai Protestanisme. Ide awal kemunculan demokrasi Kristen adalah mendamaikan ajaran Katholik dengan nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Revolusi Prancis, karena sejak Revolusi Prancis itu, Katholikisme dianggap bermusuhan dengan republikanisme dan demokrasi. Permusuhan antara Gereja Katholik dengan republikanisme terjadi karena Republik Prancis melakukan kebijakan yang sangat keras terhadap Katholikisme dan Kepausan, pemerintah Republik Prancis dibawah Napoleon Bonaparte sering menyerang Gereja Katholik, menyita tanah milik Gereja Katholik, dan bahkan berusaha menciptakan agama baru yang bersumber dari akal, ilmu pengetahuan, dan “Wujud Tertinggi” (‘ ‘ ‘Supreme Being’ ‘ ‘).[7]

Selain itu, terlepas dari serangan Revolusi Prancis terhadap dominasi Gereja Katholik, ada alasan lainnya, yaitu kemunculan liberalisme yang juga mengancam nilai dan ajaran Katholik. Industrialisasidan urbanisasi, yang merupakan perkembangan dari kapitalisme juga menghancurkan kehidupan komunal masyarakat dan keluarga tradisional. Teori ekonomi liberal yang menekankan pada aspek individualisme menjadikan nilai-nilai materialisme lebih utama ketimbang spiritualisme. Nilai-nilai lainnya yang dibawa oleh liberalisme dalam Partai Liberal juga mengangkat toleransi ketahap yang melebihi batas, hal ini turut mengembangkan prinsip self-indulgence (memperturutkan nafsu diri sendiri) dan permisif (serba membolehkan), termasuk memperbolehkan seorang individu untuk melawan Tuhan.[7]

Karena pertentangan-pertentangan nilai inilah, permusuhan antara Gereja Katholik dengan liberalisme dan demokrasi menjadi lebih kompleks. Meksipun pada 1830-an ada usaha dari beberapa pihak yang berusaha untuk mendamaikan Katholikisme dengan liberalisme di Prancis. Usaha itu menjadi sia-sia, karena di beberapa negara Eropa Barat lainnya, seperti Irlandia, Belgia, dan juga Amerika Serikat, justru memberikan kesan bahwa hanya kehidupan sayap kanan saja yang memungkinkan ajaran Gereja Katholik bisa berdampingan dengan demokrasi, sehingga orang tetap menganggap Katholikisme sebagai ideologi sayap kanan yang intoleran.[7]

Sementara itu, menjelang akhir Abad 19, demokrasi bukan hanya berasosiasi dengan liberalisme, tetapi juga dengan sosialisme, yang pada saat itu sosialisme di Eropa Barat daratan berarti Marxisme yang memiliki karakter atheis. Berasosiasinya demokrasi dengan liberalisme ditambah juga dengan sosialisme yang atheis menjadikannya justru semakin sulit untuk mendamaikan Katholikisme dengan demokrasi.[8]

 
Lord Acton

Hanya sedikit orang saja yang berkeinginan dan berpikir untuk membuat sintesis antara demokrasi, liberalisme dengan Katholikisme, salah satunya adalah Lord Acton (1834-1902), dan itupun masih abstrak. Lord Acton berpendapat bahwa ia menolak segala sesuatu dari Katholikisme yang membelenggu nilai kebebasan – yang menjadi prinsip dasar liberalisme – dan ia juga menentang segala sesuatu dalam politik (liberalisme dan demokrasi) yang bertentangan dengan ajaran Katholik.[9]

Pada 1870-an, Katholikisme mulai membuka diri pada proses politik (disebut sebagai Katholikisme politis), yang dasarnya adalah demi kebaikan Gereja untuk dapat berpatisipasi dalam proses politik dunia modern, baru kemudian Katholik kembali menjadi kekuatan politik yang signifikan, terutama di Jerman, Belgia, Austria, dan Swiss. Gerakan ini cenderung memiliki tujuan yang menentang sekulerisme dan liberalisme, memperjuangkan hukum pernikahan sipil, kebijakan pendidikan yang diatur oleh negara, dan kebijakan lainnya yang menunjukkan watak reaksioner. Keanggotaannya pun masih eksklusif, karena diharuskan seorang yang menjadi anggota dari Gereja dan tentu beriman. Gerakan ini belum atau tidak menunjukkan komitmen untuk berdamai dengan demokrasi. Tujuan geraka ini hanya sekadar untuk mengembalikan dan mendapatkan posisi istimewa dalam negara dan mampu membuat kebijakan yang menguntungkan bagi Gereja, hal ini terjadi karena kelompok kiri-tengah selalu membawa isu-isu pemisahan antara Gereja dengan negara, sehingga muncul perlawanan balik dari Gereja.[9]

Gerakan politik awal dari Katholikisme memang menentang kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya mendasari ajaran pada nilai-nilai materialisme yang meminggirkan kekuasaan Tuhan dan juga hanya menganggap materi itulah yang menyebabkan konflik sosial. Meskipun begitu, Katholikisme pada tahap ini memberikan simpati pada kelompok petani dan pengrajin yang mandiri, tidak terikat pada korporasi kapitalis ataupun serikat pekerja, petani dan pengrajin ini tergabung dalam sebuah serikat gilda yang sesuai dengan ensiklik Katholik.[9]

Pada 1914, mulai ada kemajuan, Katholikisme mulai menunjukkan akan berdamai dengan kapitalisme, karena muncul paradigm bahwa sistem ekonomi sosialisme menjadi sistem ekonomi yang lebih berbahaya ketimbang kapitalisme, sementara agar kelompok petani dan pekerja Katholik yang tidak terhisap oleh keserakahan kapitalisme, maka kelompok Katholik berusaha mempertahankan posisi mereka dalam sistem.[10]

 
Luigi Sturzo

Perkembangan

sunting

Pasca-Perang Dunia I

sunting

Pada 1919, tepat saat berakhirnya Perang Dunia I, Katholikisme politis berkembang di Italia dan mulai menumbuhkan demokrasi Kristen yang modern. Partai demokrasi Kristen modern yang pertama didirikan oleh Luigi Sturzo pada 1919, Sturzo adalah seorang pendeta yang percaya bahwa Katholikisme dan demokrasi dapat didamaikan. Partai Sturzo sendiri memisahkan diri dari Gereja demi mendukung gerakan pembaharuan sosial yang demokratis, tetapi ia berkontribusi untuk memasukkan nilai-nilai Katholik, khususnya nilai sosial dalam ajaran Katholik dalam proses pembaharuan itu. Partai yang serupa dengan Sturzo juga banyak berdiri dibeberapa negara di Eropa dan Amerika Latin.[10]

Perkembangan lainnya adalah saat fasisme muncul sebagai salah satu kekuatan politik yang ditakuti oleh dunia, terutama oleh kapitalisme yang sudah sangat tua di Amerika Serikat dan komunisme yang masih muda di Uni Soviet. Saat kemunculan fasisme itu, terutama di Italia yang dipimpin oleh Benito Mussolini, Gereja Katholik dalam beberapa kasus justru mendukung fasisme, begitupula sebaliknya, banyak organisasi fasis ataupun proto-fasis seperti Action Française juga mendukung Gereja Katholik. Namun, fasisme Mussolini juga bertindak tegas pada apapun yang berbau demokrasi, hal ini berlaku pada Luigi Sturzo, meskipun ia Katholik tetapi partainya adalah demokrat, sehingga rezim Mussolini dibuang ke Prancis pada 1924.[10]

Pasca-Perang Dunia II

sunting

Saat Perang Dunia II, partai demokratik Kristen banyak kehilangan daya tarik, tetapi ketika ia dibangun kembali pasca-Perang Dunia II, demokrasi Kristen mulai memiliki daya tarik yang lebih luas, terutama di wilayah bekas kekuasaan fasisme dan Nazisme dan juga di wilayah yang dikuasai oleh komunisme setelah perang. Hal ini terjadi karena, banyak orang-orang kanan jauh yang dahulu mendukung atau bersimpati pada Nazisme dan fasisme telah terdiskreditkan dan takut bila masih tetap menjadi seorang kanan jauh, oleh karena itu, menjadi seorang Kristen democrat adalah pilihan alternative yang jelas tanpa meninggalkan spektrum sayap kanan, selain itu juga muncul kembali kebencian mereka terhadap komunisme yang melakukan penindasan terhadap ajaran Katholik sehingga mereka banyak menggabungkan diri ke dalam partai demokrasi Kristen.[11]

Oleh karena itu, perkembangan pesat terhadap ideologi Kristen demokrat terjadi di Jerman, Italia, Austria, dan Benelux. Perkembangan lainnya juga terjadi di Prancis, saat Charles de Gaulle pulang dan mengambil kembali kekuasaan dari tangan Marsekal Pertain setelah Perang Dunia II, muncul Partai Demokratik Kristen Prancis yang kebanyakan kemudian ditampung oleh pengikut Gaulle atau yang disebut sebagai Gaullis, karena dia sendiri adalah seorang kanan-tengah meskipun membenci dan sangat membenci kanan jauh karena pengalamannya melawan Jerman Nazi dan Prancis Vichy.[12]

Semenanjung Iberia

sunting

Wilayah Iberia adalah tempat fasisme bertahan pasca-Perang Dunia II, di Spanyol ada Jenderal Francisco Franco dan di Portugal ada Antonio de Olivera Salazar, meski keduanya tidak ikut perang, tetapi hubungan emosional dan ideologis dengan Adolf Hitler dan Benito Mussolini selama Perang Saudara Spanyol cukup meninggalkan bekas yang sangat kuat pengaruhnya. Ketika Franco dan Salazar mangkat pada 1970-an, banyak partai bermunculan, salah satunya juga dari Kristen demokratik, baik ditingkat nasional maupun regional kedaerahan.[11]

Referensi

sunting
  1. ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 110
  2. ^ Dollar, Ellen Painter (2012-10-17). "Why I am a Christian Democrat". Ellen Painter Dollar (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-21. 
  3. ^ "Christian Democrat?". in All things (dalam bahasa Inggris). 2015-10-20. Diakses tanggal 2017-11-21. 
  4. ^ "Can You Be Christian and a Democrat?". www.christianpost.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-21. 
  5. ^ "Why I Am A Christian And A Democrat". The Odyssey Online (dalam bahasa Inggris). 2016-03-22. Diakses tanggal 2017-11-21. 
  6. ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 110 - 111
  7. ^ a b c d Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 111
  8. ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 111 - 112
  9. ^ a b c Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 112
  10. ^ a b c Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 113
  11. ^ a b Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 114
  12. ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 114 dan 116 - 117