Deaf Art Community Yogyakarta
Topik artikel ini mungkin tidak memenuhi kriteria kelayakan umum. (November 2017) |
Deaf Art Community Yogyakarta adalah sebuah komunitas yang dibangun untuk memberdayakan para tuna rungu (tuli) melalui beragam aktivitas seni-pertunjukan dan budaya. Komunitas ini berada di sebuah kontrakan yang dihuni oleh tiga komunitas sekaligus yang sama-sama bergerak di bidang seni, yaitu Kluwung Indonesia[1] dan Gallery of Studio “Omah Gumyah”. Awal mula terbentuknya DAC tidak terlepas dari peran Galuh Sukmara, pendiri sebuah komunitas tuli bernama “Matahariku” di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Ia adalah seorang tuna rungu yang mengajak kawan-kawannya sesama tuna rungu untuk tampil di panggung dalam sebuah acara penggalangan dana untuk pengidap kanker. Setelah berpindah ke Australia, komunitas tersebut kemudian bubar. Namun, rekan Galuh bernama Babe bertekad untuk terus melanjutkan apa yang telah dimulai sebelumnya. Akhirnya, lahirlah Deaf Art Community.[2]
Kegiatan Komunitas
suntingKegiatan utama Deaf Art Community tetap melakukan latihan di bidang seni pertunjukan. Kegiatan yang biasa mereka lakukan antara lain sulap, pantomim, teater, hip-hop dance, musik perkusi, puisi visual, basket freestyle, dan kegiatan seni rupa seperti melukis, dan membuat film pendek. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pertunjukan seni yang mereka tampilkan, kini anggota DAC hanya menampilkan pertunjukan yang sesuai dengan permintaan penyelenggara pertunjukan. Di samping itu, DAC juga melakukan kegiatan mengajar bernama Sekolah Semangat Tuli.[3] Hal itu mereka lakukan ketika tidak sedang ada permintaan untuk tampil. Di dalam program mengajar tersebut, terbagi menjadi dua kelas besar, yaitu kelas Bahasa isyarat dan kelas Bahasa Indonesia untuk tuli.
Sekolah Semangat Tuli mulai diadakan pada 1 April 2012 dengan kelas Bahasa isyarat setiap hari Senin dan Kamis pada pukul 16.30 – 18.00 WIB. Kelas ini bertujuan untuk mengedukasi teman-teman tuli dan masyarakat umum yang ingin belajar Bahasa isyarat. Komposisi kelas ini adalah 90% mampu mendengar dan 10% orang tuli. Meskipun kelas Bahasa isyarat diadakan untuk menambah kegiatan rekan-rekan tuli, tujuan utamanya adalah memberikan edukasi terkait Bahasa isyarat.[2]
Kelas Bahasa isyarat tersebut dapat diakses secara gratis dengan sistem yang fleksibel: masyarakat bisa bergabung dalam kelas tersebut kapan pun, tanpa harus menunggu tahun ajaran baru, sebagaimana sekolah formal lainnya. Meskipun fleksibel, di dalam kelas bahas isyarat terdapat beberapa level materi yang diberikan. Level pertama berisi pelajaran 1-10 yang berisi materi dasar seperti huruf dan angka kemudian diikuti dengan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, di level kedua terdapat materi yang berisi pelajaran 11-20 berupa materi pelajaran lanjutan dari level pertama dengan materi yang lebih sulit dibandingkan di level kedua. Kelas kedua tersebut biasanya diisi oleh peserta dengan jumlah yang lebih sedikit. Sebagian besar dari mereka biasanya hanya mengikuti kelas pertama, kemudian karena kesibukan tertentu mereka memilih untuk tidak melanjutkan kelas.[2]
Setelah kelas level pertama dan kedua, peserta Sekolah Semangat Tuli[3] akan belajar tentang gestur dan ekspresi. Kelas tersebut biasanya diisi oleh masyarakat yang ingin menjadi juru Bahasa. Di dalam kelas ini, peserta didik akan lebih banyak untuk praktik. Teman-teman tuli akan melakukan tes kepada peserta didik terkait ekspresi dan kemampuan gestur yang harus disampaikan dalam Bahasa isyarat.
Selain kelas Bahasa isyarat, kelas lain yang juga ditawarkan oleh DAC adalah kelas Bahasa Indonesia untuk tuli. Kelas ini dibuka pada tahun 2016 setiap hari Rabu dan Sabtu pada pukul 16.30 – 18.00. Kelas ini diperuntukan khusus bagi teman-teman tuli. Mereka akan belajar bagiamana menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sebab, selama ini teman-teman tuli dalam menggunakan Bahasa Indonesia sering tidak mengikuti kaidah yang baku. Meskipun kelas ini diajar oleh teman-teman tuli, pengajar yang dipilih tetap memiliki pengetahuan Bahasa yang lebih baik.
Selain mengajar dan belajar, kegiatan rutin yang dilakukan DAC adalah mengobrol. Meskipun terlihat sepele, hal itu sebenarnya sangat dibutuhkan oleh mereka. Mengobrol dengan teman-teman tuli tentu saja berbeda dengan mengobrol dengan teman-teman “normal” lainnya. Dengan memperbanyak aktivitas mengobrol dengan mereka yang tidak tuli tersebut, teman-teman tuli menjadi semakin dimanusiakan.[4]
Referensi
sunting- ^ "Kluwung, Indonesia - Geographical Names, map, geographic coordinates". geographic.org. Diakses tanggal 2017-11-13.
- ^ a b c Rygen, Bangkit. 2017. Mendengar Tanpa Suara, Dinamika Orang Tuli di Tengah Masyarakat Dengar: Studi Kasus di Deaf Art Community Yogyakarta
- ^ a b http://wargajogja.net/komunitas/sekolah-semangat-tuli-ketika-tangan-berbicara-lebih-banyak.html
- ^ Blume, S. 2010. The Artificial Ear: Cohlear Implants and the Culture of Deafness. New Brunswick: Rutgers University Pers.