Danurejo IX (VIII)
Artikel ini sebagian besar atau seluruhnya berasal dari satu sumber. |
Kangjeng Pangeran Haryo Hadipati Danurejo yang kemudian dikenal dengan Danurejo VIII dilahirkan tanggal 3 September 1882 di Yogyakarta dengan nama RM Subari. Ayahnya adalah Pangeran Haryo Buminoto putera Sultan Hamengkubuwono VI. Pendidikan formal yang diperoleh adalah ELS (Europeesche Lagere School). Pada usia 12 tahun (1894) dia sudah diangkat menjadi abdidalem (Pegawai Kerajaan) dengan pangkat Jajar Panakawan Bedaya. Setelah 14 tahun (1904) pangkatnya dinaikkan menjadi Bekel Punakawan Bedaya dengan gelar Raden Bekel Mangkunadi.
Pada 1909 dia diangkat menjadi Panewu Palang Negari (Sekretaris) di Kabupaten Kalasan dan bergelar Raden Panewu Mangundimejo. Selang lima tahun kemudian, pada 1914, dia dinaikkan pangkatnya menjadi Panji (Kepala Distrik) di Semanu Kabupaten Gunung Kidul dan bergelar Raden Panji Harjodipuro yang kemudian diubah menjadi Harjokusumo. Tahun 1919 Sultan mengangkatnya menjadi Bupati Pangreh Praja Kalasan dan bergelar Raden Tumenggung Harjokusumo. Pada 1927 dia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Kota Yogyakarta yang merupakan gabungan Kabupaten Sleman, Kalasan, dan Kota Yogyakarta.
Pada 30 November 1933 dia dilantik menjadi Pepatih Dalem Danurejo VIII. Permaisuri dia adalah GKR Candrakirono, putri Sultan Hamengkubuwono VII. Pada 11 September 1942 oleh Jepang dia dilantik menjadi Yogyakarta Kooti Somu Tyookan. Setelah menjabat Pepatih Dalem selama lebih dari sebelas tahun, pada 14 Juli 1945 dia diberhentikan dengan hormat atas permohonannya sendiri dan diberikan pensiun. Seluruh tugas-tugasnya diambil alih oleh Sultan Hamengku Buwono IX mulai 1 Agustus 1945. Dengan demikian dia merupakan Pepatih Dalem terakhir yang dimiliki oleh Kesultanan Yogyakarta. Setelah pensiun dia bergelar KPHH Harjokusumo.[1]
Referensi
suntingP.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5.
- ^ Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa. Gunseikanbu. 1944.