Danseigo dan Joseigo

Danseigo dan Joseigo merupakan ragam bahasa Jepang yang dituturkan berdasarkan gender. Danseigo merupakan ragam bahasa pria sedangkan joseigo merupakan ragam bahasa wanita. Biasanya ragam bahasa ini digunakan di dalam keseharian, bukan dalam situasi resmi. Berbagai media baik cetak ataupun elektronik seperti televisi, radio, majalah, novel hingga komik sering memuat ragam bahasa ini.[1]

Istilah lain dari joseigo adalah onna kotoba atau berarti kata-kata wanita dalam Bahasa Indonesia. Ragam bahasa ini mencerminkan unsur feminim pada seorang wanita. Keberadaan gaya bahasa yang secara tegas membedakan jenis kelamin tersebut merupakan karakteristik bahasa Jepang. Sebaliknya, istilah lain dari danseigo adalah otoko kotoba atau berarti kata-kata pria. Ragam bahasa ini mencerminkan unsur maskulinitas karena biasa dituturkan oleh kaum pria.[1]

Perbedaan

sunting

Sebagai ragam bahasa gender, danseigo dan joseigo memiliki sejumlah perbedaan. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Ninshoo daimeshi (Pronomina persona)

sunting

Jepang mengenal watashi sebagai kata ganti orang pertama yang berarti saya. Namun dalam danseigo dan joseigo bahasa yang digunakan akan berbeda. Kaum wanita Jepang biasa menggunakan atashi sedangkan kaum pria Jepang menggunakan boku untuk menyatakan kata 'saya'. Contohnya terdapat pada kalimat di bawah ini:

"Boku ga iku yo"

"Atashi ga iku yo".

Meski sama-sama berarti "Saya akan pergi", tetapi pemakaian kedua kata tersebut berbeda dengan watashi. Watashi bersifat netral sedangkan baik atashi dan boku bersifat gender. Kata lain yang sepadan dengan watashi adalah ore. Namun ore hanya digunakan oleh kaum pria Jepang.

Pada kata ganti orang kedua yang berarti 'kamu' juga terdapat perbedaan, terutama dalam hubungan antara suami dan istri. Suami biasanya akan memanggil sang istri dengan kata kimi sedangkan sang istri akan memanggil suaminya dengan sebutan anata.

Shuujoshi (Partikel di akhir kalimat)

sunting

Perbedaan antara danseigo dan joseigo juga terdapat pada shuujoshi atau partikel di akhir kalimat. Misalnya pada kalimat di bawah ini:

  • "Watashi ga ageru wa"
  • "Watashi ga yaru ze"

Kedua kalimat tersebut sama-sama berarti "Saya akan memberikannya" namun sebenarnya diperuntukkan bagi dua gender berbeda. Pria Jepang biasanya akan mengucapkan partikel ze di akhir kalimat sedangkan wanita Jepang justru akan menggunakan partikel wa.[2]

Partikel yang masuk dalam daftar danseigo atau ragam bahasa pria lainnya adalah zo, yo, dan ro. Misalnya pada kalimat 'Iku yo!' (saya sedang pergi). Adapun partikel yang biasa digunakan wanita dalam menggunakan ragam joseigo adalah no, no yo, wa yo dan wa yo ne. Contohnya pada kalimat 'Ii no yo' (Bagus ya).[3]

Kandooshi (Interjeksi)

sunting

Interjeksi adalah kata yang mengandung seruan perasaan.[4] Bagaimana perbedaan antara ragam bahasa onna kotoba dengan otoko kotoba juga tampak pada hal ini. Jika seorang pria Jepang melihat seseorang yang tidak terduga-duga, maka ia akan berkata, "yaa" atau "yaa kore wa kore wa". Adapun wanita malah menggunakan kata-kata "maa" atau "araa".[5]

Keigo (Ragam bahasa hormat)

sunting

Jepang memiliki ragam bahasa hormat atau biasa dikenal dengan istilah keigo. Berdasarkan penelitian P. Wetzel tentang pemakaian ragam bahasa hormat di masyarakat Jepang lewat penelitian kesadaran berbahasa (gengo ishiki choosa言語意識調査), ternyata wanita lebih sensitif terhadap kesalahan ragam bahasa hormat daripada pria. Pria berbicara dengan lebih dominan, lebih tegas, terbuka, dan ingin memiliki wibawa. Hal ini berbeda dengan cara berbicara wanita yang bersifat lemah lembut, halus, koperatif, bersifat tidak langsung dan repetitif.[6]

Oleh karena itu wanita Jepang biasa menggunakan keigo pada kata benda dengan menambahkan 'o' di awal kata untuk menyatakan kehormatan seperti pada kata osushi dan obento. Berbeda dengan wanita, pria biasanya tidak melakukannya.[1]

Penyimpangan

sunting

Meski danseigo adalah bahasa kaum pria dan joseigo adalah bahasa kaum wanita di Jepang, tak berarti tak ada penyimpangan. Penyimpangan adalah nama umum untuk ujaran yang tidak sesuai dengan norma-norma gramatikal, semantis atau sosial.[7] Kenyataannya, sebagian pria Jepang menggunakan ragam bahasa joseigo dan sebaliknya, kaum wanita Jepang menggunakan ragam bahasa danseigo dalam keseharian mereka.

Pria Jepang biasanya menggunakan joseigo biasanya untuk kepentingan tertentu. Contohnya dalam urusan bisnis di saat mayoritas konsumennya adalah wanita. Sedangkan penggunaan danseigo oleh wanita Jepang biasanya dianggap sebagai 'bahasa pertemanan' dengan teman yang sudah akrab.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Sudjianto (2007). Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc. hlm. 203–210. ISBN 979-593-290-X. 
  2. ^ Abe, Hideko (2010). Queer Japanese: Gender and Sexual Identities through Linguistic Practices. New York, USA: Palgrave Macmillan. hlm. 2-3. ISBN 0-230-62236-4. 
  3. ^ Katoo, Akihiko (1991). Nihongo Gaisetsu. Tokyo: Kyooshinsha Insatsujo. hlm. 208–209. ISBN 9784273022983. 
  4. ^ Setiawan, Ebta. "Arti kata interjeksi – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2017-09-29. 
  5. ^ Mizutani, Osamu (1987). How to Be Polite in Japan. Tokyo: The Japan Times. hlm. 77. ISBN 978-4789003384. 
  6. ^ Reiichi, Horii (1990). Onna no Kotoba. Tokyo: Meiji Shoin. hlm. 29. ISBN 978-4625420689. 
  7. ^ Kridalaksana, Harimurti (1986). Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit Gramedia. hlm. 17.