Dagashi (駄菓子) adalah makanan manis dan makanan ringan berharga murah di Jepang yang bisa dibeli dengan uang jajan anak sekolah. Toko tradisional penjual dagashi disebut dagashi-ya (toko dagashi).

Replika toko dagashi di museum
Umaibo, salah satu contoh dagashi

Dalam bahasa Jepang, kashi (菓子) berarti segala jenis penganan, kue, atau makanan manis; aksara kanji da () ditambahkan untuk menjelaskan barang berkualitas rendah atau tidak berharga. Istilah dagashi (penganan buruk) mulai dipakai sekitar tahun 17111715[1] untuk menyebut kue kering dan makanan ringan higashi (干菓子) yang berharga murah dan berkualitas rendah. Gula yang dipakai untuk dagashi waktu itu adalah gula merah tebu atau gula pasir kasar. Sebaliknya, kue-kue makanan daimyo, samurai, dan pengusaha yang disebut jōgashi (上菓子, berarti atas), dibuat dengan memakai gula pasir.

Berbeda dari perusahaan besar yang terus menerus mengeluarkan makanan ringan rasa baru, dagashi umumnya diproduksi oleh industri menengah kecil yang terus memproduksi dagashi tempo dulu tanpa mengubah isi, rasa, maupun kemasan. Penganan yang termasuk dagashi sangat bervariasi, mulai dari gulali, berjenis-jenis permen dan cokelat murah, biskuit, bubuk jus, fugashi, umaibō, big katsu, su konbu, hingga baby star ramen dan cumi-cumi kering.

Sejarah

sunting
 
Fugashi

Makanan pokok orang Jepang zaman kuno terutama beras, juwawut, dan gandum. Makanan selingannya berupa buah-buahan atau biji-bijian dari pohon. Istilah kashi (菓子 atau 果子) (makanan manis) dulunya merujuk kepada biji-bijian dan buah-buahan dari pohon.[2] Hingga kini, masih dikenal penyebutan buah-buahan sebagai mizugashi (水菓子, penganan berair). Orang Jepang mulai membuat kue sekitar zaman Nara/zaman Heian setelah mengenal kue-kue dari Dinasti Tang.[2] Kue dan manisan buatan orang lalu disebut kashi (菓子) untuk membedakannya dengan buah-buahan (果物, kudamono).

Pada tahun 704, utusan Jepang ke Dinasti Tang di bawah pimpinan Awata no Mahito membawa pulang resep 8 jenis tōgashi (唐菓子, penganan Dinasti Tang) dan 14 jenis kahei (果餅).[2] Bahannya dari tepung beras atau terigu dicampur pemanis berupa mizuame, madu, atau amazura (pemanis dari amachazuru). Bentuk kue bermacam-macam, termasuk kue goreng. Penganan Dinasti Tang meluas dari istana kaisar dan rumah kalangan bangsawan ke kalangan rakyat biasa. Kue-kue seperti ini hingga kini masih dipakai sebagai sajen di kuil-kuil Shinto seperti Kuil Atsuta di Nagoya, Kasuga-taisha di Nara, serta Kuil Shimogamo dan Kuil Yasaka di Kyoto.

Gula dikenal di Jepang pada tahun 754 (zaman Nara)[2] Ketika itu, biksu Ganjin dari Dinasti Tang tiba di Jepang membawa hadiah berupa bungkahan gula untuk Kaisar Jepang. Setelah itu, utusan Jepang ke Dinasti Tang membawa pulang oleh-oleh berupa gula, namun jumlah yang dibawa pulang hanya sedikit dan hanya dapat dinikmati kalangan atas. Gula mulai dipakai untuk membuat kue pada zaman Kamakura setelah impor gula dilakukan dalam jumlah besar. Sebelum adanya gula impor dari Dinasti Tang, rasa manis penganan orang Jepang didapat dari amazura, madu, dan mizuame. Produksi gula dalam negeri Jepang baru dimulai setelah dibukanya perladangan tebu di Ōshima, Kagoshima pada tahun 1596, serta di Kyushu dan Shikoku pada tahun 1716.[2]

Kue dan manisan Portugal seperti castella, biskuit, bolo, konpeito, dan aruheito dikenal orang Jepang bersamaan dengan masuknya agama Kristen dan senapan sundut yang dibawa kapal Portugal ke Tanegashima pada tahun 1543.[2] Kue-kue dari Portugal yang disebut namban-gashi (南蛮菓子, kue orang biadab selatan) membuat perubahan besar terhadap bahan dan cara pembuatan kue di Jepang. Bangsa Portugal juga memperkenalkan gula pasir yang mengubah rasa kue-kue Jepang waktu itu.[2]

Penduduk Edo antara tahun 1804-1830 sudah mengenal imagawayaki, gokabō, kōbaiyaki, dan karintō. Pada akhir Keshogunan Edo, kue kirizanshō sangat populer. Wagashi yang dikenal di Jepang sekarang ini hampir semuanya berasal dari zaman Edo.[2]

Asal usul dagashi adalah kue-kue makanan rakyat pada zaman Edo yang disebut zatsugashi (雑菓子, zatsu berarti kasar) karena kue-kue seperti ini dibuat dengan gula merah tebu dan bukan gula pasir putih (gula murni).[1] Keshogunan Edo melarang rakyat membuat kue dari gula pasir yang berharga mahal dan langka. Milet yang diulen bersama mizuame adalah makanan selingan rakyat zaman Edo. Harganya yang murah membuat makanan seperti ini dijuluki ichimongashi (一文菓子, penganan satu sen).[1] Sebaliknya, kue-kue mahal dari gula pasir disebut jōgashi (上菓子), dan hanya bisa dinikmati orang kalangan atas, daimyo dan samurai. Penjual kue-kue rakyat dari gula merah tebu lalu disebut dagashi-ya (toko dagashi).

Pada akhir zaman Taisho hingga awal zaman Showa, bekkō ame dan genkotsu ame adalah dua jenis permen yang populer di toko-toko dagashi.[1] Setelah dihapusnya penjatahan gula seusai Perang Dunia II, barang dagangan toko dagashi makin bervariasi, dan mulai tersedia permen karet, cokelat, dan permen ramune.

Hingga tahun 1960-an dan 1970-an,[3] toko dagashi terdapat di hampir setiap perkampungan di Jepang. Pembelinya berasal dari anak-anak sekolah dasar yang tinggal di permukiman sekitar toko. Mereka datang mengepal uang recehan untuk berbelanja sambil berkumpul dengan teman-teman. Bagi anak-anak, toko dagashi juga berfungsi sebagai tempat bermain dan bersosialisasi. Masuk ke dalam toko dagashi dimulai dengan mengucapkan salam. Orang dewasa penjaga toko biasanya kenal dengan anak-anak pelanggan toko. Mereka diajak berbicara mengenai kehidupan sehari-hari atau keadaan di sekolah. Di toko dagashi juga sering dijual es loli, mainan anak-anak, seperti gasing, beigoma, kartu menko, atau kelereng.

Menjelang akhir abad ke-20, toko dagashi makin jarang dijumpai. Rendahnya angka kelahiran di Jepang mengakibatkan anak sekolah yang menjadi konsumen toko dagashi terus berkurang. Anak-anak Jepang menjadi lebih sering jajan di convenience store atau pasar swalayan, dan mereka dapat membeli gula-gula atau makanan ringan berharga lebih mahal.

Berbeda dari dagashi yang target pemasarannya anak-anak, kyōdo dagashi (郷土駄菓子, arti harfiah: dagashi lokal) adalah dagashi khas daerah yang merujuk kepada kue-kue dan manisan sederhana dari produk pertanian setempat. Daerah-daerah di Jepang terkenal dengan kyōdo dagashi, terutama daerah Tohoku seperti: Sendai (sendai dagashi), Aizu, dan Tsuruoka. Kyōdo dagashi dijual di toko oleh-oleh atau toko bermerek yang menjual kue tradisional Jepang (wagashi).

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "駄菓子について―ロングヒットの要素-" (PDF). Hamano Kenkyushitsu. Diakses tanggal 2012-10-30. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b c d e f g h 奥野周樹 大野奈月 芝崎理葉 中村真生子 中山功一. "お菓子の世界の魅力に迫る―中小企業が成功する秘訣とは―" (PDF). Hamano Kenkyushitsu. Diakses tanggal 2012-10-30. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ "Time Traveling with Dagashi Candies: Dagashi Stores". Web Japan. Diakses tanggal 2012-10-30. 

Pranala luar

sunting