Compo Sampari atau penyematan keris merupakan salah satu Budaya masyarakat suku Mbojo di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, kegiatan tersebut diperuntukkan bagi anak laki-laki yang akan dikhitan. Apabila anak laki-laki suku Mbojo sudah dikhitan maka tidak lama lagi akan memasuki usia remaja dan akan diberlakukan aturan atau norma yang berlaku di masyarakat sesuai syariat Islam. Oleh masyarakat suku Mbojo, compo sampari merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun sebagai simbol untuk mengajarkan nilai-nilai ksatria pada anak bahwa laki-laki harus kuat.

Memakai keris bagi kaum laki-laki suku Mbojo pada saat menjelang khitan atau sunat yakni dalam rangka menanamkan prilaku yang mencerminkan keperkasaan, keuletan dan keberanian. Keris merupakan lambang harga diri bagi masyarakat Bima dan Dompu yang digunakan dalam aktivitas keseharian secara positif untuk menunjang segala pekerjaan. Prosesi Compo Sampari dilakukan oleh tokoh adat, pejabat pemerintahan, dan atau orang tua agar dapat diteladani kelak menjadi seorang kstaria yang harus berani menantang segala cobaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dalam kehidupan bermasyarakat.[1]

Melakukan ritual Compo Sampari diawali dengan dzikir dan doa kemudian keris diarahkan mengelilingi tubuh anak yang dikhitan sebanyak tiga kali, atau tujuh kali, sambil bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, lalu keris disematkan pada pinggang bagian kiri anak. Proses penyematan keris dilakukan dengan cara berdiri dan saling berhadapan antara anak yang dikhitan dengan orang yang akan menyematkan keris. Usai menyematkan keris ditutup dengan shalawat Nabi dan "Maka", yakni gerakan hentakan kaki ke bumi sambil mengacungkan keris.

Referensi

sunting
  1. ^ Bunyamin,Ragam Pesona Tambora. Surabaya: Forum Aktif Menulis Publishing (FAM Publishing). 2017. hlm. 47,48. ISBN 978-602-335-263-0.