Candi Ceto

bangunan kuil di Indonesia

7°35′44″S 111°9′29″E / 7.59556°S 111.15806°E / -7.59556; 111.15806

cetu
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Tampak depan Candi Cetho
Cagar budaya Indonesia
PeringkatNasional
KategoriSitus
No. RegnasCB.98
Lokasi
keberadaan
Gumeng, Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah
No. SK
  • SK Menteri No.PM.24/PW.007/MKP/2007
  • SK Menteri No.243/M/2015
Tanggal SK
  • 26 Maret 2007
  • 18 Desember 2015
Pemilik Indonesia
PengelolaBalai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah
Koordinat7°35′44″S 111°09′27″E / 7.595539876924463°S 111.15741382182358°E / -7.595539876924463; 111.15741382182358
Candi Ceto di Kabupaten Karanganyar
Candi Ceto
Lokasi Candi Ceto di Karanganyar, Jawa Tengah
Candi Ceto di Jawa Tengah
Candi Ceto
Lokasi Candi Ceto di Karanganyar, Jawa Tengah

Candi Ceto (hanacaraka: ꦕꦼꦛ, ejaan bahasa Jawa latin: cethå) merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut,[1] dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.[2]

Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.

Penemuan

sunting

Laporan ilmiah pertama mengenai Candi Ceto dibuat oleh Van de Vlies pada tahun 1842.[1] A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dan penemuan objek terpendam dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie vor Oudheiddienst) Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini diperkirakan berusia tidak jauh berbeda dari Candi Sukuh, yang cukup berdekatan lokasinya.

Riwayat kompleks percandian

sunting

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras ("punden berundak") memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli nusantara dengan Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada relief-relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung tampak depan. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode sejarah Hindu-Buddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh.

Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia), mengubah banyak struktur asli candi meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak asli adalah gapura megah pada bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003–2008, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.

Susunan bangunan

sunting
 
Inskripsi pada gapura teras ke-7

Pada keadaannya sejak renovasi, kompleks Candi Ceto terdiri atas sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Ceto.

Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuno berbahasa Jawa Kuno berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397.[1] Tulisan ini ditafsirkan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, Surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 M. Dapat ditafsirkan bahwa kompleks candi ini dibangun bertahap atau melalui beberapa kali renovasi.

Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer pada kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.

Pada bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan candi, dengan menuruni lereng, ditemukan sebuah kompleks bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").

Daya tarik

sunting
 
Patung yang ada di halaman utama Candi Ceto

Daya tarik yang di berikan sendiri berupa arsitektur yang memiliki sebuah seni, hal itu dapat dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk dijadikan sebuah latar belakang foto. Pastinya akan menambah kesan indah dan mempesona jika berfoto di area candi, apalagi yang mengambil foto memiliki sebuah keahlian tersendiri.

Yang akan menambah cantiknya lagi yaitu Candi Cetho yang berada di atas ketinggian atau pegunungan menjadikan pemandangan yang di berikan juga sangat indah. Selain itu pengunjung yang datang ke tempat wisata candi Candi Cetho ini juga ingin belajar mengenai sejarah yang ada dan juga menenangkan pikiran dengan menghirup udara segar khas pegunungan yang akan membuat Anda semakin betah.

Untuk harga tiket masuknya sendiri terbilang sangat terjangkau yaitu pihak pengelola menjatuhi harga tiket sebesar Rp10.000 untuk setiap pengunjung yang ingin masuk ke dalam kawasan area Candi Cetho.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b c Sumber: papan informasi di lokasi candi
  2. ^ "Candi Cetho, Candi Peruwatan Agama Hindu". Indonesia Kaya. Diakses tanggal 19 September 2021. 

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting