Calung Banyumasan adalah kesenian musik yang berkembang di wilayah keresidenan Banyumas. Instrumen ini semula dinamakan sebagai cengklung yaitu sebuah alat musik yang terbuat dari bambu yang dipotong secara utuh atau tidak dipecah dan mempunyai titi laras slendro. Berawal dari alat yang bernama cengklung tersebut kemudian berkembang menjadi angklung, dan selanjutnya berubah menjadi calung.[1].

Etimoligi

sunting

kata “calung” berasal dari singkatan dalam bahasa Jawa, yaitu “carang pring wulung” yang memiliki arti pucuk bambu wulung atau “pring dipracal melung – melung” yang artinya bambu diraut bersuara nyaring.

Sejarah

sunting

Pada masa awal penyebaran Islam, seni calung sering dipadukan dengan lengger (le; thole sebutan untuk anak laki-laki, dan ngger; angger sebutan untuk anak perempuan). Seni calung digunakan sebagai alat untuk memanggil atau mengumpulkan anak-anak untuk diberikan pengetahuan baru yaitu tentang ajaran Islam. Seni calung berkembang di wilayah Banyumas yaitu wilayah budaya kulonan yang memiliki karakteristik cenderung apa adanya (cablaka/blakasuta), lugu dan aksen ngapak. Ciri khas ini tercermin pada syair-syair lagu yang dipadu dengan irama musik calung serta senggakan-senggakan yang terkesan vulgar.[2]

Instrumen

sunting

Calung Banyumasan terdiri dari beberapa instrumen yaitu seperti gambang barung, gambang penerus, dhendem, kenong dan gong sebul yang dimainkan dengan cara disebul atau ditiup. Laras yang digunakan dalam kesenian musik Calung Banyumasan ini sama seperti laras Gamelan Jawa[3] yaitu laras pelog dan laras slendro, slendro memiliki tangga nada antara lain 1(ji), 2(ro), 3(lu), 5(mo), 6(nem), 1 (ji), dan tangga nada pelog antara lain 1(ji), 2(ro), 3(lu), mo(5), nem(6), 7(pi).[4]

Referensi

sunting
  1. ^ Alat Musik Calung: Kesenian Bambu yang Jadi Identitas Masyarakat Purbalingga[1]
  2. ^ CALUNG BANYUMAS DAN JAWA BARAT[2]
  3. ^ Mengenal Lebih Dalam Calung, Instrumen Musik Khas Jawa Barat[3]
  4. ^ Mengenal Calung Sebagai Budaya Banyumas[4]