Calung

alat musik tradisional masyarakat Sunda
(Dialihkan dari Calong)

Calung (Sunda: ᮎᮜᮥᮀ) adalah alat musik purwarupa jenis idiofon yang terbuat dari bambu. Alat musik ini adalah musik tradisional yang awalnya berkembang dari masyarakat Sunda,[1] yang juga dikenal dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul bilah atau ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la untuk masyarakat Sunda). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), tetapi ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu ater, berwarna putih).

Alat musik calung Sunda.

Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.[2]

Etimologi

sunting

Calung sebenarnya adalah nama lokal untuk tumbuhan Ajang kelicung (nama latin: Diospyros macrophylla) dalam bahasa Sunda (ki calung, secara harfiah: kayu calung),[3][4][5] sebagai sebuah alat musik, merujuk pada Kamus Sunda-Inggris berjudul A Dictionary of the Sunda language karya Jonathan Rigg (1862), calung adalah alat musik kasar berupa setengah lusin potongan bambu yang diikatkan pada seutas tali, seperti anak tangga, dan ketika digantung, disadap dengan sepotong kayu.[6]

Calung rantay

sunting

Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.[1]

Calung jinjing

sunting

Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek, dan solorok.[7]

Perkembangan

sunting

Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula–Brebes, Jawa Tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961.[7]

Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Menurut saksi hidup,Calung pertama kali dimainkan di Departemen Kesenian UNPAD pada tahun 1962. Penabuh calung pertama Ekik Barkah (Fakultas Sospol), penabuh kedua Hatoan Wangsasenjaya (Kang O'ang), Penabuh calung ketiga Kanaka Poeradiredja (Kang Aka), Penabuh calung keempat Parmas Hardjadinata (Kang Parmas). Pada tahun berikutnya mulailah berkembang lah grup-grup calung di fakultas yang lain, diantaranya fakultas sastra dengan berangotakan Kang Oding, Edi, Didi Suryadi. Fakultas Publisistik (tahun 1963) beranggotakan Kang Yaya Dkk. Fakultas Pertanian UNPAD dikembangkan oleh Toto Bermana Belli (angkatan 62), Tajudin Surawinata Dkk (angkatan 64), Oman Suparman Dkk (angkatan 65), Bustomi Rosadi (angkatan 70 ?), Ganjar Kurnia (angkatan 74).[7]

Pemain calung Fakultas Pertanian UNPAD angkatan 1965, Adjen Achmaddjen pemegang calung pertama (calung kingkin), IA Ruhiyat DK pemegang calung kedua (calung panempas), Oman Suparman pemegang calung ketiga (calung jongjong), Eppi Kusumah pemegang calung ke empat (calung jongjrong), Sedangkan Hilmi Ridwan dan Hardi Suhardi di ikutsertakan dalam permainan kaulinan urang lembur, semuanya dari fakultas pertanian UNPAD.[7]

Bila salah seorang pemain berhalangan hadir, penggatinya seperti Endang Suganda (pengganti Adjen Achmaddjen atau IA Ruhiyat DK), Uca Suwarsa dan Enip Sukanda (pengganti Oman Suparman atau IA Ruhiyat DK), Zahir Jahri dan Ibing Kusmayatna (pengganti Eppi Kusumah).[7]

Grup calung angkatan 1965 banyak dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan pertanian pada proyek Bimas SSBM (JABAR) antara lain mengisi acara siaran pedesaan di RRI Bandung.[7]

Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.[7]

Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Kurnia 2003, hlm. 28.
  2. ^ Kaya, Indonesia. "'Calung' Alat Musik yang Menghasilkan Harmoni Indah : Kesenian - Situs Budaya Indonesia". IndonesiaKaya (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2021-02-21. 
  3. ^ Hasskarl, Justus Karl (1845). Aanteekeningen over het nut, door de bewoners van Java aan eenige planten van dat eiland toegeschreven. Unterweser, Brake: J. Müller. hlm. 82. 
  4. ^ Annisha, Wahyu (2016). Mengenal Aneka Flora & Fauna Indonesia. Yogyakarta: Laksana Kidz. hlm. 68. ISBN 978-602-0806-84-6. 
  5. ^ Dodo (20 February 2014). "KI CALUNG (Diospyros macrophylla Blume) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN". Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Diakses tanggal 6 May 2023. 
  6. ^ Rigg, Jonathan (1862). A Dictionary of the Sunda language. Batavia: Lange & Co. hlm. 75. 
  7. ^ a b c d e f g h Kurnia 2003, hlm. 29.

Bacaan lanjutan

sunting