Buruan, Blahbatuh, Gianyar
8°32′37″S 115°18′10″E / 8.543564°S 115.302729°E
Buruan | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Bali | ||||
Kabupaten | Gianyar | ||||
Kecamatan | Blahbatuh | ||||
Kode pos | 80581 | ||||
Kode Kemendagri | 51.04.02.2006 | ||||
Luas | 4,21 km²[1] | ||||
Jumlah penduduk | 6.714 jiwa(2015)[1] 6.488 jiwa(2010)[2] | ||||
Kepadatan | 1.542 jiwa/km²(2010) | ||||
Jumlah KK | 1.342 | ||||
|
Buruan adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, provinsi Bali, Indonesia.[3][4][5] Desa Buruan termasuk desa tua karena berdiri semenjak awal abad ke-11 Masehi dengan didirikannya Candi Bhurwan di hutan Kutri. Desa ini memiliki luas wilayah 4,21 km² (421 Ha) dengan jumlah penduduk sebanyak 6.488 jiwa (Sensus BPS 2010).
Sejarah Desa Adat
suntingPada awal abad ke-11, icaka warsa leng angapit lawang atau tahun caka 929, (Leng artinya 9 (sembilan lubang), apit artinya dua, lawang artinya 9 (lawang berarti pintu atau dwara-dwara sanga)), atau pada tahun 1007 M, semenjak Sri Ratu Bali Pulina Sri Gunapria Darmapatmi wafat, abunya didharmakan atau disemayamkan di Candi Bhurwan di hutan Kutri (Datu Lumaheng Buruan). Nama desa Buruan itu mengambil nama candi tersebut yaitu Bhurwan yang berasal dari bahasa sanskerta (Bhur berarti tanah dan Wan berarti mulia atau suci). Karena perubahan pengucapan disesuaikan dengan kemampuan lafal orang Bali lama kelamaan menjadi Buruan. Sebagai candi, raja Bali menempatkan prajuru (pengurus) dan pengayah (pembantu) untuk mengurus candi Bhurwan tersebut yang kemudian bermukim di sana. Lama kelamaan menjadi sebuah pemukiman yang semula belum menetap meskipun hanya beberapa kubon saja.
Pada icaka Leng Panca Nawa (tahun caka 959), di sebelah timur Buruan ini berdiri pesraman seorang pendeta yang bernama Empu Kidul. Asramanya didirikan pada Ceruk (lekukan atau gua) sehingga tempat ini sampai sekarang dikenal bernama desa Celuk.
Pada abad ke 14 M, sewaktu Gajah Mada menyerang kerajaan Bedahulu, beliau menyusun rencana (siasat) di padukuhan dukuh Dangka (kedangkan) di sebelah barat Buruan yang lazim disebut Kedangan.
Pada abad ke 16 M, I Gusti Ngurah Jelantik pindah dari Gelgel ke Tojan, diantar oleh Ki Gusti Panji Sakti dari Den Bukit dengan mengendarai gajah. Selama beberapa hari, Ki Gusti Panji Sakti berada di daerah Tojan untuk mengisi waktu menghibur diri. Ki Gusti Panji Sakti bersama I Gusti Ngurah Jelantik kemudian memutuskan berburu di dekat Candi Bhurwan. Binatang yang diburunya adalah binatang kecil seperti trenggiling, landak dan biawak yang banyak terdapat di tempat itu. Di sebelah selatan tempat berburu terdapat pepohonan mangga (getes) yang menghutan. Karena itu, tempat ini juga diberi nama Buruan. Sedangkan gajah Ki Gusti Panji Sakti digembalakan di sebelah barat tempat berburu yang diberi nama Angon Liman. Angon berarti mengembala dan Liman berarti Gajah. Lama-kelamaan lebih dikenal dengan nama Bangunliman.
Melalui proses yang panjang, terjadilah pemukiman dengan pola menetap. Karena penduduk semakin banyak dan tempat memenuhi kebutuhan hidup sudah ada berdirilah pekraman yang berangsur-angsur mempunyai pura parahyangan (kahyangan tiga). Pekuburannya terletak di selatan Pura Dalem Buruan. Kemudian, terjadi lagi perpindahan penduduk dari desa Bedahulu (penyungsung Pura Samuan Tiga) bermukim disebelah selatan desa. Disana mendirikan pemujaan berbentuk Lingga dan Yoni, Ratu Panji dan lain-lain. Ditempat mendirikan pemujaan prahyangan itu ada pohon embacang (pakel) yang besar. Sehingga parhyangan itu disebut Pura Penataran Batan Pakel. Sedangkan wilayah pemukiman penyungsungnya disebut Hyang Angga Yoni atau Yangloni.
Puluhan tahun kemudian, saat keturunan I Gusti Ngurah Jelantik sudah menetap di Blahbatuh dan memegang kekuasaan, ia berunding dengan Ida I Dewa Pemayun dari Puri Agung Blahbatuh untuk meminta salah seorang putranya memimpin desa Buruan sebagai Kepala Desa (pacek), maka disetujuilah salah seorang putranya menjadi pacek di Buruan yang kemudian disebut sebagai I Dewa Buruan saha iringan panjak dari Blahbatuh dan tombak pusaka luk telu. Mulailah pekraman itu ditata lebih baik untuk memperkuat kedudukan I Gusti Ngurah Jelantik disebelah utara dibentuklah prajurit yang disebut bekelan yaitu:
- Bekelan Teruna (pasukan tempur pelopor) diberi bagian tanah awinih sibak (kurang lebih 25 are).
- Bekelan Senapang (pasukan bedil) diberi tanah awinih tenah (kurang lebih 36 are).
- Bekelan Manca (pengawal) diberi tanah awinih tenah.
Dengan demikian, pekraman ditata dengan tertib serta pembagian tanah dikelompokkan menjadi subak. Karena tata pemukiman semakin baik dengan jalan dan lorongnya, maka setra (kuburan disebelah selatan Pura Dalem Buruan) dipandang kurang tepat letaknya, kemudian dipindahkan ke sebelah timur.
Semakin lama menjalani proses, pekraman itu semakin baik termasuk penataan pura. Merajapati yang semula terletak di lokasi Pura Dalem, dipindahkan sesuai dengan fungsinya yaitu di setra Buruan, sedangkan pejenengan bekas mrajapati itu disebut Ratu Sekar Pule. Demikianlah proses menuju pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman berjalan terus. Sampai dengan zaman pemerintahan Belanda masih tetap disebut Krama Desa (desa pekraman). Hanya bedanya sudah mulai tampak perbedaan tampuk pimpinan, ada kelian yang mengurus dinas dan Bendesa yang mengurus urusan adat.[6]
Pemerintahan
suntingDaftar kepala desa
suntingSaat ini, dipimpin oleh I Ketut Sumarda.
Pembagian Administratif
suntingDesa ini tersebar di 7 Banjar dinas yaitu:
- Kutri
- Buruan
- Celuk
- Bangunliman
- Getas Kawan
- Getas Kangin
- Griya Ketandan
Sementara dalam konteks pemerintahan adat, wilayah Desa Buruan terbagi dalam 8 Desa Pekraman wilayah subak. Disamping kondisi wilayah yang sangat strategis, Desa Buruan juga memiliki potensi-potensi di luar sektor pertanian seperti, Peternakan, Kerajinan, Kesenian, Pariwisata, Koperasi dan Jasa Lainnya.
APBDesa
suntingPagu anggaran APBDesa tahun 2019 di desa ini sebesar Rp.897.444.000,-. Pada tahun 2018, sebesar Rp.722.232.000,-. Pada tahun 2017, sebesar Rp.840.992.000,-.[7]
Tempat terkenal
suntingPura Bukit Dharma Durga Kutri Gianyar
suntingBerdasarkan prasasti di Bali yang menunjuk keberadaan pura ini, Pura Bukit Dharma Durga Kutri diperkirakan sudah berdiri sejak 835 caka. Pada saat itu, Pulau Bali diperintah oleh Raja Sri Kesari Warmadewa. Lokasi pura berada di lingkungan Banjar Kutri, di samping jalan utama menuju Blahbatuh, Gianyar. Yang unik adalah pada bagian mandala utama terdapat bukit yang diselimuti hutan kecil. Pada puncaknya itulah distanakan arca Durga Mahisamardini Astabuja.[8][9]
Pura ini berawal dan berkembang sebagai sebuah kahyangan jagat dari pemerintahan Sri Kesari Warmadewa, Ugrasena, Tabanendra, Jayasingha, Mahadewi, Udayana. Pada saat pemerintahan Udayana, beliau ditemani permaisuri Gunapriya Dharmapatni sehingga disebut sebagai raja sejoli. Beliau berkuasa sekitar abad ke 10 M. Kekuasaan kerajaan Bali pada saat itu hingga mencapai Timor Timur. Prasasti yang mendukung keberadaan pura ini adalah Prasasti Peguyangan, Tengkulak, Trunyan, dan Prangsada.
Dalam prasasti Prangsada disebutkan: Sang Ari Anak Wungsu, Kunang Sira Sang Ibu Murwa Sira Mantuking Suryatmaka Dinarma Sira Ring Candi Ibu yang artinya Prabu Anak Wungsu meyakini ibunya Ratu Mahendradatta Udayana setelah wafat kembali ke inti Surya yaitu Wisnu, bersatu secara simbolis (Arcanam) di tempat pemujaan beliau (Candi Burwan). Dari prasasti tersebut dapat dijabarkan makna yang terkandung di dalamnya, yaitu Raja dan umat pada saat itu merupakan Pemuja Surya (Wisnu) dan Pura Bukit Dharma sudah ada pada masa Ratu Mahendradatta memerintah, di mana terdapat suatu benda dalam bentuk Arca Durga Ma (Ibu Durga). Hal ini terlihat pada kalimat beliau bersatu dengan yang dipuja di tempat beliau memuja. Yang dimaksud dengan dipuja di tempat beliau memuja adalah Suryatmaka (Inti Surya yaitu Wisnu), Hyang Widhi (Tuhan) dalam fungsi memelihara jagat raya. Dengan demikian Pura Bukit Dharma adalah Kahyangan Widhi.
Prasasti lain yang mendukung adalah Prasasti Peguyangan. Prasasti ini menjabarkan keagungan Tuhan yang dipuja di Buruan dijadikan dasar hidup bernegara dan beragama oleh masyarakat di bawah kekuasaan Ratu Mahendradata Udayana. Barang siapa yang sudah melaksanakan hidup bermasyarakat Grahasta, diwajibkan menjalani hidup bernegara dan beragama seperti yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu.
Apabila dalam kehidupan umat berjalan dijalan dharma (kebaikan) sesuai dengan pemujaan di Pura Bukit Dharma maka beliau akan selalu memberkati. Arca Durga Mahesamardini Astabuja yang disimbolkan dalam bentuk arca seorang wanita cantik bertangan delapan berkendaraan lembu memiliki makna perwujudan Gayatri. Arca tersebut simbol dari penyatuan kekuatan Brahma, Wisnu, dan Siwa (Utpeti, Stiti, Pralina). Penataan Pura Bukit Dharma ditata dengan konsep Tri Loka, Bru Loka (Pura Manik Tirtha), Bhuah Loka (Pura Pentaran Agung), dan Swah Loka (Pura Pucak Dharma). Pada pucak inilah diistanakan arca tersebut. Konsep Tri Mandala juga tertuang dalam penataan pura yaitu Nista Mandala (di depan candi bentar), Madya Mandala (di depan candi kurung), dan Utama Mandala (setelah memasuki candi kurung).
Selain arca yang terdapat di puncak, di penataran agung juga terdapat beberapa arca yang masih terkait yaitu arca-arca Gedong Pesaren, Arca Budha, Siwa, Lingga Yoni, arca gedong Doho. Arca Gedong Doho ini kemungkinan berkaitan dengan leluhur Raja Sejoli.
Stadion kapten I Wayan Dipta adalah sebuah stadion multifungsi, yang utamanya dipakai untuk pertandingan sepak bola, terletak di Gianyar, Bali, Indonesia. Kapasitasnya berjumlah 20.000 kursi. Awalnya, stadion ini merupakan markas kesebelasan asal Gianyar, yakni Persegi Gianyar, namun menyusul klub tersebut sudah tidak aktif atau sudah tidak ada, maka Stadion ini hampir tidak difungsikan lagi untuk waktu yang lama.
Pada tahun 2010, sejak bergulirnya Liga Primer Indonesia, Stadion Dipta kembali difungsikan dan untuk sementara menjadi homebase satu-satunya kesebelasan asal Pulau Dewata yakni Bali Devata FC.
Pada tahun 2014, Stadion Dipta merupakan markas Bali United Pusam yg bermain di kompetisi Indonesia Super League yg sebelumnya tim ini bernama Persisam Putra Samarinda yg bermarkas di Stadion Segiri, kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Demografi
suntingPenduduk desa Buruan sampai dengan tahun 2015 berjumlah 6.714 jiwa terdiri dari 3.417 laki-laki dan 3.297 perempuan dengan sex rasio 103.[1]
Referensi
sunting- ^ a b c "Kecamatan Blahbatuh dalam Angka 2016". Badan Pusat Statistik Indonesia. 2018. Diakses tanggal 4 Oktober 2019.
- ^ "Penduduk Indonesia Menurut Desa 2010" (PDF). Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 132. Diakses tanggal 14 Juni 2019.
- ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 3 Oktober 2019.
- ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendagri nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 Oktober 2019. Diakses tanggal 15 Januari 2020.
- ^ Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (2022-02-14). "Keputusan Menteri Dalam Negeri Indonesia Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau tahun 2021" (PDF). Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Archived from the original on 2022-08-07. Diakses tanggal 2022-12-29.
- ^ "Sejarah Desa Adat Buruan". Diakses tanggal 2 Januari 2019.
- ^ "Realisasi Pagu APBDesa 2019". Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. Diakses tanggal 13 Juni 2020.
- ^ "Mengenal Pura Bukit Dharma Durga Kutri Gianyar". BaleBengong.id (dalam bahasa Inggris). 2012-01-01. Diakses tanggal 2023-07-07.
- ^ Blahbatuh, Pesona. "Sejarah Pura Bukit Dharma Durga Kutri - Article". Pesona Blahbatuh. Diakses tanggal 2023-07-07.
Pranala luar
sunting- (Indonesia) BPS Kabupaten Gianyar
- (Indonesia) Prodeskel Binapemdes Kemendagri Diarsipkan 2022-04-01 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Situs Desa Buruan[pranala nonaktif permanen]