Budaya media
Budaya media adalah budaya yang memanfaatkan media visual dan audio seperti televisi, radio, musik, media cetak untuk mendapatkan atensi dari audiens yang nantinya akan berpengaruh ke tingkah laku maupun pola pikir mereka. Dalam hal ini, media audio dan visual tidak berdiri sendiri, melainkandapat dicampurbaurkan. Budaya media juga terkait dengan relasi kuasa, siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai.[1]
Budaya media sebagai entitas bisnis
suntingDalam konteks relasi kuasa, media juga kerap dimanfaatkan oleh para pemilik media demi kepentingan ekonomi dan politiknya sehingga sulit bagi media untuk bisa bermanfaat bagi kepentingan publik secara luas.[2]
Para pemilik saham sangat menentukan pengambilan keputusan di ruang redaksi untuk memastikan roda usahanya terus berputar sehingga kepentingan mereka harus tetap dilindungi. Terlebih lagi ketika ada motivasi dari para pemilik media untuk mendapatkan posisi dalam bidang politik menjadikan media massa yang awalnya sebagai institusi bisnis bergeser menjadi institusi politik. Inilah yang disebut sebagai politisasi media.[3]
Interaksi antara media dan khalayak umum dapat dipandang sebagai interaksi antara pedagang dan pembeli. Media merupakan pihak yang memproduksi dan menyalurkan produk yang dinamakan sebagai pesan, dan yang mengkonsumsi produk tersebut adalah masyarakat umum.[4]
Budaya media untuk kepentingan publik
suntingMedia yang baik dapat berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan kritik dan saran yang membangun kepada pemerintahan dalam segala aspek. Jika iklim demokrasi yang sehat—di mana hukum dan hak asasi manusia dijunjung tinggi— di masyarakat belum terbentuk, maka media berperan sebagai ruang publik yang berfungsi sebagai corong aspirasi masyarakat dalam menyuarakan hal-hal yang harus menjadi perhatian pemerintah.[2]
Pers berperan utama untuk menjembatani pemerintah, masyarakat serta tokoh politik dengan cara menyampaikan kebijakan publik yang telah dirancang oleh pemerintah dan tokoh politik kepada masyarakat, di samping itu juga pers mesti bisa bersikap kritis secara objektif dengan memantau dan mengawasi kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Pers dalam hal ini dapat dilihat sebagai pedang bermata dua. Pers berfungsi sebagai penghubung agar kebijakan pemerintah dapat dipahami oleh masyarakat sehingga transparansi dapat tercipta dan diharapkan masyarakat dapat mengambil keputusan politik dengan tepat. Di sisi lain, cara media menyajikan informasi kepada masyarakat akan mempengaruhi persepsi masyarakat atas pemerintah maupun terhadap suatu peristiwa tertentu. Media harus bijak dalam menyampaikan berita dengan memilih diksi-diksi yang sesuai serta infografis berita yang tidak berlebihan.[5]
Di negara demokrasi liberal, media menjadi ruang pertarungan antara jurnalis, pengusaha dan politisi saling berinteraksi secara dinamis terutama ketika ada agenda atau kepentingan di antara ketiganya. Ketika media dimiliki oleh pengusaha, maka media dimanfaatkan untuk kepentingan bisnisnya, sementara itu, ketika media dimiliki oleh politisi, maka pemberitaan di media lebih condong untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu, bukan kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, ketika media sudah sedemikian terdistorsinya, maka akan semakin banyak bias pemberitaan yang beredar di masyarakat yang pada akhirnya akan memperlemah pilar-pilar demokrasi itu sendiri.[2]
Pergeseran nilai di masyarakat
suntingBudaya tidak mesti dipandang sebagai sesuatu hal yang kaku dan sakral, budaya mesti dilihat secara dinamis untuk tetap bisa merespon hal-hal yang terjadi di masyarakat terkait dengan perubahan sosial, perkembangan teknologi. Media dapat berperan sebagai tempat atau sarana untuk mengenalkan ide dan gagasan baru kepada masyarakat yang akan berpengaruh terhadap praktik-praktik budaya.[6] Contoh kasus misalnya ketika televisi menayangkan film-film dengan latar kehidupan perkotaan, hal ini akan mempengaruhi anak-anak muda yang bukan berasal dari kota, mereka mengidentifikasikan diri seperti tokoh-tokoh dalam film tersebut yang justru membuat mereka kehilangan jatidirinya. Sebaliknya, tayangan televisi yang mengangkat unsur lokalitas, membuat anak-anak muda di perkotaan merasa tidak memiliki identitas budaya yang kuat.[6]
Referensi
sunting- ^ M.Si, Azwar (2018-03-01). 4 Pilar Jurnalistik. Prenada Media. ISBN 978-602-422-235-2.
- ^ a b c Ramadlan, Mohammad Fajar Shodiq; Wahid, Abdul; Rakhmawati, Fariza Yuniar; Destrity, Nia Ashton; Hair, Abdul; Harjo, Indhar Wahyu Wira; Utaminingsih, Alifiulahtin (2019-12-31). Media, Kebudayaan, dan Demokrasi: Dinamika dan Tantangannya di Indonesia Kontemporer. Universitas Brawijaya Press. ISBN 978-602-432-919-8.
- ^ Syahputra, Iswandi (2013-05-27). Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-9347-0.
- ^ HALIM, syaiful (2021-07-03). Postkomodifikasi Media & Cultural Studies. Matahati Production.
- ^ Putranto, Dr Algooth (2024-01-18). KOMUNIKASI POLITIK. Cendikia Mulia Mandiri. ISBN 978-623-8382-81-1.
- ^ a b Surahman, Sigit (2024). Memahami Kajian Media dan Budaya, Pendekatan Multidisipliner (PDF). Jakarta: Kencana. hlm. 16–17.