Kebudayaan Taiwan adalah suatu campuran dari kebudayaan Tionghoa Han Konfusianis dan penduduk asli Taiwan, yang sering dipersepsikan baik dalam pemahaman tradisional maupun modern.[1] Pengalaman sosial-politik umum di Taiwan secara bertahap berkembang menjadi kepekaan terhadap identitas budaya Taiwan dan perasaan kesadaran budaya Taiwan, yang telah diperdebatkan secara luas di dalam negeri.[2][3][4] Merefleksikan kontroversi yang terus berlanjut yang menyelimuti status politik Taiwan, politik terus memainkan peran dalam konsepsi dan pengembangan sebuah identitas budaya Taiwan, terutama dalam kerangka dominan sebelumnya dari dualisme Taiwan dan Tiongkok. Dalam beberapa tahun terakhir, konsep multikulturalisme Taiwan telah diusulkan sebagai pandangan alternatif yang relatif apolitis, yang telah memungkinkan untuk masuknya orang Tiongkok daratan dan kelompok minoritas lainnya ke dalam redefinisi budaya Taiwan yang berkelanjutan sebagai sistem yang dilakukan secara kolektif terhadap makna dan pola kebiasaan pemikiran dan perilaku yang dibagikan oleh penduduk Taiwan.[5][6]

Tinjauan kebijakan kultural negara

sunting

Konteks historis

sunting
 
Penari suku Bunun dalam pakaian penduduk asli tradisional

Kebudayaan dan warisan budaya Taiwan sebagian besar telah dibentuk oleh proses imperialisme dan kolonisasi sebagai efek struktural dan psikologis proyek kolonial suksesif telah terintegral untuk mengembangkan citra diri Taiwan dan evolusi kebudayaan Taiwan baik resmi maupun tidak resmi.[7] Dalam sebagian besar masa terjajahnya, Taiwan tetap dalam terpinggirkan secara budaya, jauh dari pusat kehidupan sipil dan budaya dari setiap rezim, dan dengan perubahan setiap rezim, pusat budaya Taiwan bergeser. Pada berbagai zaman, pusat kebudayaan Taiwan adalah penduduk asli Taiwan, Amsterdam, Xiamen (Amoy), Beijing pada era Qing, Kekaisaran Jepang, pascaperang Tiongkok dan bahkan, bisa dibilang, Amerika Serikat. [8][9]

Sebelum Kekaisaran Qing menyerahkan Taiwan kepada Jepang pada tahun 1895, kebudayaan Taiwan bercirikan masyarakat perbatasan Qing dari petani Han dan penduduk asli Taiwan dari dataran tinggi. Karena letaknya yang strategis Taiwan sepanjang rute perdagangan Asia Timur, Taiwan juga terkena pengaruh kosmopolitan dan efek perdagangan Eropa. Pada pertengahan era Jepang (1895-1945), Taiwan sudah mulai bergeser dari lokal ke budaya global kontemporer, di bawah pedoman westernisasi bergaya Jepang. Dimulai saat Jepang membangun untuk keperluan perang,[10] Jepang memperkuat kebijakannya dalam "menjepangkan" Taiwan untuk mobilisasi melawan Sekutu. Upaya Jepang mengajarkan elite Taiwan mengenai budaya dan bahasa Jepang, namun tidak sebagian besar ikut campur dalam organisasi keagamaan. Ketika kebijakan perang supresif Jepang dicabut setelah Perang Dunia II, Taiwan bersemangat untuk melanjutkan aktivitas kosmopolitan sebelum perang mereka.[11] Warisan kolonial Jepang telah membentuk banyak kebiasaan dan sikap orang Taiwan. Warisan kolonial Jepang masih terlihat, disebabkan oleh upaya besar Jepang dalam membangunn infrastruktur ekonomi dan basis industri Taiwan, yang sering disebut sebagai faktor utama dalam pembangunan ekonomi Taiwan yang cepat.[12]

Referensi

sunting
  1. ^ Huang (1994), hlm. 1–5.
  2. ^ Yip (2004), hlm. 230–248.
  3. ^ Makeham (2005), hlm. 2–8.
  4. ^ Chang (2005), hlm. 224.
  5. ^ Hsiau (2005), hlm. 125–129.
  6. ^ Winckler (1994), hlm. 23–41.
  7. ^ Yip (2004), hlm. 2–5.
  8. ^ Morris (2004), hlm. 7–31.
  9. ^ Winckler (1994), hlm. 28–31.
  10. ^ Wachman (1994), hlm. 6–7.
  11. ^ Mendel (1970), hlm. 13–14.
  12. ^ Gold (1986), hlm. 21–32.

Kutipan

sunting
  • Chang, Maukuei (2005). "Chapter 7 : The Movement to Indigenize to Social Sciences in Taiwan: Origin and Predicaments". Dalam Makeham, John; Hsiau, A-chin. Cultural, Ethnic, and Political Nationalism in Contemporary Taiwan: Bentuhua (edisi ke-1). New York: Palgrave Macmillan. ISBN 9781403970206. 
  • Hsiau, A-Chin (2005). "Chapter 4 : The Indigenization of Taiwanese Literature: Historical Narrative, Strategic Essentialism, and State Violence". Dalam Makeham, John; Hsiau, A-chin. Cultural, Ethnic, and Political Nationalism in Contemporary Taiwan: Bentuhua (edisi ke-1). New York: Palgrave Macmillan. ISBN 9781403970206. 
  • Huang, Chun-chieh (1994). Harrell, Stevan; Huang, Chun-chieh, ed. Introduction. Cultural Change in Postwar Taiwan (April 10–14, 1991; Seattle). Boulder, Colo.: Westview Press. ISBN 9780813386324. 
  • Makeham, John (2005). "Chapter 6 : Indigenization Discourse in Taiwanese Confucian Revivalism". Dalam Makeham, John; Hsiau, A-chin. Cultural, Ethnic, and Political Nationalism in Contemporary Taiwan: Bentuhua (edisi ke-1). New York: Palgrave Macmillan. doi:10.1057/9781403980618. ISBN 9781403970206. 
  • Winckler, Edwin (1994). Harrell, Stevan; Huang, Chun-chieh, ed. Cultural Policy in Postwar Taiwan. Cultural Change in Postwar Taiwan (April 10–14, 1991; Seattle). Boulder, Colo.: Westview Press. ISBN 9780813386324. 
  • Yip, June (2004). Envisioning Taiwan: Fiction, Cinema and the Nation in the Cultural Imaginary. Durham, N.C. and London: Duke University Press. ISBN 9780822333579. 
  • The Republic of China Yearbook 2014 (PDF). Executive Yuan, R.O.C. 2014. ISBN 9789860423020. Diakses tanggal 2016-06-11.