Bioterorisme, atau serangan biologi, adalah tindakan pelepasan virus, bakteri atau agen biologi lainnya secara sengaja yang dapat membuat korbannya - orang, binatang atau tanaman - menjadi sakit atau bahkan mati.[1]

Penerbang Amerika Serikat mengenakan masker M-17, topeng dan tudung untuk perang nuklir, biologis, dan perang kimia

Sejarah dan kajian terhadap bioterorisme

sunting

Menurut Riedel, taktik serangan biologi telah lama digunakan untuk menyerang musuh melalui cara-cara yang relatif sederhana seperti mengotori sumur atau sumber mata air lain di wilayah pihak lawan pada perang-perang di Eropa dan Perang Sipil Amerika. Strategi serupa juga digunakan bangsa Eropa saat hendak melakukan penjajahan atas Dunia Baru dengan menyebarkan penyakit variola kepada penduduk asli Amerika dengan tujuan memusnahkan populasi mereka.

Bukti-bukti substantif juga menemukan bahwa Jerman kuat diduga hendak melakukan serangan biologi terhadap Amerika Serikat dan negara-negara lainnya dengan mengekspor kuda dan sapi yang telah disuntik kuman yang dapat menyebarkan penyakit pada Perang Dunia I. Namun pada tahun 1924, sebuah subkomite Liga Bangsa-Bangsa mengungkapkan bahwa tidak ditemukan bukti kuat bahwa Jerman menggunakan serangan biologi pada Perang Dunia I melainkan hanya serangan kimia.

Lalu pada Perang Dunia II, Jepang memiliki program penelitian dan pengembangan serangan biologi yang dikenal sebagai Unit 731. Unit tersebut berfasilitaskan lebih dari 150 gedung di distrik Pingfang, Tiongkok dan lima kampus lainnya di luar Pingfang serta beranggotakan lebih dari 3.000 ilmuwan. Kuat diduga bahwa lebih dari 10.000 tahanan tewas sebagai kelinci percobaan program tersebut.[2]

Carus memiliki pandangan berbeda di mana dia menuliskan bahwa bioterorisme masih kerap disalahpahami khalayak yang mana kajian dan literatur terhadap bioterorisme dan contoh-contoh kasusnya masih sangat sedikit yang telah dibahas secara komprehensif. Jika menggunakan pandangan Carus, maka tulisan Riedel dapat dikatakan sebagai contoh-contoh perang menggunakan senjata biologi. Menurut Carus, efek dari serangan bioterorisme masih sangat minim jika dibandingkan metode serangan lainnya.[3]

Tanda-tanda dan respons terhadap bioterorisme

sunting

Tanda-tanda terjadinya serangan bioterorisme bisa saja tidak kasatmata akibat terjadinya masa inkubasi sebelum dampaknya mulai terasa. Menurut buku panduan keadaan darurat Singapura, tanda-tanda yang harus dicurigai dalam menduga terjadinya bioterorisme adalah adanya bubuk atau cairan sejenis gel dan benda yang mencurigakan, terjangkitnya masyarakat pada suatu penyakit yang tidak biasa, dan/atau banyaknya orang yang meminta pertolongan kesehatan darurat dalam kurun waktu yang berdekatan.

Dalam merespons bioterorisme secara individual, seseorang yang telah terdedah terhadap agen biologi disarankan untuk segera menjauh dari agen tersebut serta menutup hidung dan mulut dengan kain basah jika memungkinkan. Selain itu, orang tersebut disarankan untuk mandi dengan air dan sabun sesegera mungkin lalu mengganti semua pakaian mereka. Pakaian sebelumnya yang telah terkontaminasi harus dimasukkan ke dalam kantong yang layak dan sesuai (tidak sobek dan tertutup rapat) agar agen yang mungkin terdapat tidak terus tersebar.[4]

Bioterorisme dalam budaya populer

sunting

Bioterorisme sudah cukup sering dijadikan tema dalam karya-karya budaya populer. Film Inggris besutan sutradara Danny Boyle 28 Days Later (2002), misalnya, mengisahkan kekacauan yang dialami suatu masyarakat akibat dilepasnya sebuah virus yang sangat mematikan secara sengaja oleh aktivis pecinta binatang di mana empat tokoh utamanya berusaha bertahan hidup di tengah ketidakpastian tersebut.[5]

Depiksi lain bioterorisme juga dapat ditemukan pada musim kedua serial televisi Denmark-Swedia Bron/Broen. Diawali dengan kematian-kematian mencurigakan akibat suatu penyakit yang tak diketahui dan keberadaan racun pada beberapa produk makanan di metropolitan Kopenhagen-Malmö, hasil penyidikan menemukan bahwa terdapat unsur kesengajaan oleh kakak kandung pemilik sebuah perusahaan farmasi berbasis di Kopenhagen untuk menimbulkan kepanikan yang pada akhirnya akan menaikkan harga saham perusahaan adiknya. Sementara itu, pelaku lain memasukkan virus ke dalam obat yang digunakan oleh pemilik perusahaan dengan niat menyebarkan virus yang berada di dalam tubuh pemilik perusahaan melalui sistem pendingin udara untuk menginfeksi dan membunuh para menteri lingkungan se-Eropa yang akan dijumpai oleh si pemilik perusahaan dalam sebuah konferensi.[6]

Referensi

sunting
  1. ^ Bioterrorism. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal 12 November 2017.
  2. ^ [1]. Riedel, Stefan 2004, Biological warfare and bioterrorism: a historical review, Baylor University Medical Center Proceedings. Diakses tanggal 12 November 2017.
  3. ^ [2]. Carus, W 2002, Bioterrorism and Biocrimes: The Illicit Use of Biological Agents Since 1900. Fredonia Books.
  4. ^ Civil Defence Emergency Handbook
  5. ^ 28 Days Later... (2002). IMDb. Diakses tanggal 12 November 2017.
  6. ^ The Bridge (2011- ). IMDb. Diakses tanggal 12 November 2017.