Lubuk

wilayah ekologi pada bagian terendah atau dasar dari suatu perairan
(Dialihkan dari Bentik)

Lubuk (bahasa Inggris: Benthic zone) merupakan wilayah ekologi pada bagian terendah atau dasar dari suatu perairan seperti sungai, laut atau danau, termasuk permukaan sedimen dan lapisan di bawah permukaan. Lubuk dapat pula berarti cekungan dalam di dasar sungai. Organisme yang hidup di lubuk disebut bentos, misalnya kumpulan avertebrata, termasuk krustasea dan polychaeta.[1] Umumnya organisme-organisme ini memiliki hubungan dengan zat-zat yang berada atau secara permanen menempel pada lantai dasar. Lapisan tanah terluar yang dibentuk oleh massa air, lapisan batas lubuk, merupakan bagian integral dari lubuk, karena sangat mempengaruhi aktivitas biologis yang terjadi di sana. Contohnya adalah pasir di dasar, singkapan, terumbu karang dan lumpur.

Deskripsi

sunting

Di laut, lubuk dimulai dari garis pantai (zona intertidal atau zona eulitoral) kemudian terus ke bawah di sepanjang permukaan landas benua di laut.[2][3] Landas benua merupakan wilayah lubuk yang landai memanjang dari daratan. Di ujung landas benua, biasanya sekitar 200 meter, derajat kemiringan akan meningkat dan dikenal sebagai lereng benua. Lereng benua turun hingga ke dasar laut dalam. Dasar laut dalam disebut dataran abisal dengan kedalaman biasanya sekitar 4.000 meter. Dasar laut tidak semua datar tapi memiliki pegunungan bawah laut dan parit laut dalam yang dikenal sebagai zona hadal.

Sebagai perbandingan, zona pelagis adalah istilah deskriptif untuk ekologi wilayah di atas bentos, termasuk kolom air hingga ke permukaan. Tergantung pada besarnya massa air, lubuk dapat mencakup daerah yang hanya beberapa inci di bawah permukaan, seperti sungai atau kolam dangkal, di ujung spektrum, bentos lautan dalam termasuk pada tingkatan bawah zona abisal.

Hewan pada zona ini umumnya termasuk dalam bentuk-bentuk kehidupan yang mentolerir suhu dan kadar oksigen yang rendah, tetapi hal ini ditentukan oleh kedalaman air.

Aliran air di lubuk sungai biasanya tenang atau bahkan relatif tidak mengalir. Namun, dapat terjadi arus kuat di bagian dasar lubuk jika terdapat arus bawah yang kuat.

Organisme

sunting

Bentos adalah organisme yang hidup di lubuk, dan berbeda daripada kehidupan di tempat lain di kolom air.[4] Banyak dari jenis ini beradaptasi untuk hidup di dasar (bawah). Pada habitatnya, mereka dapat dianggap sebagai organisme dominan, tetapi mereka sering menjadi sumber makanan utama untuk Charchahinidae seperti hiu lemon.[5] Banyak jenis organisme yang dapat beradaptasi di tekanan air di kedalaman namun tidak dapat bertahan pada bagian atas dari kolom air. Perbedaan tekanan dapat menjadi sangat signifikan.

Karena cahaya tidak dapat menembus ke lautan yang sangat dalam, sumber energi pada ekosistem di lubuk sering kali merupakan bahan organik dari tempat yang lebih tinggi, yang terseret ke kedalaman. Benda yang mati dan terurai ini menjadi penyangga dalam rantai makanan di lubuk, kebanyakan organisme penghuni lubuk adalah detritivor. Beberapa mikroorganisme menggunakan kemosintesis untuk menghasilkan biomassa.

Organisme penghuni lubuk dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan letak rumah mereka. Mereka yang hidup pada lantai dasar air dikenal sebagai epifauna.[6] Sementara organisme yang hidup di bawah tanah dasar air disebut infauna.[7]

Aliran nutrisi

sunting

Sumber-sumber makanan untuk komunitas lubuk dapat berasal dari bagian atas kolom air dalam bentuk agregasi detritus, anorganik, dan organisme hidup.[8] Agregasi ini penting untuk pengendapan bahan organik, dan komunitas bakteri.[9] Jumlah material yang tenggelam ke dasar laut rata-rata mencapai 307,000 agregat per m2 per hari.[10] Jumlah Ini akan bervariasi pada kedalaman bentos, dan tingkatan penghubung lubuk-pelagis. Bentos di daerah dangkal akan memiliki makanan yang lebih banyak dibandingkan bentos di laut dalam. Karena ketergantungan itu, mikroorganisme menjadi tergantung secara spasial pada detritus di lubuk. Mikroorganisme yang ditemukan di lubuk, khusus dinoflagellata dan foraminifera, berkembang cukup pesat pada detritus, disaat yang bersamaan keduanya juga membentuk hubungan simbiosis satu sama lain.[11][12]

Habitat

sunting

Teknologi pemetaan dasar laut modern telah mengungkapkan hubungan antara geomorfologi dasar laut dan habitat lubuk, komunitas lubuk seperti apa yang cocok dengan geomorfologi yang spesifik.[13] Contohnya komunitas terumbu karang air dingin yang berhubungan dengan gunung dan lembah bawah laut, hutan kelp terkait dengan terumbu karang lipatan dalam dan rockfish yang berhubungan dengan tebing curam berbatu di lereng benua.[14] Di lingkungan samudera, habitat lubuk juga dapat dikategorikan berdasarkan kedalaman. Dari dangkal terdalam adalah: epipelagis (kurang dari 200 meter), mesopelagis (200-1,000 meter), basial (sekitar 1.000–4.000 meter), abisal (lebih 4.000–6.000 meter) dan terdalam, hadal (di bawah 6.000 meter).

Zona yang lebih rendah berada pada kedalaman, memiliki tekanan samudera. Manusia telah meninggalkan dampak pada semua bagian lautan, namun yang paling signifikan berada pada lempeng benua yang dangkal dan habitat lereng.[15] Banyak organisme lubuk telah mempertahankan sejarah karakteristik evolusi mereka. Beberapa organisme yang secara signifikan lebih besar dari kerabat mereka yang tinggal di zona dangkal, sebagian besar karena tingginya kadar oksigen di laut dalam.[16]

Tidak mudah untuk memetakan atau mengamati organisme dan habitat mereka, dan pengamatan paling modern yang pernah dibuat adalah dengan menggunakan kendaraan bawah air kontrol jarak jauh (ROVs), dan sangat jarang menggunakan kapal selam.

Penelitian ekologi

sunting

Invertebrata makro di lubuk memiliki banyak fungsi ekologis, seperti mengatur aliran bahan dan energi pada ekosistem sungai melalui hubungan . Karena ini korelasi antara aliran energi dan nutrisi, Invertebrata makro di lubuk memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sumber makanan pada ikan dan organisme lain dalam ekosistem akuatik. Misalnya, penambahan jumlah nutrisi ke sungai selama beberapa tahun mengakibatkan peningkatan avertebrata, kelebihan, dan biomassa. Ini pada gilirannya akan mengakibatkan peningkatan sumber makanan bagi spesies ikan asli dengan perubahan signifikan struktur komunitas invertebrata makro dan jalur tropis.[17] Adanya invertebrata makro seperti Amphipoda juga mempengaruhi dominasi jenis alga tertentu dalam ekosistem lubuk.[18] Selain itu, karena lubuk dipengaruhi oleh aliran detritus, telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara aliran sungai dan efek yang dihasilkan pada lubuk. Peristiwa-peristiwa pada aliran rendah menunjukkan pembatasan dalam transportasi nutrisi dari substrat lubuk ke dalam rantai makanan, dan menyebabkan penurunan biomassa invertebrata makro lubuk, yang menyebabkan hilangnya sumber makanan ke dalam permukaan.[19]

Karena sistem lubuk mengatur energi dalam ekosistem perairan, studi tentang mekanisme lubuk telah dilakukan dalam rangka mendapatkan pemahaman lebih tentang ekosistem. Diatom lubuk telah digunakan oleh Uni Eropa (WFD) untuk membangun rasio kualitas yang menentukan status ekologis danau-danau di Inggris.[20] Awal penelitian dilakukan pada kumpulan lubuk untuk melihat jika mereka dapat digunakan sebagai indikator kesehatan pada ekosistem akuatik. Kumpulan lubuk di wilayah pesisir perkotaan secara fungsional tidak setara dengan kumpulan lubuk di daerah yang belum tersentuh.[21]

Para ahli ekologi mencoba untuk memahami hubungan antara heterogenitas dan upaya mempertahankan keanekaragaman hayati dalam ekosistem akuatik. Alga lubuk telah menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan untuk mempelajari perubahan jangka pendek dan tanggapan masyarakat terhadap kondisi heterogen di sungai. Pengertian tentang mekanisme potensial yang melibatkan perifiton di lubuk dan efek pada heterogenitas dalam aliran memberikan pemahaman yang lebih baik tentang struktur dan fungsi ekosistem sungai.[22] Produksi primer kotor lubuk dapat menjadi hal yang penting dalam menjaga keanekaragaman hayati di zona pesisir dalam ekosistem danau. Namun, kontribusi relatif dari habitat lubuk dalam ekosistem tertentu sangat minim pemahaman dan diperlukan penelitian lebih lanjut.[23]

Toponimi

sunting

Dalam Bahasa Minangkabau, lubuk (lubuak) sangat sering digunakan untuk penamaan suatu daerah, baik besar ataupun kecil. Seperti nama ibu kota Kabupaten Agam: Lubuk Basung, nama kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman: Lubuk Alung, nama kelurahan di Kota Padang: Lubuk Buaya, atau nama jorong di Kabupaten Pasaman Barat: Lubuk Landua, tergantung pada spesifikasi lubuk daerah tersebut.

Dalam Bahasa Sunda, lubuk disebut sebagai leuwi. Kata ini sangat populer digunakan sebagai nama tempat di Jawa Barat dan Banten.

Dalam Bahasa Bali, lubuk disebut sebagai tibu. Kata ini populer sebagai nama air terjun dan nama daerah di Bali.

Rujukan

sunting
  1. ^ "What Are Benthos?". Baybenthos.versar.com. 2006-01-23. Diakses tanggal 2013-11-24. 
  2. ^ Angelo Mark P. Walag; Mae Oljae P. Canencia (2016). "Physico-chemical Parameters and Macrobenthic Invertebrates of the Intertidal Zone of Gusa, Cagayan de Oro City, Philippines". Advances in Environmental Sciences - International Journal of the Bioflux Society. 8 (1): 71–82. Diakses tanggal 2015-12-08. 
  3. ^ Ananthakrishnan, T. N.; Sivaramakrishnan, K. G. (2016-07-01). Animal Biodiversity: Patterns and Process (dalam bahasa Inggris). Scientific Publishers. ISBN 978-93-87307-47-6. 
  4. ^ Proposed Sediment Quality Criteria for the Protection of Benthic Organisms. 
  5. ^ Bright, Michael (2000). The private life of sharks: the truth behind the myth. Mechanicsburg, Pennsylvania: Stackpole Books. ISBN 0-8117-2875-7. 
  6. ^ "Epifaunal - Definition and More from the Free Merriam-Webster Dictionary". Merriam-webster.com. 2012-08-31. Diakses tanggal 2013-11-24. 
  7. ^ "Infauna - Definition and More from the Free Merriam-Webster Dictionary". Merriam-webster.com. 2012-08-31. Diakses tanggal 2013-11-24. 
  8. ^ "Benthic Zone - Characteristics & Nutrient Flow". BYJUS (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-02. 
  9. ^ Alldredge, Alice; Silver, Mary W. (1988). "Characteristics, dynamics and significance of marine snow". Progress in Oceanography. 20: 41–82. doi:10.1016/0079-6611(88)90053-5. 
  10. ^ Shanks, Alan; Trent, Jonathan D. (1980). "Marine snow: sinking rates and potential role in vertical flux". Deep-Sea Research. 27A (2): 137–143. doi:10.1016/0198-0149(80)90092-8. 
  11. ^ "Foraminifera". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-14. Diakses tanggal 7 December 2014. 
  12. ^ "foraminifera". Diakses tanggal 7 December 2014. 
  13. ^ Harris, P. T.; Baker, E. K. 2012.
  14. ^ Harris, P. T.; Baker, E. K.; 2012.
  15. ^ Harris, P. T., 2012.
  16. ^ Royal Belgian Institute of Natural Sciences, news item March 2005 Diarsipkan September 28, 2011, di Wayback Machine.
  17. ^ Minshall, Wayne; Shafii, Bahman; Price, William J.; Holderman, Charlie; Anders, Paul J.; Lester, Gary; Barrett, Pat. "Effects of nutrient replacement on benthic macroinvertebrates in an ultraoligotrophic reach of the Kootenai River, 2003–2010". Freshwater Science. doi:10.1086/677900. JSTOR 10.1086/677900. 
  18. ^ Duffy, J. Emmett; Hay, Mark E. (2000-05-01). "Strong impacts of grazing amphipods on the organization of a benthic community". Ecological Monographs. 70 (2): 237–263. doi:10.1890/0012-9615(2000)070[0237:SIOGAO]2.0.CO;2. ISSN 0012-9615. [pranala nonaktif permanen]
  19. ^ Rolls, Robert; Leigh, Catherine; Sheldon, Fran (2012). "Mechanistic effects of low-flow hydrology on riverine ecosystems: ecological principles and consequences of alteration". Freshwater Science. 31 (4): 1163–1186. doi:10.1899/12-002.1. JSTOR 10.1899/12-002.1. 
  20. ^ Bennion, Helen; Kelly, Martyn G.; Juggins, Steve; Yallop, Marian L.; Burgess, Amy; Jamieson, Jane; Krokowski, Jan (2014). "Assessment of Ecological Status in UK lakes using benthic diatoms". Freshwater Science. 33 (2): 639–654. doi:10.1086/675447. JSTOR 10.1086/675447. 
  21. ^ Lowe, Michael; Peterson, Mark S. (2014). "Effects of Coastal Urbanization on Salt-Marsh Faunal Assemblages in the Northern Gulf of Mexico". Marine and Coastal Fisheries: Dynamics, Management, and Ecosystem Science. 6: 89–107. doi:10.1080/19425120.2014.893467. 
  22. ^ Wellnitz, Todd; Rader, Russell B. (2003). "Mechanisms influencing community composition and succession in mountain stream periphyton: interactions between scouring history, grazing, and irradiance". Journal of the North American Benthological Society. 22 (4): 528–541. doi:10.2307/1468350. JSTOR 1468350. 
  23. ^ Althouse, Bryan; Higgins, Scott; Vander Zanden, Jake M. (2014). "Benthic and Planktonic primary production along a nutrient gradient in Green Bay, Lake Michigan, USA". Freshwater Science. 33 (2): 487–498. doi:10.1086/676314. JSTOR 10.1086/676314. 

Pranala luar

sunting