Waduk Prijetan
Waduk Prijetan adalah sebuah waduk yang dibangun di Mlati, Kedungpring, Lamongan untuk menampung air dari salah satu cucu Bengawan Solo, yakni Sungai Prijetan. Waduk ini adalah waduk tertua di Jawa Timur, karena telah beroperasi sejak tahun 1917. Waduk ini terutama dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian seluas sekitar 600 hektar. Selain itu, waduk ini juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata dan sarana budidaya ikan.[2]
Waduk Prijetan | |
---|---|
Lokasi | Mlati, Lamongan, Jawa Timur |
Kegunaan | Irigasi |
Status | Beroperasi |
Mulai dibangun | 1910 |
Mulai dioperasikan | 1917 |
Pemilik | Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat |
Kontraktor | Pemerintah Hindia Belanda |
Perancang | Pemerintah Hindia Belanda |
Bendungan dan saluran pelimpah | |
Tipe bendungan | Urugan |
Tinggi | 23 m |
Panjang | 360 m |
Lebar puncak | 3,75 m[1] |
Volume bendungan | 144.000 m3 |
Ketinggian di puncak | 52 mdpl |
Membendung | Sungai Prijetan |
Jumlah pelimpah | 1 |
Tipe pelimpah | Ogee |
Kapasitas pelimpah | 170 m3 / detik |
Waduk | |
Kapasitas normal | 12.100.000 m3 |
Kapasitas aktif | 6.600.000 m3 |
Kapasitas nonaktif | 5.500.000 m3 |
Luas tangkapan | 23,67 km2 |
Luas genangan | 170 hektar[2] |
Waduk ini dapat dicapai dengan mengendarai sepeda motor melewati kebun jati dan tebu milik warga, dengan jalan yang masih belum begitu bagus. Di sepanjang perjalanan, juga dapat dijumpai sejumlah sendang (telaga kecil). Kondisi waduk ini cukup baik, dengan bangunan yang kokoh dan jalan di bagian utama waduk sudah berupa paving, serta terdapat akses melewati jalan beranak tangga.
Sejarah
suntingSebelum waduk ini dibangun, pada musim hujan, debit air Sungai Prijetan menjadi sangat tinggi, sehingga menyebabkan banjir. Tetapi, pada musim kemarau, debit air Sungai Prijetan menjadi sangat rendah, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Guna mengatasi hal tersebut, pada tahun 1910, pemerintah Hindia Belanda pun merencakan pembangunan tujuh waduk di hilir Bengawan Solo, salah satunya adalah waduk ini, yang mulai dibangun pada tahun 1910 dan dapat diselesaikan pada tahun 1917.[2]
Karena telah beroperasi selama lebih dari satu abad, performa waduk ini pun mulai menurun, salah satunya akibat terjadinya sedimentasi yang sudah melampaui elevasi ambang pengambilan air irigasi, sehingga tiap musim kemarau, perlu dilakukan pengerukan di sekitar ambang pintu pengambilan air irigasi. Badan bendungan dari waduk ini juga mulai menurun, sehingga tinggi puncaknya tidak lagi rata. Saluran pelimpah dari waduk ini juga tidak lagi memadai.[2]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1995). Bendungan Besar Di Indonesia (PDF). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. hlm. 166.
- ^ a b c d Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1.