Tuntong laut

(Dialihkan dari Beluku)
Tuntong laut
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
B. borneoensis
Nama binomial
Batagur borneoensis
(Schlegel & Muller, 1844)
Sinonim[3]
  • Emys borneoensis Schlegel & Müller, 1844[2]
  • Tetraonyx affinis Cantor, 1847
  • Batagur picta Gray, 1862
  • Clemmys borneoensis Strauch, 1862
  • Clemmys grayi Strauch, 1865
  • Callagur picta Gray, 1870
  • Cantorella affinis Gray, 1870
  • Kachuga major Gray, 1873
  • Tetraonyx pictus Theobald, 1876
  • Batagur borneensis Hubrecht, 1881 (ex errore)
  • Kachuga brookei Bartlett, 1895
  • Callagur borneoensis Smith, 1930
  • Callagur pictus Pritchard, 1967

Tuntong laut[4] (Batagur borneoensis), atau juga disebut beluku[5] adalah sejenis kura-kura yang ditemukan hidup di Thailand, Malaysia, Kalimantan dan Sumatra.[4][6] Semula kura-kura ini dimasukkan ke dalam genus Callagur, tetapi kajian filogeni berdasarkan karakter DNA mitokondria yang dilakukan pada 2007 menunjukkan bahwa marga tersebut lebih tepat dilebur dalam genus Batagur.[1]

Pengenalan

sunting

Kura-kura bertubuh sedang hingga besar, panjang karapas dapat mencapai 1.000 mm, meski kebanyakan hanya sekitar 500 mm. Rahang atas bergerigi. Kaki depan dengan lima cakar, sedangkan kaki belakang empat cakar.[5]

Betina berukuran lebih besar dari jantan, dengan panjang tubuh mencapai 60 cm. Ukuran rata-rata hewan jantan berkisar antara 30 hingga 40 cm.[6]

Hewan muda dengan tiga lunas pada perisai punggungnya, setelah dewasa yang tersisa tinggal lunas vertebralnya. Keping nuchal (tengkuk) sangat kecil atau sering tak ada. Keping vertebral bertepi rata, hampir sama panjang dan lebarnya, kecuali keping terakhir yang melebar di bagian belakang; urutan panjang keping vertebral: 2 > 3 > 4 > 1 > 5. Keping kostal kurang lebih sama lebar dengan keping vertebral di tengah perisai (pada anakan: kostal kurang lebar dibandingkan vertebral). Urutan panjang hubungan di antara keping perisai perut: abdominal > femoral > pektoral > anal > < humeral > gular.[5]

Punggung berwarna gading atau cokelat muda kehijau-hijauan dengan bercak-bercak yang tersusun sebagai tiga garis hitam memanjang di tengah keping kostal dan vertebral. Kadang-kadang dijumpai individu yang hampir seluruh punggungnya berwarna kehitaman. Hewan jantan dengan garis lebar merah di atas kepala, dan pipi yang putih. Perisai perut biasanya krem, polos tidak bebercak atau bergaris.[5]

Penyebaran geografis

sunting

B. borneoensis dapat ditemukan di Asia Tenggara bagian selatan.[6] Jangkauannya meliputi Thailand bagian selatan, Malaysia, dan Kalimantan.[6] Kura-kura ini juga dapat ditemukan di Pulau Sumatra.[6] B. borneoensis dapat bermigrasi hingga 3 km.[6] Karena perdagangan hewan, kini B. borneoensis dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia.[6]

Habitat

sunting

B. borneoensis mendiami muara dan bagian sungai yang terpengaruh oleh pasang surut.[6] Mereka juga mendiami daerah rawa-rawa dan sungai kecil.[6] Ketika musim kawin, B. borneoensis melakukan migrasi.[6] Seperti halnya penyu laut, B. borneoensis betina bertelur di pasir pantai.[6]

B. borneoensis umumnya hidup sebagai herbivora.[6] Makanan utama mereka terdiri dari buah pohon bakau, tumbuhan yang jatuh ke sungai, tunas, dan tumbuhan liar yang tumbuh di sisi sungai.[6] Rumput sungai merupakan salah satu sumber makanan terpenting bagi B. borneoensis.[6] Terkadang, mereka juga mau memakan sampah dapur yang dibuang oleh penduduk desa ke sungai.[6]

Di dalam penangkaran, B. borneoensis dapat diberi makan dengan berbagai jenis sayuran seperti bayam, kale, bok choy, sawi, selada, dan enceng gondok.[6] Terlebih lagi, mereka juga dapat memakan pisang, mangga, belewar, cacing tanah, dan makanan kura-kura olahan.[6] Namun, tidak seperti spesies kura-kura lainnya, beluku tidak menunjukkan minat untuk memakan stroberi dan apel.[6]

Ancaman populasi

sunting

Terdapat beberapa hal yang mengancam populasi B. borneoensis di alam liar.[4] Salah satu faktor utama adalah penangkapan dan perburuan liar.[4] Penduduk lokal banyak menangkap B. borneoensis dan mengambil telurnya untuk dijual di pasar lokal.[4]

Faktor kedua adalah rusaknya hutan bakau yang merupakan habitat tempat tinggal B. borneoensis.[4] Buah yang jatuh dari pohon berembang (Sonneratia caseolaris) merupakan salah satu sumber makanan utama B. borneoensis.[4] Kerusakan hutan bakau dapat mempengaruhi sumber makanan mereka.[4] Selain itu, kerusakan hutan bakau dapat merusak rantai makanan dan ekologi lingkungan, hal ini karena B. borneoensis berperan sebagai penyebar biji pohon berembang.[4]

Ancaman lain yang dapat menggangu adalah kecelakaan saat kontak dengan manusia.[4] Beluku dapat terperangkap dalam jaring nelayan, terluka oleh kail pancingan, atau terbunuh oleh baling-baling kapal.[4]

Status konservasi

sunting

Oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN), populasi B. borneoensis dimasukkan ke dalam kategori Kritis (CR, Critically Endangered).[4][7] Menyikapi hal ini, Pemerintah Indonesia telah mengkategorikan B. borneoensis sebagai spesies dengan prioritas konservasi yang tinggi.[4] Lebih jauh lagi, B. borneoensis telah dicantumkan dalam lampiran "Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999" tentang perlindungan hewan dan tumbuhan.[4][8]

Terdapat anggapan di kalangan ilmuwan bahwa kerusakan alam sebagian besar disebabkan oleh perilaku manusia, dibandingkan dengan faktor alami.[4] Menyikapi hal ini, Guntoro (2010) mengemukakan bahwa perubahan tingkah laku manusia adalah penting untuk menyelamatkan B. borneoensis di alam liar.[4] Untuk mengubah tingkah laku, penetapan regulasi yang ketat, serta peningkatan kesadaran masyarakat dinilai penting.[4]

Konservasi spesies B. borneoensis dapat didukung dengan pengamatan berkelanjutan dan tindakan penyelamatan yang aktif, seperti dengan mengawasi tempat B. borneoensis bertelur dan menginkubasi telur di tempat yang aman.[4] Melindungi hutan bakau sebagai habitat B. borneoensis juga terbilang penting, melihat besarnya kontribusi hutan bakau terhadap kelangsungan hidup B. borneoensis.[4]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b (Inggris) Praschag, P., Hundsdörfer, A. K. & Fritz, U (2007). "Phylogeny and taxonomy of endangered South and South-east Asian freshwater turtles elucidated by mtDNA sequence variation (Testudines: Geoemydidae: Batagur, Callagur, Hardella, Kachuga, Pangshura)". Zoologica Scripta. 36: 429–442.  line feed character di |title= pada posisi 14 (bantuan)
  2. ^ Schlegel, H. & S. Muller. 1844. "Over de Schildpadden van den Indischen Archipel". In: Temminck, V. (1839-1847) Verhandelingen over de natuurlijke geschiedenis der Nederlandsche overzeesche bezittingen, door de leden der Natuurkundige Commisie in Oost-Indie en andere schrijvers. Leijden folio. Afd. 1 Zoologie.
  3. ^ Fritz Uwe (2007). "Checklist of Chelonians of the World" (PDF). Vertebrate Zoology. 57 (2): 213–214. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2010-12-17. Diakses tanggal 29 May 2012. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s (Inggris) Guntoro J (2012). "Tracing the Footsteps of the Painted Terrapin (Batagur borneoensis) in the Aceh Tamiang Regency, Aceh, Indonesia. Preliminary Observations" (PDF). Radiata. 1: 60–67. 
  5. ^ a b c d Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura & buaya Indonesia dan Papua Nugini: 101-2. Bandung: ITB.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Inggris) Kegler B (2011). "Callagur borneoensis". Animal Diversity Web. Diakses tanggal 04 May 2014. 
  7. ^ (Inggris) Asian Turtle Trade Working Group (2000). "Batagur borneoensis". IUCN. Diakses tanggal 4 May 2014. 
  8. ^ "LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999" (PDF). 27 Jan 1999. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-05-05. Diakses tanggal 22 May 2014.