Bataram (Bahasa Indonesia: menceritakan kaba). Bataram adalah salah satu tradisi satra lisan di Minangkabau, yang terdapat di daerah Batu Hampar Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan. Penamaan terhadap tradisi ini diberi berdasarkan pada nama orang yang pertama kali memperkenalkannya yaitu Angku (Engku) Taram. Bataram sebagai satu tradisi bakaba (menceritakan kabar) dalam pertunjukannya memakai odok (rebana) sebagai alat musik pengiring. cerita yang dibawakan hanya satu, yaitu cerita "Kaba Sutan Pangaduan". Teks cerita ini didendangkan oleh seorang pendendang (singer) yang disebut dengan tukang taram, yang sekaligus pemain musik odok. cerita dalam bataram baru akan tamat dengan empat kali pertunjukan (empat malam), dan di pertunjukan diacara helat perkawinan, helat adat, dan lepau. Dalam masyarakat pendukungnya, Bataram berfungsi sebagai hiburan atau pelipur lara. Namun begitu, cerita yang di bawakan dipercayai ada dalam realita oleh masyarakat pendukungnya, terutama kaum tua. Itu pulalah sebabnya, ada syarat-syarat tertentu yang harus di penuhi dalam pertunjukan-nya. Jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi, mereka percaya akan terjadi malapetaka, terutama itu dialami oleh tukang taram.[1]

Saat ini, hanya ada tiga orang yang dapat ber-taram. Namun, dari tiga orang ini hanya satu orang yang masih aktif. Dua orang lainnya tidak aktif lagi, satu di antaranya karena usia yang sudah lanjut (tua) dan seorang lagi hanya mampu melakukan pertunjukan satu babak pertama saja (satu malam dari empat malam). Artinya, sekarang (1998), hanya ada satu orang tukang taram yang masih diundang melakukan pertunjukan, terutama di helat perkawinan, yaitu Bapak Azwir (46 tahun). Akan tetapi, pada lima tahun terakhir ini (sejak 2002), kabamya, Bataram ini hampir tidak pemah dipertunjukkan, karena ia sudah 'digantikan' oleh organ tunggal. Kepandaian ber-taram ini diperoleh memalui proses belajar. Dalam belajar, tidak ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.[1]

Penampil atau tukang taram adalah laki-laki. sejauh ini, tidak ditemukan tukang taram perempuan. Khalayak sastra lisan Bataram ini dominasi laki-laki. Jika, ada penonton kaum perempuan, itu hanya bersifat memenuhi rasa ingin tahu saja, seketdar menengok sebentar. jadi, dapat dikatakan, genre sastra lisan Bataram ini merupakan dunia milik laki-laki. Hal ini dimungkinkan, waktu pertunjukan sepanjang malam dan milik laki-laki pula. Pertunjukan Bataram diawalai dengan membakar kemenyan sebagai tanda minta izin kepada arwah tokoh-tokoh cerita yang dianggap pernah ada dalam realitas cerita itu. Biasanya, setelah kemenyan dibakar, cecak yang ada diloteng akan berbunyi. Hal ini pertanda bahwa tokoh-tokoh dalam cerita itu hadir di tempat pertunjukan. Kemudian tukang taram melanjutkan dengan memukul odok, menyesuaikan bunyi apakah sudah bagus atau belum. Teks dalam babak pertama dimulai dengan permintaan maaf, atau ampun kepada; pertama, kepada Allah, sehubung akan bercerita dengan bernyanyi atau berdendang tentang tuanku Sabirullah bergelar Gombang Patuanan. Bataram dipertunjukan selepas isya (kira-kira pukul 21.00 WIB) sampai menjelang subuh (kira-kira pukul 05.00 WIB). Pertunjukan yang diadakan di lepau hanya berlangsung sampai pukul 02.00 WIB (malam). Pertunjukan empat malam dan satu malam pertunjukan disebut "sakalawang" atau satu babak. Akan tetapi, pertunjukan yang di helat perkawinan atau di helat nagari hanya memainkan satu kalawang saja. Kalawang atau babak ke berapa (dari empat babak) yang akan di mainkan tergantung pada permintaan tuan rumah atau pihak yang mengundang.[1]

Teks Bataram berbentuk prosa liris dengan ciri rima akhir pada setiap lirik bersajak bebas. Disamping itu, pada bagian-bagian tertentu dalam cerita dipergunakan pantun, misalnya pada bagian yang mengawali babak pertama, ketika tokoh-tokoh berpisah, dan ketika mengalihkan cerita dari satu tokoh kepada tokoh yang lain. Contohnya;

Kaik bakaik rotan sago

Nan takaik juo di aka baha

Sampai ka langik babarito

di bumi jadi kaba

(Kait berkait rotan saga

terkait juga pada akar bahar

sampai ke langit terberita

di bumi jadi kaba)

Dalam teks Bataram terdapat ban yak bunyi sisipan (filler syillabies), yang berfungsi sebagai penerus atau penyempurna bunyi (irama), misalnya;

Raso maetong bintang banyak

Itulah mimpi Gombang maso itu

Ari pagi Gombang sudah sumbayang

Sinan dikabaan ka badan Gondan anyo lai

Ndeh diak kanduang yo dek diri

Dangalah bana di adiak kanduang

Rasian yo diak oi ... kato rang kampuang

(Rasa menghitung bintang banyak

itulah mimpi Gombang masa itu

hari pagi Gombang sudah sembahyang

di sana dikabarkan kepada Gondan

dik kandung badan diri dengarlah benar dik kandung

rasian dik kata orang kampung mimpi 'dik kata orang kita)[1]

Banyaknya bunyi sisipan (filler syllabies) itu dalam Bataram disebabkan oleh penciptaan larik-Iarik teks berdasarkan pada kesatuan pengucapan dengan panjang yang relatif sarna. Bunyi penyisip..itu akan muncul, bila jumlah suku kata atau kata dalam kesatuan pengucapan kurang dari yang diperlukan (untuk kepentingan irama). Sebaliknya, apabila suku kata, terutama di awal kata, seperti 'teh dan 'ndeh, yang, secara berturut-turut, berasal dari kata ateh 'atas' dan 'ndeh berasal dari kata ondeh 'aduh'. Setelah empat malam, pertunjukan diakhiri dengan menyembelih binatang temak, setidaknya dua ekor ayam.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Adriyetti dkk, Amir (2006). Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Kampus UNAND Limau Manis Padang, Indonesia: Andalas University Press. hlm. 170–174. ISBN 979-1097-08-9.