Basapa adalah suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di sekitar Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat khususnya di kecamatan Ulakan. Kegiatan utama yang dilakukan dalam tradisi ini adalah berziarah ke makam Syekh Burhanuddin, salah satu tokoh yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Sumatera Barat pada masa pemerintahan Kerajaan Pagaruyung. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenang jasa sang ulama dalam upayanya menyebarkan agama Islam. Basapa dilakukan setiap bulan Safar dalam penanggalan kalender Islam atau Hijriah.[1]

Situs Makam Syekh Burhanuddin di Padang Pariaman

Etimologi

sunting

Istilah basapa yang diucapkan dalam bahasa Minangkabau sebenarnya berasal dari kata bersafar dalam bahasa Indonesia yang merupakan gabungan antara imbuhan "ber-" dan kata "Safar". Safar merupakan bulan kedua dalam penanggalan kalender Hijriah. Pada bulan Safar sebagian umat Islam berziarah ke komplek makam Syekh Burhanuddin yang terletak di Ulakan, Pariaman, yaitu pada hari Rabu setelah tanggal 10 pada bulan Safar. Tradisi berziarah ke makam Syekh Burhanuddin pada bulan Safar ini yang dikenal dengan nama bersafar yang dalam pengucapan lidah orang Minang kemudian berubah menjadi basapa. Penentuan acara basapa setelah tanggal 10 Safar berkaitan dengan hari yang diyakini sebagai tanggal wafatnya Syekh Burhanuddin Ulakan, yaitu 10 Safar 1111 H (1691 M).[2]

Sejarah

sunting

Sejarah kegiatan basapa ini tentunya tidak lepas dari Syekh Burhanuddin di nagari/ kecamatan Ulakan yang menyebarkan agama Islam ke seluruh Minangkabau dalam kurun waktu 1056-1104 H / 1646-1692 M. Syekh Burhanuddin sendiri mempelajari agama Islam di Aceh, yaitu di Singkel selama 2 tahun dan di Banda Aceh selama 28 tahun dengan Syekh Abdurrauf. Selama kurang lebih 30 tahun belajar, Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman, tepatnya di Ulakan untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Di sana Syekh Burhanuddin juga membangun pusat agama Islam, dengan dibantu dengan empat orang muridnya yang juga ahli di bidang masing-masing. Keempat muridnya tersebut antara lain Tuanku Bayang, seorang ahli ilmu sharaf; Tuanku Kubung Tigobaleh, seorang ahli ilmu nahwu; Tuanku Padang Ganting, seorang ahli fiqih; dan Tuanku Batu Hampa yang merupakan seorang ahli ilmu tafsir dan Al-Qur'an.

Syekh Burhanuddin rutin mengumpulkan keempat muridnya tersebut untuk membahas berbagai masalah yang dihadapi. Pertemuan tersebut sengaja dilakukan pada tanggal 11 Syafar, di mana saat itu merupakan saat bulan naik sehingga malam harinya mendapatkan sinar terang dari bulan. Dan secara kebetulan, Syeih Burhanuddin wafat pada tanggal 10 Syafar di hari Arba'a atau Rabu, di mana menurut sebagian orang ada yang menyebutkan tahun wafatnya adalah 1104 H, ada juga yang menyebutkan tahun 1111 H. Setelah Syekh Burhanuddin wafat, para murid dan pengikut setia sang ulama lainnya rutin datang ke makamnya yang berada di Ulakan untuk berziarah. Waktu untuk berziarah tidak tetap, kapan saja ziarah bisa dilaksanakan. Baik di bulan Safar, Rabiul akhir, Rajab, Syawal, Zulhijah, maupun bulan lainnya.

Karena jadwal yang tidak beraturan tersebut, pada tahun 1315 H beberapa tokoh agama dan adat di wilayah sekitar Pariaman mengadakan pertemuan untuk membahas mengenai jadwal ziarah, beberapa diantaranya adalah Tuanku Syeikh Kapalo Koto dari Pauhkamba dan Tuanku Syekh Katapiang dari Kalampaian Ampalutinggi Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini dimaksudkan agar waktu berziarah lebih terkoordinir, terlihat syi’arnya paham yang dibawah Syekh Burhanuddin, yakni paham Ahlussunnah waljamah di ranah Minang. Tuanku Syeikh Katapiang juga menyetujui pemikiran tersebut sehingga Tuanku Syekh Kapalo Koto menyebarkan undangan untuk pertemuan yang bakal digelar. Undangan disebarkan kepada para ulama, kadhi, khatib, labai, mufti, dan bilal yang mayoritas adalah pengikut paham Syekh Burhanuddin.

Ternyata undangan tersebut mendapat tempat di hati ulama dan umat. Setelah berkumpul, maka disampaikanlah pemikiran Tuanku Syekh Kapalo Koto tadi. Selama ini ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin tidak beraturan waktunya. Ke depan, seluruh pengikut Syekh Burhanuddin yang berpahamkan Ahlussunnah waljamaah melakukan ziarah ke makamnya disatukan di bulan Safar. Pada saat itu, juga terdapat perbedaan antara pengikut paham Ahlussunnah waljamaah dengan pengikut paham lain seperti Syiah, Jabariah, dan Mu’tazilah. Atas pertimbangan tersebut, ditetapkanlah ziarah Basapa diadakan pada hari Rabu setiap 10 Safar atau Rabu pada saat bulan naik (terang). Sekarang ini, beberapa minggu sebelum pelaksanaan Basapa, para tokoh terutama pemuka agama dan adat di Ulakan mengadakan rapat untuk menetapkan hari-H kegiatan Basapa.

Kegiatan

sunting

Dalam penyelenggaraannya, kegiatan basapa ini terbagi ke dalam tiga kegiatan utama. Pertama adalah mengunjungi Masjid Tuo, masjid yang didirikan sebagai tempat bagi Syekh Burhanuddin mengajarkan agama Islam kepada para muridnya di samping sebagai tempat ibadah. Lalu yang kedua adalah mendatangi tempat yang menyimpan berbagai barang peninggalan dari Syekh Burhanuddin. Dan yang ketiga barulah datang ke makam Syekh Burhanuddin untuk berziarah. Kegiatan yang sudah berlangsung sejak lama ini kemudian menjadi salah satu ikon dari Kabupaten Padang Pariaman dan menjadi wisata religi tidak hanya bagi masyarakat setempat, banyak juga masyarakat atau umat yang datang dari luar untuk datang mengikuti kegiatan ini. Jika basapa benar-benar jatuh tepat pada tanggal 10 Safar, maka akan diperingati sebagai "basapa gadang" atau basapa besar-besaran.[3][4]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting