Wolter Robert van Hoëvell
Wolter Robert van Hoëvell (15 Juli 1812 – 10 Februari 1879) adalah seorang menteri, politikus, pembaharu, dan penulis Belanda. Dilahirkan sebagai bangsawan dan dilatih di Gereja Reformasi Belanda, ia bekerja selama sebelas tahun sebagai menteri di Hindia Belanda. Ia memimpin sebuah kongregasi yang berbahasa Melayu, terlibat dalam penelitian ilmiah dan kegiatan budaya, dan menjadi seorang tokoh yang secara terang-terangan mengkritik kolonialisme Belanda. Aktivisme-nya memuncak ketika dia bertindak sebagai salah satu pemimpin demonstrasi singkat pada tahun 1848. Selama peristiwa tersebut, sekelompok penduduk multi-etnis menyuarakan keluhan mereka kepada pemerintah daerah. Sebagai hasil dari kepemimpinannya dalam demonstrasi tersebut, van Hoëvell terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya di Hindia Belanda.
Setelah kembali ke Belanda, ia menjabat sebagai anggota parlemen untuk Partai Liberal Belanda dari tahun 1849 sampai 1862, dan dari tahun 1862 sampai kematiannya dia menjabat sebagai salah satu anggota Dewan Negara. Ia menggunakan posisi politiknya untuk terus mengkritisi sistem kolonial Belanda; dijuluki "pemimpin oposisi kolonial",[1] ia adalah politikus Belanda pertama yang melakukannya dengan baik dan berpengetahuan luas, dan mengilhami para penulis seperti Multatuli.
Kehidupan awal
suntingMasa kecil
suntingVan Hoëvell lahir di Deventer kepada salah satu keluarga bangsawan tertua yang terakhir di Belanda. Orangtuanya adalah Gerrit Willem Wolter Carel, Baron van Höevell (lahir di Deventer, 21 April 1778), dan Emerentia Luthera Isabella, Baroness van der Capellen (lahir di Haarlem, 31 Agustus 1787); Ia dibesarkan dengan enam saudara laki-laki dan perempuan.[2] Sementara van Hoëvell masih muda, keluarga tersebut pindah ke Groningen[3] dimana ia menempuh pendidikan di sekolah Latin.[2] Van Hoëvell terdaftar di Universitas Groningen pada tahun 1829 dan belajar teologi. Pada tahun 1830, ia terlibat aksi militer di Belgia selama usaha gagal oleh Belanda Utara untuk mempertahankan kesatuan Kerajaan Belanda. Ia kembali dari perang dengan kondisi sakit parah, namun berhasil memulihkan diri dan kemudian kembali ke universitas.[3] Ia lulus dengan predikat summa cum laude dengan sebuah disertasi tentang Irenaeus pada tahun 1836, dan pada tahun yang sama ia menikahi Abrahamina Johanna Trip, dan memiliki dua anak perempuan dan empat anak laki-laki; satu anak perempuan dan satu anak laki-laki meninggal muda.[4]
Menjadi pendeta dan aktivisme di Hindia Belanda
suntingVan Hoëvell meninggalkan Belanda untuk menjadi pendeta di Batavia di Hindia Belanda,[2] tempat di mana ia memimpin sebuah kongregasi berbahasa Melayu dan Belanda.[5] Pada tahun 1838, ia menerima jabatan tambahan, sebagai sejarawan untuk pemerintah daerah, dan mulai melakukan perjalanan keliling di wilayah tersebut. Ia bekerja di Hindia Belanda sampai tahun 1848, ketika dia mendapat teguran resmi dari pemerintah Belanda[2] karena mempublikasikan pandangannya yang kritis terhadap kolonialisme;[6] akibatnya ia terpaksa mengundurkan diri.[1]
Protes tahun 1848
suntingVan Hoëvell memainkan peran penting dalam demonstrasi singkat di Batavia yang dikenal dengan "Revolusi Batavia 1848". Terinspirasi oleh pemberontakan bulan Februari 1848 di Paris, warga Batavia mulai menentang pihak pemerintah;[7] salah satu keluhan mereka adalah sebuah dekrit tahun 1842 yang mendikte bahwa jabatan di eselon atas pemerintahan Belanda hanya bisa diduduki oleh mereka yang telah menerima sertifikat yang sesuai dari Akademi Kerajaan Belanda di Delft. Tindakan tersebut mendiskriminasikan "masyarakat kelahiran Belanda dan Kreol Belanda" yang tidak dapat atau tidak mau mengirim anak-anak mereka ke Belanda untuk menempuh pendidikan selama satu dekade. Langkah tersebut juga mendiskriminasi kelas yang disebut Indo-Eropa, yang akhirnya dilarang mendapatkan promosi jabatan di atas tingkat "pegawai sipil paling rendah".[8] Sebagai konsekuensi dari diskriminasi ini di kalangan penghalang rasial, demonstrasi bulan Mei 1848 mampu menarik sekelompok warga etnis campuran, yang diidentifikasi sebagai "'orang Eropa,' 'Kreol', dan 'orang kulit berwarna'" oleh pemerintah.[9]
Van Hoëvell muncul sebagai salah satu "penyelenggara utama" dalam demonstrasi tersebut[10] dan mengadakan sebuah pertemuan, dengan persetujuan resmi, untuk membahas "akses yang lebih baik ke pekerjaan untuk orang Belanda yang lahir di Hindia Belanda melalui penawaran pendidikan yang diperluas".[7] Sejak tanggal 17 Mei, van Hoëvell dan yang lainnya berkali-kali bertemu dengan Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk mendiskusikan jenis pertemuan apa yang akan diadakan dan tuntutan apa yang akan diajukan. Selama periode ini, van Hoëvell mampu memindahkan tempat pertemuan yang diusulkan dari kediaman pribadi ke aula utama dari gedung De Harmonie, gedung klub milik serikat warga Batavia, dan dirinya mengatur transportasi untuk siapa pun yang ingin datang, termasuk orang-orang dari kongregasinya sendiri.[11]
Para penyelenggara mendapat izin dari Rochussen untuk menggelar pertemuan karena mereka berpendapat bahwa keluhan mereka adalah masalah sosial, bukan "masalah negara," dan bahwa mereka bukanlah ancaman politik bagi pemerintah.[10] Namun, pada tanggal 20 Mei, van Hoëvell mencetak retorika anti-pemerintah yang sebelumnya diminta pemerintah agar tidak dimasukkan ke dalam jurnal yang dipublikasikannya. Di sisi lain, ada juga sinyal pada peristiwa publik lainnya yang menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk Belanda yang lahir di Hindia Belanda serta populasi Indo-Eropa yang besar, yang telah melakukan demonstrasi sendiri dan mengajukan petisi kepada Rochussen untuk menghentikan van Hoëvell. Dengan mempertimbangkan semua perkembangan ini, Rochussen menyimpulkan bahwa pertemuan di gedung De Harmonie dianggap subversif dan berbahaya bagi negara; ia diberitahukan bahwa angkatan bersenjata siap mengendalikan situasi jika perlu.[12] Pukul 6 sore tanggal 22 Mei, orang-orang berduyun-duyun ke gedung klub, dan pukul 7 malam situasi sudah penuh sesak. Van Hoëvell dengan cepat diangkat menjadi presiden dewan tersebut. Segera setelah itu, pertemuan tersebut menjadi tidak dapat diatur dan teriakan beberapa orang menyebabkan kerusuhan. Dalam suasana yang semakin kacau, para pemrotes mengusir van Hoëvell dari kursi kepresidenannya segera setelah ia diangkat untuk menduduki posisi tersebut, dan setelah itu dia dan yang lainnya meninggalkan gedung tersebut. Protes dengan cepat berakhir pada kegagalan.[13]
Penolakan istilah Toraja
suntingBugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[14], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.
Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[15] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[16]
Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[17]
Kembali ke Belanda: karier politik
suntingDi saat Rochussen senang karena ancamannya telah pergi, kembalinya van Hoëvell ke Belanda membuatnya bernasib lebih baik secara politik. Namanya dibersihkan ketika pemerintah membatalkan penerimaan pengunduran dirinya yang dilakukan secara terpaksa,[1] dan ia dibebaskan dari segala tuduhan dalam peristiwa bulan Mei 1848.[18] Penerbitan Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, yang diberhentikan sejak pengusirannya dari Batavia, dilanjutkan kembali pada tahun 1849,[19] dan sekarang di lingkungan yang tidak terlalu represif.[20] Dalam beberapa pamflet, ia menggunakan nama samaran Jeronymus.[a][21] Pada bulan September 1849, ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Belanda untuk Partai Liberal dan dirinya tetap menjadi anggota parlemen sampai tahun 1862. Ia adalah satu dari segelintir anggota parlemen Belanda yang sebelumnya pernah ke Hindia Belanda, dan sering kali mampu membahas tentang masalah kolonial di parlemen dengan fasih.[2] Ia menjadi "salah satu kritikus paling ganas" dari kebijakan Cultuurstelsel, sebuah sistem yang dikelola pemerintah (juga telah dikritik oleh W. Bosch dan yang lainnya) yang menuntut agar petani setempat menyisihkan sebagian besar lahan mereka untuk menanam tanaman bagi Belanda untuk diekspor. Van Hoëvell adalah pendukung sistem kepemilikan pribadi, dan berpendapat bahwa sistem tersebut, selain tidak bermoral, juga tidak efektif secara ekonomi.[22] Kritiknya terhadap praktik penjajahan Belanda juga tertuju ke Perusahaan Hindia Barat Belanda; ia adalah pendukung abolisionisme[2] pada saat penjajah Belanda memiliki puluhan ribu budak, terutama yang dipekerjakan di perkebunan di Suriname.
Di parlemen, ia melanjutkan apa yang menjadi misinya: untuk mendidik warga Belanda mengenai sifat kolonialisme Belanda.[6] Dalam pidatonya, ia sesekali menggunakan informasi rahasia yang dikirimkan kepadanya dari Hindia Belanda oleh temannya, Bosch.[23] Dengan keahlian hebat dan terkadang "kefasihannya yang mengganggu", dia mengkritik pemerintah Belanda karena menghasilkan jutaan uang dari koloni sambil melarang penduduk setempat mendapatkan "pendidikan, agama Kristen, dan berkat terhadap kemajuan".[24]
Pada tahun 1860, dia adalah salah satu politisi yang memaksa Perdana Menteri dan Menteri Urusan Kolonial Jan Jacob Rochussen, yang juga mantan Gubernur Jenderal, untuk mengundurkan diri dari posisinya, sebagian besar karena terungkapnya skandal korupsi di Hindia Belanda.[25] Pada tahun yang sama, ia mempromosikan buku Max Havelaar milik temannya, dan mengumumkan di parlemen bahwa buku tersebut telah mengirimkan kegegeran ke seluruh negeri.[26] Pada tanggal 1 Juli 1862, ia diangkat untuk menduduki posisi di Dewan Negara Belanda, tempat di mana ia bertugas sampai kematiannya[2] di Den Haag pada tanggal 10 Februari 1879.[2] Istrinya meninggal pada tanggal 9 Januari 1888.[4]
Warisan
suntingVan Hoëvell, yang dianggap "radikal" karena pendapatnya,[27] berdiri di samping Dirk van Hogendorp sebagai salah satu tokoh anti-kolonialis Belanda yang paling penting dan paling terkenal di abad kesembilan belas sebelum Multatuli—ia dianggap sebagai salah satu pendahulu Multatuli. Ia adalah orang yang penuh gairah, yang merasa tugasnya untuk memberi tahu warga Belanda tentang arogansi penguasa kolonial Belanda, korupsi yang meluas di antara kelas penguasa asli, dan pemberlakuan kerja yang melelahkan pada kaum tani setempat. Apalagi, menurut van Hoëvell, sistem kolonial melukai hubungan antar bangsa. Ini adalah tema yang juga dibahas oleh Multatuli di buku Max Havelaar-nya.[6] Upaya Van Hoëvell untuk menghapus perbudakan, terutama dalam buku tahun 1854 bertajuk Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet, dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan emansipasi budak-budak yang dimiliki Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1859 dan di Hindia Barat pada tahun 1863.[28] Buku ini termasuk dalam Kanon untuk Sastra Belanda.
Publikasi
sunting- Geschiedkundig overzicht van de beoefening van kunsten en wetenschappen in Nederlands-Indië ("Sejarah praktik seni dan sains di Hindia Belanda"). 1839.
- Episode uit de geschiedenis van Neerlands-Indië ("Episode dari sejarah Hindia Belanda"). 1840.
- Sjaïr Bidasari. Oorspronkelijk Maleisch gedicht met een vertaling en aanteekeningen ("Puisi asli Melayu dengan terjemahan dan catatan"). Batavia, 1844.
- Beschuldiging en veroordeling in Indië en rechtvaardiging in Nederland ("Tuduhan dan hukuman di Hindia Belanda dan pembenaran di Belanda"). 1850
- De drukpers en de Javanen ("Mesin cetak dan orang Jawa"). 1851.
- Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet ("Budak dan orang bebas di bawah hukum Belanda"). 1854.
- Reis over Java, Madura en Bali in het midden van 1847 ("Sebuah perjalanan melintasi Jawa, Madura, dan Bali pada pertengahan 1847"). 1850.
- Uit het Indische leven ("Dari kehidupan di Hindia"). 1860. Edisi kedua yang dicetak tahun 1865.
Lihat juga
suntingCatatan
sunting- ^ Juga dieja menjadi Jeronimus. "Dr. W.R. baron van Hoëvell".
Referensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b c Fasseur 1992, hlm. 107.
- ^ a b c d e f g h Parlementair.
- ^ a b Bie & Loosjes 1931, hlm. 99.
- ^ a b Bie & Loosjes 1931, hlm. 101.
- ^ Bie & Loosjes 1931, hlm. 99; Stoler 2010, hlm. 75.
- ^ a b c Taylor 2010, hlm. 152.
- ^ a b Goss 2011, hlm. 13.
- ^ Stoler 2010, hlm. 73-74.
- ^ Stoler 2010, hlm. 73.
- ^ a b Stoler 2010, hlm. 76.
- ^ Stoler 2010, hlm. 74-75.
- ^ Stoler 2010, hlm. 76-77.
- ^ Stoler 2010, hlm. 80-86.
- ^ KEDATUAN LUWU wilayahnya hanya sampai Morowali, kabupaten poso, sulawesi tengah. [1].
- ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [2], Diakses 30 Juni 2023.
- ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [3].
- ^ Aragon 2000, hlm. 2.
- ^ Bie & Loosjes 1931, hlm. 100.
- ^ Chandra & Vogelsang 1999, hlm. 889–890.
- ^ Fasseur 1992, hlm. 109.
- ^ Hesselink 2009, hlm. 314; Hesselink 2009, hlm. 371.
- ^ Bertrand 2007, hlm. 116–117.
- ^ Hesselink 2009, hlm. 80.
- ^ Fasseur 1992, hlm. 108.
- ^ Fasseur 1992, hlm. 226-228.
- ^ Laan 1952, hlm. 3157.
- ^ Veer 1958, hlm. 101.
- ^ Benjamins & Snelleman 1914, hlm. 364.
Sumber
sunting- Bertrand, Romain (2007). "La 'politique éthique' des Pays-Bas à Java (1901–1926)". Vingtième Siècle. Revue d'histoire. 93: 115–138. JSTOR 4619238. (Prancis)
- Blagden, Charles Otto (1903). "Further Notes on a Malayan Comparative Vocabulary". Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. Cambridge University Press: 167–179. JSTOR 25208482.
- Chandra, Siddharth; Vogelsang, Timothy J. (1999). "Change and Involution in Sugar Production in Cultivation-System Java, 1840–1870". The Journal of Economic History. 59 (4): 885–911.
- Fasseur, Cornelis (1992). Elson, Robert Edward, ed. The politics of colonial exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System. Studies on Southeast Asia (8). Ithaca: SEAP Publications. ISBN 978-0-87727-707-1.
- Goss, Andrew (2011). The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press. ISBN 978-0-299-24864-2.
- Laffan, Michael Francis (2011). The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past. Princeton: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-14530-3.
- Stoler, Ann Laura (2010). Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense. Princeton: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-14636-2.
- Taylor, Jean Gelman (2010). "Een gedeelde mentale wereld: Multatuli en Kartini". Dalam Everard, Myriam; Jansz, Ulla; Jansz, Ulrika. De minotaurus onzer zeden: Multatuli als heraut van het feminisme. Amsterdam: Amsterdam University Press. hlm. 147–166. ISBN 978-90-5260-376-6. (Belanda)
Daftar pustaka
sunting- Benjamins, Herman Daniël; Snelleman, Johannes François (1914). "Hoëvell (Wolter Robert baron van)". Encyclopaedie van Nederlandsch West-Indië. Den Haag: Martinus Nijhoff. hlm. 364. (Belanda)
- Bie, Jan Pieter de; Loosjes, Jakob (1931). "HOËVELL (Walther (Wolter of Wouter) Robert Baron van)". Biographisch woordenboek van protestantsche godgeleerden in Nederland. 4. Den Haag: Martinus Nijhoff. hlm. 99–102. (Belanda)
- Parlementair (2013). "Dr. W.R. baron van Hoëvell". Parlementair Documentatie Centrum, Universitas Leiden. Diakses tanggal 2 Desember 2011. (Belanda)
- Frederiks, J.G.; Branden, Frans Jozef Peter van den (1888). "Hoëvell (Wolter Robert Baron van)". Biographisch woordenboek der Noord- en Zuidnederlandsche letterkunde. Amsterdam: L.J. Veen. hlm. 355–356. (Belanda)
- Hesselink, Elisabeth Quirine (2009). Genezers op de koloniale markt: inheemse dokters en vroedvrouwen in Nederlandsch oost-Indie, 1850–1915. Amsterdam: Amsterdam University Press. ISBN 978-90-5629-563-9. (Belanda)
- Laan, K. ter (1952). "Hoëvell, W.R. baron van". Letterkundig woordenboek voor Noord en Zuid. Den Haag: G.B. van Goor Zonen. (Belanda)
- Veer, P. van 't (1958). "Een revolutiejaar, Indische stijl. Wolter Robert baron van Höevell 1812–1879". Geen blad voor de mond: Vijf radicalen uit de negentiende eeuw. Amsterdam: De Arbeiderspers. hlm. 101–144. (Belanda)
Pranala luar
sunting- W.R. van Hoëvell, di Digital Library for Dutch Literature
- Hoëvell, Wolter Robert baron van di Nieuw Nederlandsch biografisch woordenboek (1911)