Baku pukul manyapu
Baku pukul manyapu adalah tradisi atau atraksi budaya yang berasal dari dua negeri bertetangga di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon bagian utara, yakni Mamala dan Morella, yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Atraksi budaya ini berlangsung setiap tanggal 7 Syawal (dalam kalender Islam) dan telah berlangsung dari abad ke-17.[1]
Asal-usul
suntingBaku pukul manyapu menurut sejarahnya diciptakan oleh seorang tokoh Islam dari Maluku yang bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan atas keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibangun pada 7 Syawal, tepatnya setelah hari raya Idul Fitri.[2]
Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah perjuangan Kapitan Telukabessy dengan pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di Kerajaan Tanah Hitu.[3] Pasukan pimpinan Kapitan Telukabessy ini bertempur untuk mempertahankan Benteng Kapahaha dari serbuan VOC, meskipun pada akhirnya harus mengalami kekalahan dan Benteng Kapahaha berhasil ditaklukkan. Untuk menggambarkan kekalahan tersebut, pasukan Telukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk diri hingga berdarah.[2]
Pelaksanaan
suntingTradisi ini dipandang sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di negeri Morella dan Mamala. Baku pukul manyapu dilakukan oleh para pemuda yang dibagi dalam dua kelompok, di mana setiap kelompoknya berjumlah 20 orang. Kedua kelompok dengan seragam yang berbeda itu akan saling bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna hijau. Pesertanya juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah lidi dari pohon enau dengan panjang sekitar 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul dalam tradisi ini adalah dari dada hingga perut.[4]
Ketika atraksi dimulai, kedua kelompok akan saling berhadapan dengan memegang lidi enau di kedua tangan. Ketika suara peluit mulai ditiup sebagai tanda pertandingan dimulai, kemudian kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan lidi tersebut.[2] Dalam tradisi baku pukul manyapu, terdapat sebuah keunikan dimana pesertanya seakan-akan tidak merasa kesakitan walaupun tubuh mereka telah berdarah akibat dari sabetan lidi.[5]
Ketika atraksi selesai, para pemuda tersebut kemudian mengobati lukanya dengan menggunakan getah pohon jarak atau juga mengoleskan minyak nyualaing matetu yang dikenal masyarakat lokal ampuh untuk mengobati patah tulang dan luka memar.[6]
Tujuan wisata
suntingTradisi baku pukul manyapu merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu masyarakat dan wisatawan setiap tahunnya. Negeri Mamala dan Morella akan dipadati bahkan pada pagi hari hingga sore hari atraksi akan dimulai.[7] Dalam persiapan atraksi ini juga dapat dilihat proses pembuatan lidi enau dan juga pengolahan minyak kelapa untuk pengobatan selepas atraksi ini. Selain itu, tradisi ini juga diramaikan dengan permainan rebana, karnaval budaya, dan pertunjukan tari tradisional seperti tari putri, tari mahina, dan tari perang.[8]
Referensi
sunting- ^ (Indonesia) http://mamala-amalatu.blogspot.co.id/2015/08/selayang-pandang-sejarah-negeri-mamala.html
- ^ a b c (Indonesia) Baku Pukul Manyapu, "Katong Pung Adat"
- ^ (Indonesia) Foto-Foto Tradisi Pukul Manyapu Di Desa Mamala dan Morella
- ^ (Indonesia) Menghadiri Tradisi Pukul Manyapu Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine.
- ^ (Indonesia) Pukul Manyapu 2008
- ^ (Indonesia) Tradisi Baku Pukul Manyapu[pranala nonaktif permanen]
- ^ (Indonesia) Tradisi Pukul Manyapu
- ^ (Indonesia) Prosesi Pukul Manyapu