Baihajar Tualeka
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Agustus 2017. |
Baihajar Tualeka (lahir 4 Februari 1974) adalah pendiri Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (disingkat LAPPAN) yang bertujuan untuk memfasilitasi pendidikan dan diskusi antara umat Islam dan Kristiani di Ambon. Baihajar menamatkan pendidikan di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon.[1] Baihajar merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Baihajar menghabiskan masa kecilnya di Papua[2]
Aktivisme Sosial
suntingPada masa konflik antara Muslim dan Kristen di Maluku pada akhir tahun 1990-an, Baihajar berperan dalam menyiapkan bom molotov dan ketapel bagi kelompok Muslim. Pada saat itu umat Muslim dan umat Kristen sering kali bertengkar di jalan, melakukan arak-arakan dan saling melempar batu. Baihajar seperti orang Ambon lainnya, memandang bahwa konflik yang terjadi merupakan jalan suci membela agama. Rela mati sahid, percaya bahwa mati membela agama akan membuat seseorang langsung masuk surga. Akan tetapi pandangan Baihajar berubah saat ia melihat seorang lelaki dipukul sampai mati oleh umat dari agama lain. Pengalaman itu membuat Baihajar memikirkan ulang motivasinya untuk ambil bagian dalam konflik Ambon. Baihajar mempertanyakan apakah kekerasan sungguh menyelesaikan agama dan kenapa baik perempuan dan laki-laki harus membunuh satu sama lain atas nama agama[3]
Berdasarkan perenungan yang mendalam, Baihajar mengubah cara pandangnya terhadap konflik Ambon. Ia kemudian mendirikan Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (disingkat LAPPAN) di Ambon pada tahun 2002. Baihajar ingin mengubah sikap dan perilaku masyarakat Ambon yang memunculkan kekerasan. Baihajar berkeinginan untuk mengakhiri konflik Ambon, kemudian secara aktif menginisiasi berbagai usaha pasca konflik di Maluku.[3] Ia memfasilitasi pendidikan dan diskusi antara komunitas Islan dan Kristen hingga pelosok wilayah Ambon untuk mempromosikan perdamaian[4]
Penghargaan
sunting2013, Penghargaan Saparinah Sadli Award 2012[4] 2013,Penghargaan Indonesian Women of Change Award dari Pusat kebudayaan Amerika di Indonesia[4]