Melayu Tanjung

suku bangsa di Afrika Selatan
(Dialihkan dari Bahasa Melayu Tanjung)

Melayu Tanjung (bahasa Inggris: Cape Malay; bahasa Afrikaans: Kaapse Maleiers) adalah orang-orang keturunan penduduk Hindia Belanda yang tinggal di Kota Tanjung, Provinsi Tanjung Barat, Afrika Selatan. Kebanyakan orang Melayu Tanjung merupakan keturunan Indonesia dan secara historis, mereka adalah keturunan orang buangan dari zaman penjajahan Belanda.[3] Saat ini, terdapat lebih dari 300.000 orang Melayu Tanjung di Kota Tanjung.

Melayu Tanjung
Pengantin Melayu dan
pengiring pengantin di Afrika Selatan.
Jumlah populasi
300.000+
Daerah dengan populasi signifikan
 Afrika Selatan
Tanjung Barat, Gauteng
Bahasa
Sekarang: Afrikaan, Inggris Afrika
Sebelumnya: Melayu,[1] Jawa, Bugis, Belanda.[2]
Agama
Mayoritas: Islam Sunni
Minoritas: Islam Syiah
Kelompok etnik terkait
Suku Jawa, etnis Melayu, India Afrika, orang Bantu, bangsa Malagasi, Belanda Cape, orang Indo, bangsa Belanda, orang Tanjung, bangsa Bugis
Melayu Tanjung.

Sejarah

sunting

Perbudakan tumbuh subur di lepas pantai Afrika Barat dan Timur, sedangkan di Afrika Selatan baru ada sejak VOC datang dan mendirikan pemukiman Cape of Good Hope (Tanjung Harapan) pada tahun 1652. Ketika itu, Jan van Riebeeck datang ke Tanjung Harapan untuk mendirikan pos perdagangan dan benteng perbekalan untuk kapal dagang yang melintasi rute Eropa-Hindia Timur. Didirikan pula pemukiman Belanda untuk menghasilkan makanan dan pasokan-pasokan bagi kapal-kapal VOC. Oleh karena itu, budak dibutuhkan untuk bekerja di lahan-lahan pemukim Belanda[4].

Budaya

sunting

Kebudayaan Indonesia pun banyak yang mewarnai kebudayaan Coloured atau Melayu Cape. Buku "Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries" mencatat beberapa hal contohnya adalah tari Lingo ayoen, tari kusin, dan tari beras.

Bahkan, debus pun terbawa ke Cape Town namun, di Cape Town debus disebut "ratieb". Ini dimungkinkan dibawa oleh pengikut Syeikh Yusuf. Sebagai catatan, Syeikh Yusuf punya banyak pengikut dari Banten, tempat debus berkembang. Dia bahkan mengawini anak Ki Ageng Tirtayasa (raja Banten).

Kosakata bahasa Indonesia pun masih banyak dipakai orang Melayu Cape. Achmad Davids, dalam bukunya "Words The Cape Slaves Made" mencatat ada 40 kosakata Indonesia yang sering dipakai di Cape Town. Di antara kosakata itu adalah: taramakasie (terima kasih), katja (kaca), boeka (buka), toelis (tulis), batja (baca), kitab (kitab), soempah (sumpah), syambole (cambuk), manieng-al (meninggal), granaa (gerhana), maskawi (maskawin), agama (agama), ghoenthoem (guntur), gielap (kilat), kamar mandie (kamar mandi), dan sebagainya.

Beberapa kegiatan ritual dan tradisi keagamaan yang berasal dari tanah Melayu masih terus dipraktikkan seperti ratib (debus di Indonesia) dan beberapa ritual serta praktik agama lainnya yang banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penamaan ritual itu seperti puasa, iftar, sembahyang, bang (adhan), abdas (wudhu). Kata-kata bahasa Indonesia lain yang masuk dalam kosakata lokal tetapi tidak ada kaitannya dengan ritual antara lain jamban (wc), terima kasih, kuli, pisang, dan roti.

Pengaruh musik Indonesia pun juga kuat. Ghoema sebenarnya sejenis genderang yang berasal dari Indonesia. Musik ini dipakai untuk merayakan pembebasan budak pada 1883. Instrumen yang dipakai dalam musik ghoema, coen, atau klopse adalah campuran dari alat musik Melayu dan Afrika.

Adat Indonesia juga ikut berpengaruh. Contohnya "tjoekoer". Ini adat mencukur anak yang baru berumur sepekan. Sedikit rambutnya dicukur, seperti yang dilakukan sebagian orang Indonesia.

Rampie sny adalah kebiasaan Wanita berkumpul di masjid dan mengiris daun jeruk kecil-kecil sebagai pewangi untuk perayaan maulud. Ini sama dengan di indonesia yang mengiris daun pandan kecil-kecil. Karena di cape town tak ada pandan, gantinya daun jeruk.

Ada juga pengaruh masakan Indonesia. Bubur, misalnya, di Cape Town disebut "boeber". Sedangkan sago pudding mirip bubur sagu di Maluku. Hanya, di Cape Town, resepnya memakai air mawar, kapulaga, susu (pengganti santan), dan tidak memakai kenari. Pengaruh makanan lain adalah kolwadjib (waji), sambal (sambal), dan blatjang (belacan), dan sebagainya.

Referensi

sunting
  1. ^ sampai abad 19
  2. ^ Stell, Gerald (2007). "From Kitaab-Hollandsch to Kitaab-Afrikaans: The evolution of a non-white literary variety at the Cape (1856-1940)" (PDF). Stellenbosch Papers in Linguistics. Stellenbosch University. 37. doi:10.5774/37-0-16. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 May 2016. Diakses tanggal 24 April 2016. 
  3. ^ "Cape Malay". 4 August 2012. 
  4. ^ "The Cape Malay | South African History Online". www.sahistory.org.za. Diakses tanggal 2023-04-15. 

Pranala luar

sunting