Baburu babi
Baburu babi (bahasa Indonesia: berburu babi) atau babubru alek (berburu besar) adalah kegiatan berburu untuk menangkap babi dengan menggunakan anjing yang sudah dilatih berburu. Kegiatan ini biasanya ada tiap nagari di Minangkabau dan dapat diikuti oleh semua orang yang hobi berburu.
Praktik
suntingPesisir Selatan
suntingBaburu babi sering diadakan di Nagari Batu Hampa, Kabupaten Pesisir Selatan dan lebih dikenal sebagai baburu alek. Kegiatan sudah sering diadakan pada masa dahulunya sebagai bentukk penyaluran hobi dan membantu masyarakat peladang supaya tanaman yang ada diladangnya tidak diganggu oleh babi. Baburu alek dipimpin oleh ketua buru disebut dengan muncak buru. Muncak Buru adalah orang yang punya kepandaian dalam berburu. Baburu Alek diadakan pada hari Minggu yang pertama atau kedua setiap bulannya.[1]
Dalam kegiatan baburu alek diikuti orang yang hobi berburu sebanyak 100 hingga 150 orang lebih dan orang itu berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Alek berburu dimulai pada pukul 08.30 Wib hingga pukul 16.00 Wib. Sebelum dibawa ke lokasi berburu, anjing diberi babagai makanan yang bernutrisi yang banyak supaya ajing itu kuat badannya untuk berburu.
Sehari sebelum berburu, orang banyak yang ada disekitar kanpung dipanggil untuk datang ke lokasi berburu. Selain itu orang kampung dilarang untuk melepaskan hewan ternaknya diladang atau disekitar lokasi berburu. Maksudnya supaya hewan ternak tadi tidak dimakan oleh anjing yang sedang berburu. Untuk orang yang sedang berburu, boleh bebas memilih lokasi tempat berburunya sesuai denga tempat arah larinya babi.
Baburu alek beda dengan berburu salek, karena pada berburu alek itu anjing yang dibawa anjiang jantan yang sudah berumur 2,5 tahun sampai 3 tahun lebih. Masing-masing anjing diberi nama sesuai dengan bentuk dan warna bulunya seperti lupak, samuik, sikumbang, bacang merah, koreang, baliang murai, dan baliang merah.
Baburu Salek adakah sistem perburuan untuk menangkap babi atau ciliang (dalam istilah lokal) yang dilakukan oleh beberapa orang dengan menggunakan anjing yang telah dilatih untuk berburu menangkap, mencari dan memangsa babi yang hanya dilakukan pada hari rabu saja di kanagarian Sungai Lundang Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Berburu salek telah dilakukan oleh pemburu pada masa dahulu untuk mencegah hama babi atau ciliang yang mengganggu dan merusak tanaman masyarakat sekitar. Hari untuk berburu di tetapkan pada hari rabu karena hari rabu merupakan hari yang senggang bagi mereka yang hobi berburu dikanagarian Sungai Lundang dan tidak ada aktivitas pergi ke balai atau pasar tradisional.[2]
Lokasi yang dijadikan tempat berburu di tentukan oleh ketua buru atau muncak buru yang sebelumnya sudah mendapatkan informasi dari masyarakat sekitar dimana tanamanya dirusak oleh hama babi atau ciliang. Masyarakat yang berladang di daerah tersebut menanam berbagai tanaman ladang seperti gambir, coklat, dan padi. Melihat tanaman yang ada diladangnya dirusak oleh hama babi atau ciliang, para peladang tersebut berinisiatif untuk memanggil orang buru untuk mengusir, membasmi hama babi dari ladang para peladang tersebut. Waktu berburu salek yang lazim biasanya dimulai pukul 11.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.[2]
Sebelum memulai berburu salek, ketua buru terlebih dahulu akan melepaskan dua hingga empat ekor anjing sebagai pelacak dimana keberadaan babi atau ciliang yang hendak diburu tersbut. Setelah mendengar suara anjing pelacak maka ketua buru mulai memberikan aba-aba kepada para anggota buru untuk melepaskan anjingnya pertanda berburu salek sudah dimulai.[2]
Hasil dari kegiatan berburu salek ini tidak dapat dipastikan hasilnya atau berapa ekor babi yang akan di dapatkan, kadang-kadang dapat satu ekor atau 3 ekor namun ada juga tidak mendapat hasil buruan sedikitpun. Berburu salek ini beranggotakan 20 hingga 40 orang atau lebih dan masing-masing anggota buru ada yang memiliki dua hingga tiga ekor anjing. Hasil buruan pada berburu salek tidak untuk dijual melainkan diberikan kepada anjing sebagai makananya. Tetapi ada juga masyarakat lainnya yang tidak memiliki anjing melakukan penangkapan babi dengan menjerat babi dengan kawat yang diistilahkan dengan manjarek ciliang [2]
Referensi
sunting- ^ Hasanadi,, dkk (2013). Warisan Budaya Takbenda di Provinsi Sumatera Barat. Padang: Balai Pelestarian Nilai Budaya di Provinsi Sumatera Barat. hlm. 210. ISBN 978-602-8742-67-2.
- ^ a b c d Hasanadi, d.k.k (2013). Warisan Budaya Tak Benda Di Provinsi Sumatera Barat. Padang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang. hlm. 205–207. ISBN 978-602-8742-67-2.