Arisun Sutan Alamsyah
Artikel ini mungkin mengandung riset asli. |
Arisun Sutan Alamsyah (lahir di Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, 1915 – meninggal di Situjuah Limo Nagari, Lima Puluh Kota, 15 Januari 1949 pada umur 34 tahun) adalah seorang Bupati Militer dan pejuang kemerdekaan pada masa PDRI.
Arisun Sutan Alamsyah | |
---|---|
Bupati Lima Puluh Kota ke-4 | |
Masa jabatan 1948 – 15 Januari 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Gubernur | Mohammad Nasroen Sutan Mohammad Rasjid |
Pendahulu Alifuddin | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1915 Nagari Kubang Putiah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda |
Meninggal | 15 Januari 1949 (umur 34) Lurah Kincia, Situjuah Batua, Situjuah Limo Nagari, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat |
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Ros Sa’adah |
Anak | Yulida |
Orang tua | - Tamin Datuk Bandaro Sati - Harikam |
Kerabat | Assaat (paman) |
Pekerjaan | Bupati Militer |
Dikenal karena | Pejuang kemerdekaan |
Sunting kotak info • L • B |
Pada masa PDRI yang berlangsung dari tanggal 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 dan dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara, Arisun Sutan Alamsyah menjabat sebagai Bupati militer Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Tengah. Ia termasuk salah satu pimpinan pejuang yang tewas dalam Peristiwa Situjuh bersama beberapa pimpinan pejuang lainnya, diantaranya Chatib Sulaiman, Munir Latief dan lain-lain, beserta puluhan anggota pasukan Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK).
Pada tanggal 15 Januari 1949 Arisun Sutan Alamsyah bersama puluhan pejuang lainnya tewas setelah diberondong tembakan oleh pihak Belanda diwaktu subuh ketika hendak melaksanakan salat. Pada malam hari sebelumnya ia mengikuti rapat yang diadakan para pejuang untuk membahas strategi perjuangan menghadapi Agresi Militer Belanda II. Rapat pada malam tanggal 14 Januari 1949 itu atas instruksi Gubernur Militer Sumatra Tengah Sutan Mohammad Rasjid dan dipimpin oleh Chatib Sulaiman sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah.
Riwayat Hidup
suntingPendidikan
suntingArisun pernah bersekolah di Hollands Inlands School (HIS), dan Mee Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bukittinggi. Setelah itu dia melanjutkan pendidikan ke Algeene Middelbare School (AMS) di Jakarta. Setamat dari AMS ia berencana melanjutkan pendidikan ke Filipina, tapi rencananya tidak tercapai karena cedera parah yang dialaminya sewaktu bermain bola ketika ia sedang berada di kampung halamannya.
Karier
suntingSetelah gagal melanjutkan pendidikan ke Filipina ia lalu berkarier sebagai guru. Dia mengajar di Perguruan Jirek di Bukittingi. Kemudian pindah ke perguruan Training College di Payakumbuh.
Disamping menjadi guru, Arisun juga aktif dalam gerakan perjuangan bangsa melawan kolonialisme. Dia mendirikan Badan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau Geneskunding Transport Colone (GTC), suatu badan yang mirip dengan Palang Merah Indonesia (PMI) saat ini. Lalu pada zaman pendudukan Jepang ia aktif dalam Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat) Kabupaten 50 Kota. Selanjutnya ketika Gyu Gun didirikan di Payakumbuh, Arisun juga aktif dalam Gyu Gun "Ko En Bu".
Masa selanjutnya, setelah kemerdekaan ia diangkat menjadi Wedana pertama di Kewedanaan Suliki. Pada tahun 1948, dengan terjadinya Agresi Belanda II, PDRI berdiri bersamaan dengan terbentuknya Pemerintahan Militer di Sumatra Tengah. Pada masa itulah Arisun Sutan Alamsyah diangkat menjadi Bupati Militer Kabupaten 50 Kota. Itulah karier terakhir dari Arisun Sutan Alamsyah, sebelum ia tewas bersama puluhan pejuang lainnya diberondong peluru Belanda.
Kehidupan Pribadi
suntingKeluarga
suntingArisun Sutan Alamsyah lahir tahun 1915 di Nagari Kubang Putiah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia adalah putra dari Tamin Datuk Bandaro Sati, seorang Wali Nagari Banuhampu, Agam, sedangkan ibunya bernama Harikam. Arisun yang anak keempat dari lima bersaudara itu, juga merupakan kemenakan (keponakan) dari Assaat, Acting Presiden Republik Indonesia dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Pada tahun 1946, Arisun menikah dengan Ros Sa’adah yang berasal dari Ladang Laweh, Banuhampu, Agam. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Yulida.
Yulida menyusul ayahnya pada tahun 1969 karena tewas dalam kecelakaan pesawat Merpati yang jatuh kelaut sekitar kota Padang.