Bukaan (fotografi)

rasio antara jarak fokus dan diameter pupil
(Dialihkan dari Aperture)

Dalam optika, bukaan atau nilai bukaan (bahasa Inggris: f-number, focal ratio, relative aperture)[1] adalah bilangan yang menunjukkan korelasi jarak pumpun lensa terhadap tingkapan. Sebagai contoh, lensa dengan jarak pumpun 100mm, pada pengaturan bukaan 4 (nilai tingkapan f/4), mempunyai arti bahwa diafragma pada lensa tersebut sedang terbuka dengan diameter 25mm. Biasanya dilambangkan dengan huruf "f". Nilai bukaan umumnya merupakan urutan 1, 1.2, 1.4, 2, 2.8, 4, 5.6, 8, 11, 16, dan seterusnya. Karena bukaan adalah perbandingan antara jarak pumpun lensa dengan diameter dari diafragma yang terbuka saat itu, maka untuk satu nilai bukaan (misalnya 8) pada semua lensa (tidak tergantung dari jarak pumpun lensa tersebut), akan meneruskan intensitas cahaya yang sama.

Diagram penurunan nilai tingkapan, dan juga, penaikan nilai bukaan, pada jeda 1 stop.

Pada tahun 1867, Thomas Sutton dan George Dawson mendefinisikan nisbah tingkapan (apertal ratio) yang pada dasarnya setara dengan nilai bukaan (f-number):[2]

In every lens there is, corresponding to a given apertal ratio (that is, the ratio of the diameter of the stop to the focal length), a certain distance of a near object from it, between which and infinity all objects are in equally good focus. For instance, in a single view lens of 6 inch focus, with a 1/4 in. stop (apertal ratio one-twenty-fourth), all objects situated at distances lying between 20 feet from the lens and an infinite distance from it (a fixed star, for instance) are in equally good focus. Twenty feet is therefore called the 'focal range' of the lens when this stop is used. The focal range is consequently the distance of the nearest object, which will be in good focus when the ground glass is adjusted for an extremely distant object. In the same lens, the focal range will depend upon the size of the diaphragm used, while in different lenses having the same apertal ratio the focal ranges will be greater as the focal length of the lens is increased. The terms 'apertal ratio' and 'focal range' have not come into general use, but it is very desirable that they should, in order to prevent ambiguity and circumlocution when treating of the properties of photographic lenses.

Pada 1874, John Henry Dallmeyer menyebut nisbah sebagai intensity ratio sebuah lensa:[3]

The rapidity of a lens depends upon the relation or ratio of the aperture to the equivalent focus. To ascertain this, divide the equivalent focus by the diameter of the actual working aperture of the lens in question; and note down the quotient as the denominator with 1, or unity, for the numerator. Thus to find the ratio of a lens of 2 inches diameter and 6 inches focus, divide the focus by the aperture, or 6 divided by 2 equals 3; i.e., 1/3 is the intensity ratio.

Walaupun dia belum mengetahui teori Ernst Abbe mengenai stop dan pupil,[4] yang dipopulerkan oleh Siegfried Czapski pada tahun 1893,[5] Dallmeyer menyadari bahwa tingkap tidaklah sama dengan diameter sebuah aperture-stop.[3]

It must be observed, however, that in order to find the real intensity ratio, the diameter of the actual working aperture must be ascertained. This is easily accomplished in the case of single lenses, or for double combination lenses used with the full opening, these merely requiring the application of a pair of compasses or rule; but when double or triple-combination lenses are used, with stops inserted between the combinations, it is somewhat more troublesome; for it is obvious that in this case the diameter of the stop employed is not the measure of the actual pencil of light transmitted by the front combination. To ascertain this, focus for a distant object, remove the focusing screen and replace it by the collodion slide, having previously inserted a piece of cardboard in place of the prepared plate. Make a small round hole in the centre of the cardboard with a piercer, and now remove to a darkened room; apply a candle close to the hole, and observe the illuminated patch visible upon the front combination; the diameter of this circle, carefully measured, is the actual working aperture of the lens in question for the particular stop employed.

Anak dari John Henry Dallmeyer, Thomas Rudolphus Dallmeyer, seorang penemu lensa tele, mengikuti terminologi intensity ratio pada tahun 1899.[6]

Pengaruh bukaan

sunting

Semakin besar angka bukaan, berarti semakin kecil diameter lubang diafragma di bagian dalam lensa. Besarnya diameter terbukanya diafragma akan membuat cahaya yang masuk menjadi lebih banyak, sehingga pajanan cahaya bertambah dan akibatnya tingkat keterangan foto bertambah, demikian pula sebaliknya. Pengaruh lain dari bukaan adalah terjadinya perbedaan ruang ketajaman. Angka bukaan yang besar menyebabkan ruang ketajaman berkurang. Sebaliknya angka bukaan yang kecil akan menyebabkan ruang ketajaman bertambah.

Notasi

sunting

Pada fotografi, karena lensa fotografi tidak hanya terdiri dari sebuah lensa melainkan dari exit pupil, entrance pupil dan beberapa bilah lensa di antaranya, bukaan kemudian didefinisikan sebagai rasio antara panjang fokus lensa dan diameter entrance pupil[7] dengan persamaan:

 

dimana:

  • N adalah bukaan
  • f adalah panjang fokus lensa
  • D adalah diameter entrance pupil

Satu contoh, misalnya panjang fokus adalah 16x diameter pupil, maka nilai bukaan N=16, sedangkan nilai tingkap = f/16. Dengan bertambahnya panjang fokus lensa, nilai bukaan akan bertambah, karena sudut pandang entrance pupil yang mengecil dan menghasilkan proyeksi berupa lingkaran citra dengan diameter yang lebih kecil pula. Jika nilai bukaan tidak ditambahkan sebanding dengan panjang fokus lensa, maka diameter lingkaran citra yang terdifraksi dari tingkap yang diteruskan oleh exit pupil ke arah cermin refleks dan terpantul ke permukaan bidang fokal, akan membuat vignet. Pada desain lensa cepat (en:fast lens) nilai bukaan dapat dipertahankan kecil terhadap pertambahan panjang fokus karena terdapat mekanisme bilah lensa di antara entrance pupil dan exit pupil yang mempertahankan diameter lingkaran citra sebelum melalui tingkap. Dan karena letak tingkap di antara exit pupil dan jajaran lensa hingga entrance pupil, desain exit pupil akan tetap memproyeksikan lingkaran citra dengan ukuran yang sama ke bidang fokal pada seluruh variasi nilai bukaan yang ada.

Nilai   disebut rasio tingkap (en:aperture ratio).

Penggunaan notasi stop

sunting

Istilah stop, selain digunakan sebagai padanan kata untuk diafragma, menjelaskan satu teknik bracketing, juga digunakan untuk menjelaskan urutan geometrik nilai pajanan (bahasa Inggris: exposure value, EV) dengan jeda yang menunjukkan dua kali tingkat iluminasi bidang fokal. Misalnya iluminasi bidang fokal pada nilai EV=3 akan setara dengan 4x dengan pajanan yang terjadi pada nilai EV=1. Notasi untuk nilai pajanan yang digunakan dapat bermacam-macam, misalnya EV=3, atau 3EV, atau +3ev, atau -2stop, atau EV=3stop, tanpa satuan, dan sebagainya.

Menurut sistem APEX (Additive System of Photographic Exposure) dari ASA (American Standards Association), nilai pajanan EV adalah penjumlahan aritmatik dari f-stop atau aperture-stop dengan time-stop atau shutter-stop dengan persamaan:

 

Beberapa kalangan masih mengartikan rumus stop di atas sebagai penjumlahan aperture value dengan time value yang menghasilkan exposure value sedang aperture stop didefinisikan sebagai interval f/1.4, f/2.8, f/4, f/5.6 dst.

Pada artikel ini, aperture value diartikan sebagai nilai tingkap seperti f/2,8 atau f/3,5 atau f/8 dan seterusnya, dan aperture stop sebagai deret geometriknya. Rumus di atas diartikan sebagai penjumlahan exposure stop, karena nilai pajanan yang didapatkan bersifat relatif.

Relasi antara f-stop atau aperture-stop dengan nilai bukaan dirumuskan:

 

atau

 

dimana A adalah nilai bukaan dan Av adalah nilai f-stop atau aperture stop. Untuk setiap nilai Av dari nilai -2 hingga 14 didapat nilai bukaan sebesar:

Av -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Bukaan 0.5 0.7 1.0 1.4 2 2.8 4 5.6 8 11 16 22 32 45 64 90 128

Dengan perkembangan teknologi, jeda stop sekarang dapat diperkecil menjadi 1/2 stop atau 1/3 stop. Istilah 1/2ev atau 1/3ev mempunyai arti yang sama. Urutan nilai bukaan pada jeda 1/2 stop menjadi:

20/2×0.5, 21/2×0.5, 22/2×0.5, 23/2×0.5, 24/2×0.5 etc.
Bukaan 1.0 1.2 1.4 1.7 2 2.4 2.8 3.3 4 4.8 5.6 6.7 8 9.5 11 13 16 19 22

dan pada 1/3EV adalah:

20/3×0.5, 21/3×0.5, 22/3×0.5, 23/3×0.5, 24/3×0.5 etc.
Bukaan 1.0 1.1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.5 2.8 3.2 3.5 4 4.5 5.0 5.6 6.3 7.1 8 9 10 11 13 14 16 18 20 22

Pada lensa kamera sinematografi, terdapat istilah T-stop, kependekan dari Transmission stop',[8] yaitu ukuran digunakan untuk kalibrasi berdasarkan tingkat sinar luminasi yang melalui lensa. Kalibrasi ini diperlukan karena lensa kamera sinematografi juga terdiri dari banyak bilah lensa dan tiap bilah lensa dapat meredam dan memantulkan sejumlah intensitas cahaya. T-stop mirip dengan exposure value, luminasi yang terjadi di atas bidang fokal fotografi, namun pada T-stop tidak terdapat komponen shutter-stop, jadi pada praktiknya sebuah T-stop setara dengan f-stop sebuah lensa ideal dengan 100% transmisi luminasi.

Referensi

sunting
  1. ^ Smith, Warren Modern Lens Design 2005 McGraw-Hill
  2. ^ Thomas Sutton and George Dawson, A Dictionary of Photography, London: Sampson Low, Son & Marston, 1867, (p. 122).
  3. ^ a b John Henry Dallmeyer, Photographic Lenses: On Their Choice and Use—Special Edition Edited for American Photographers, pamphlet, 1874.
  4. ^ Theory of stops
  5. ^ Siegfried Czapski, Theorie der optischen Instrumente, nach Abbe, Breslau: Trewendt, 1893.
  6. ^ Thomas R. Dallmeyer, Telephotography: An elementary treatise on the construction and application of the telephotographic lens, London: Heinemann, 1899.
  7. ^ Jacobson, Ralph (et al.) (1988). The Manual of Photography (edisi ke-8th ed.). Focal Press. ISBN 0-240-51268-5.  p.49
  8. ^ Eastman Kodak, "H2: Kodak Motion Picture Camera Films" Diarsipkan 2002-10-02 di Wayback Machine., November 2000 revision. Retrieved 2 September 2007.

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting