Animandaya
Animandaya (Dewanagari: अणिमाण्डव्य; IAST: Aṇimāṇḍavya ), dalam mitologi Hindu, adalah resi yang mampu bertahan hidup setelah ditusuk dengan tombak. Dalam naskah Purana dan Mahabharata, tokoh ini dikenal sebagai Mandawya (Dewanagari: माण्डव्य; IAST: Māṇḍavya ) sebelum tubuhnya ditusuk, lalu disebut Animandawya setelah bertahan hidup dengan sisa tombak masih tertancap dalam tubuhnya. Sedangkan dalam lakon pewayangan Jawa yang mengadaptasi kisah Mahabharata, ia lebih dikenal sebagai Animandaya.[1]
माण्डव्य | |
---|---|
Tokoh Mahabharata | |
Nama | Mandawya |
Ejaan Dewanagari | माण्डव्य |
Ejaan IAST | Māṇḍavya |
Nama lain | Animandaya, Nimandaya |
Gelar | resi |
Kitab referensi | |
Kasta | brahmana |
Tokoh ini tidak terkait dengan plot utama Mahabharata, dan hanya diceritakan dalam kilas balik. Kisah Animandaya tercatat dalam Mahabharata kumpulan pertama (Adiparwa), bab Sambhawaparwa yang menceritakan kelahiran Dretarastra, Pandu, dan Widura. Kisah tersebut disajikan dalam bentuk cerita dalam cerita oleh narator bernama Wesampayana kepada Raja Janamejaya. Wesampayana menjelaskan bahwa Widura merupakan penitisan dewa keadilan yang dikutuk oleh resi bernama Animandaya. Karena penasaran akan penyebab sang dewa dikutuk, Janamejaya pun meminta agar Wesampayana menceritakan kejadiannya.[2]
Menurut kisah, Animandaya menganggap bahwa nasib buruk yang menimpa dirinya tidaklah adil, sehingga ia memprotes dan mengutuk Batara Darma (Dewa Yama atau dewa keadilan) yang bertugas menentukan kejadian baik dan buruk yang dialami semua makhluk di dunia. Akhirnya dewa kejujuran, keadilan, dan kebenaran itu harus menjalani hidup sebagai manusia biasa bernama Widura yang dilahirkan oleh wanita berdarah sudra.[3][4]
Hukuman penyulaan
suntingDalam Purana dan Adiparwa diceritakan bahwa Mandawya melakukan tapa brata yang khusyuk, diam dan bergeming. Pada suatu ketika, para pencuri menyelinap ke pertapaannya lalu menyembunyikan barang curian mereka di salah satu sudut pertapaan, kemudian bersembunyi di sudut yang lain. Beberapa saat kemudian datanglah para punggawa kerajaan yang mengejar para pencuri. Mereka menanyakan keberadaan para pencuri pada Mandawya yang sedang bertapa. Namun, karena selama bertapa tidak boleh berbicara, Mandawya tidak menjawab sepatah kata pun. Para prajurit lalu menggeledah pertapaan. Tidak lama kemudian, mereka menemukan para pencuri beserta barang buktinya. Karena curiga dan berpikir bahwa Mandawya berniat membantu para pencuri untuk bersembunyi, maka ia ikut ditangkap dan dibawa ke hadapan raja.
Sang raja bertanya soal keterlibatan Mandawya terkait para pencuri dan barang curian yang berada di pertapaannya, tetapi petapa itu malah membisu. Akibatnya, sang raja menganggapnya ikut bersalah lalu menjatuhkan hukuman penyulaan kepada Mandawya beserta para pencuri: tubuh mereka ditusuk dengan sula dari bagian anus, hingga tembus ke bagian ubun-ubun. Namun karena kesaktian yang dimilikinya, Mandawya tidak mati, hanya merasakan sakit saja.
Kutukan terhadap Matahari
suntingDalam kitab Garudapurana, Skandapurana, dan Markandeyapurana dikisahkan bahwa saat Mandawya sedang menjalani hukuman, ia disakiti oleh pasangan suami istri brahmana tanpa sengaja. Adapun ceritanya bermula saat seorang brahmana wanita bernama Sandili (dalam versi lain disebut Silawati[5] atau Sumati[6]) menggendong suaminya yang penyakitan bernama Kosika (dalam versi lain disebut Ugrasrawa[5]) dalam suatu perjalanan jauh. Karena hari sudah malam, mereka memutuskan untuk beristirahat dan bersandar pada tiang tempat Mandawya dihukum. Saat Sandili menurunkan suaminya dari gendongan, tak sengaja Kosika menyenggol Mandawya sehingga menambah rasa sakit yang diderita sang resi. Nyeri yang bertambah menyebabkan Mandawya murka, lalu mengutuk agar Kosika mati saat fajar tiba. Sandili membalasnya dengan mengutuk agar matahari tidak terbit lagi. Ucapan Sandili menjadi kenyataan sehingga dunia diliputi kegelapan selama enam bulan.[7]
Brahma sang dewa pencipta menjelaskan bahwa kesaktian Mandawya yang diperoleh melalui tapa brata telah dilampaui oleh kekuatan dan kesucian seorang wanita. Ia menyarankan agar Anasuya — wanita mulia yang menjadi istri Resi Atri — menenangkan perasaan Sandili. Anasuya pun meyakinkan Sandili bahwa suaminya tidak akan mati apabila fajar tiba, sehingga Sandili pun membiarkan matahari terbit.[8] Menurut kitab Skandapurana, para dewalah yang meyakinkan Sandili bahwa suaminya tidak akan mati apabila fajar tiba.[9]
Protes kepada dewa keadilan
suntingDalam sejumlah kitab Purana dikisahkan bahwa setelah melihat Mandawya tetap hidup walaupun sebatang tombak menyula sepanjang tubuhnya, sang raja menyesal dan meminta maaf atas kecerobohannya menjatuhkan hukuman. Sang resi memaafkannya. Akhirnya sang raja memerintahkan prajuritnya untuk mencabut sula dari tubuh sang resi, tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Mereka pun memotong sebagian sula tersebut, sehingga potongan yang masih tertancap di tubuh sang resi dibiarkan begitu saja. Sejak saat itu, sang resi mendapat julukan Aṇi-maṇḍawya, karena sebuah sula (aṇi) masih terdapat di tubuhnya.[10]
Dengan kesaktiannya, Animandaya dapat pergi ke Yamaloka, istana Dewa Yama (Batara Darma) yang bertugas mengadili roh makhluk hidup dan menentukan kejadian baik dan buruk yang menimpa seluruh makhluk di dunia. Sedangkan menurut versi pewayangan, Animandaya meninggal karena usia tua lalu jiwanya menemui Batara Darma/Dewa Yama.[3] Di Yamaloka, atma sang petapa menghadap Batara Darma. Ia bertanya mengapa ketika masih hidup, ia harus mengalami penyiksaan keji padahal selalu berbuat kebaikan. Batara Darma menjawab bahwa Animandaya memang banyak berbuat kebaikan dan tidak banyak berbuat kejahatan. Namun—Batara Darma mengingatkan bahwa ketika masih kecil—Animandaya pernah menyiksa seekor belalang dengan cara menusuk tubuh binatang itu hidup-hidup dengan rumput yang tajam,[10] sementara versi lain menyebutkan sebatang lidi.[3]
Menurut dewa keadilan, apa yang pernah dialami oleh Animandaya semasa hidupnya sudah sesuai dengan karma-nya. Jawaban Batara Darma itu tidak memuaskan Begawan Animandaya. Setahu petapa itu, aturan agama apa pun menyebutkan bahwa perbuatan anak-anak tidak dianggap sebagai perbuatan dosa, apa lagi bila anak tersebut belum paham mengenai soal salah dan benar. Mendengar bantahan Animandaya itu, Batara Darma terdiam. Ia tidak dapat menjawab. Karena merasa tidak puas, Animandaya lalu mengucapkan kutukan, bahwa Batara Darma haru menjalani hidup di dunia sebagai manusia biasa dan dilahirkan oleh seorang wanita dari kasta sudra. Kutukan itu ternyata terbukti. Batara Darma terpaksa turun ke dunia dan menitis kepada Widura, putra Byasa dengan seorang pelayan istana yang berdarah sudra.[10][11]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ "Begawan Animandaya". Adjisaka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-14. Diakses tanggal 14 April 2014.
- ^ Kisari Mohan Ganguli (1883–1896), "Shambava Parva. Section CVII", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Sacred-Text.com
- ^ a b c "Begawan Animandaya". Wayangpedia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-14. Diakses tanggal 14 April 2014.
- ^ Tim Penulis SENA WANGI (1999). Ensiklopedi Wayang Indonesia. Yogyakarta: SENA WANGI. hlm. 99,200.
- ^ a b Shubha Vilas (2021), Ramayana: The Game of Life - The Complete Collection, Mumbai: Jaico Publishing House, ISBN 9789391019648
- ^ Priya S. Tandon; Sanjay Tandon (2021), Sunrays for Friday: A Collection of Positive Thoughts and Affirmations, Prabhat Prakashan
- ^ G. V. Tagare (1950), "171 - Dialogue between Śāṇḍilī and the Sages", The Skanda Purana, Motilal Banarsidass
- ^ M.N. Dutt (1908), The Garuda Purana Vol. 2, New Delhi: Cosmo Publications
- ^ G. V. Tagare (1950), "172 - The Greatness of Māṇḍavya Tīrtha", The Skanda Purana, Motilal Banarsidass
- ^ a b c Kisari Mohan Ganguli (1883–1896), "Shambava Parva. Section CVIII", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Sacred-Text.com
- ^ "Begawan Animandaya". Hadisukirno. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-15. Diakses tanggal 14 April 2014.