Ancak-Ancak Alis
Ancak-Ancak Alis adalah sebuah permainan tradisional anak-anak Jawa sebagai sarana untuk menciptakan rasa riang gembira, selain itu juga sebagai sarana sosialisasi dan internalisasi sebuah pengetahuan penting dalam kehidupan dunia agraris, yaitu pengetahuan tentang cara dan proses budidaya penanaman padi.
Asal-usul
suntingPermainan ancak-ancak alis dikenal sejak tahun 1912. Hal itu terbukti bahwa sudah disebut dan dideskripsikan dalam naskah kuna Serat Javaansche Kinderspelen karya R. Soekardi alias Prawira Winarsa yang terbit pada tahun 1912. Permainan tradisional jawa ini diciptakan bukan sekedar sebagai pelipur lara, penghibur diri dan pengisi waktu luang, tetapi juga sebagai sarana dan wahana untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada anak. Hal itu sebagaimana tertuang dalam pembukaan Serat Rarya Saraya sebagai berikut: “Dolananing lare ingkang kenging kamanah prelu prelunipun suraos wau, ingkang wiwinih winuruk ing tiyang sepuh, dados sampun tetela wonten pikajenganipun ingkang dhateng wewarah” (permainan anak yang bisa dianggap penting artinya, adalah yang berasal dari ajaran orang tua. Jadi sudah jelas ada maksud yang ditujukan sebagai ajaran)". Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa permainan tradisional Jawa yang sekilas hanya merupakan sarana hiburan dan pengisi waktu senggang bagi anak-anak, sesungguhnya mengandung nilai ajaran yang sangat berguna untuk pengembangan diri anak. Namun, pada masa dewasa ini keberadaan permainan tradisional, sudah tersisih dan nyaris punah oleh desakan permainan anak modern yang serba canggih dan sangat menarik. Nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam permainan tradisional sudah tidak banyak dikenal oleh masyarakat, apalagi oleh generasi muda. Sehubungan dengan itu, dirasa perlu untuk mengkaji dan menggali nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam berbagai permainan tradisional. Selanjutnya disosialisasikan dan jika perlu diinternalisasikan agar diketahui dan dipahami oleh kalangan masyarakat umum, khususnya generasi penerus.[1]
Teknik
suntingPermainan ancak- ancak alis lebih termasuk dalam kategori permainan rekreatif. Hal itu tampak dalam teknik dan situasi bermain yang lebih menonjolkan aktivitas kebersamaan dalam suasana riang gembira, dan diiringi tembang. Tembang pengiring permainan ancak-ancak alis ada dua macam. Lagu I, untuk mengiringi permainan selama penggambaran proses penanaman padi, diawali saat mengolah lahan dengan kegiatan membajak, hingga padi menjelang dipanen. Lagu II, untuk mengiringi permainan dalam menggambarkan kegiatan petani ketika padi sudah siap dipanen. Sebelum padi dipanen, terlebih dahulu diselenggarakan acara selamatan yang dilengkapi dengan pemberian sesaji sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih karena jerih payahnya selama proses penanaman padi, sejak dari mengolah tanah hingga menanam dan memeliharanya, pada akhirnya membuahkan hasil. Untuk keperluan menyelenggarakan dan memberi sesaji, terlebih dahulu harus berbelanja ke pasar. Hal itu digambarkan dalam lagu ke dua.[1]
Lagu I: Ancak-ancak alis, si alis kebo janggitan, anak-anak kebo dhungkul, si dhungkul kapan gawene, tiga rendheng, cengenceng gogok beluk, unine pating cerepluk. ula sawa ula dumung gedhene saklumbung bandhung, sawahira lagi apa?[2]
Lagu II: Menyang pasar kadipaten leh-olehe jadah manten, menyang pasar Kadipala leh-olehe apa.[2]
Permainan ancak-ancak alis tidak membatasi jenis kelamin anak-anak yang akan melakukannya. Permainan ini bersifat universal, bisa dimainkan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan, bisa juga dilakukan oleh anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan sekaligus secara bersama-sama. Jumlah pemain dalam permainan ancak-ancak alis tidak dibatasi secara maksimal. Namun, secara minimal permainan ini harus dilakukan oleh minimal lima orang anak, dengan jumlah ideal pemain tidak kurang dari tujuh anak. Semakin banyak anak yang terlibat dalam permainan tersebut akan semakin ramai dan meriah.[3]
Cara bermain
suntingPermainan ancak-ancak alis, mula-mula anak-anak berkumpul untuk bermain bersama, memainkan permainan ancak-ancak alis. Antara anak-anak tersebut dipilih dua orang anak, untuk berperan menjadi lawang seketeng (pintu/ gapura belakang). Cara pemilihan dua orang anak tersebut bisa dilakukan secara aklamasi dengan keputusan bersama atau dilakukan secara berundi, hompimpa. Setelah itu, jika sudah mendapatkan dua anak yang terpilih untuk menjadi gapura pintu belakang, sebut A dan B, dua anak tersebut berdiri berhadapan kedua tangannya diacungkan ke atas, kemudian kedua telapak tangannya ditepuk-tepukkan, disentuhkan telapak tangan lawan. Telapak tangan kanan bertepuk dengan telapak tangan kiri lawan, dan sebaliknya. Sementara itu, anak-anak yang lain (sebut C dan kawan-kawan) diandaikan sebagai iring-iringan orang desa yang akan pergi ke sawah. Mereka berdiri beriringan, urut dari depan ke belakang, dengan tangan masing-masing memegangi pinggang atau punggung anak yang berada di depannya.[4] Sedangkan anak yang berada pada posisi paling depan, dengan posisi tangan berkacak pinggang. Selanjutnya A dan B mendendangkan tembang ancak-ancak alis bagian satu, sedangakan C dan kawan-kawan berjalan beriringan menerobos kurungan tangan A dan B. Setelah menerobos terowongan, C dan teman-temannya berbelok ke kanan, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kanan (A), kemudian masuk ke terowongan lagi lalu berbelok ke kiri, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kiri (B), terus masuk ke terowongan lagi, lalu berbelok ke kanan kembali mengitari tiang gapura sisi kanan untuk memasuki gapura lagi, begitu seterusnya. Perjalanan iringiringan C dan teman-temannya seolah-olah membentuk angka delapan, mengelilingi A dan B secara bergantian. Ketika syair tembang sampai pada akhir bait, sampai pada kalimat pertanyaan “sawahira lagi apa” (sawahnya sedang apa), perjalanan C dan teman-teman berhenti, kemudian terjadi dialog sebagai berikut:[5]
C dan teman-teman: Dhog...dhog...dhog...dhog, njaluk lawang (mengetuk....minta pintu)
A dan B: Arep menyang ngendi? (mau ke mana)
C dan teman-teman: Menyang sawah (ke sawah)
A dan B: Sawahe lagi apa (sawahnya sedang apa)
C dan teman-teman: Lagi ngluku (sedang membajak)
Selanjutnya A dan B kembali mendendangkan tembang ancak-ancak alis, sedangkan C dan teman-teman kembali beriring-iringan masuk ke terowongan tangan A dan B, berjalan berbelok ke kanan atau ke kiri, membentuk angka delapan seperti sebelumnya. Setelah lagu habis, C dan teman-teman kembali berhenti di depan pintu gapura (A dan B), selanjutnya kembali berdialog seperti sebelumnya. Bedanya, dalam akhir pertanyaan dari A dan B “sawahira lagi apa” (sawahmu sedang apa), dijawab oleh C dan teman-teman ”lagi ngluku” (sedang membajak); “lagi nggaru” (sedang menggaruk meratakan lahan”. Begitu seterusnya, setiap ditanya “sawahira lagi apa”, jawabannya diurutkan: “lagi nyebar” (sedang menebar benih); ”lagi ndhaut” (sedang mencabut bibit); “lagi tandur” (sedang tanam); “lagi nglilir” (sedang mulai hidup); “lagi ijo” (sedang menghijau); “lagi matun” (sedang menyiangi); “lagi meteng” (sedang bunting); “lagi nyanguki” (mulai muncul kuncup bunga); “lagi mecuti” (bakal bulis padi sudah melengkung tapi belum mekar); “lagi ambrol” (sedang berbunga merata); “lagi njebut” (sedang mekar bunga); “lagi mratak” (bakal buah sudah merata); “lagi temungkul” (bulir padi mulai merunduk); “lagi bangcuk” (padi menguning pada ujung bulir); “lagi kuning” (padi sudah menguning); “lagi tuwa” (padi sudah tua); “lagi nyajeni” (saat memberi sesaji). Ketika sampai pada jawaban “lagi nyajeni” (sedang memberi sesaji), C dan teman-teman pura-pura akan pergi ke pasar.[6]
Tembang yang didendangkan ganti lagu II. Pada saat itu A dan B membuat kesepakatan rahasia tentang pilihan oleh-oleh yang akan ditanyakan kepada C dan teman-teman, misalnya, A adalah gelang B adalah kalung, A buah B roti, A jadah B wajik, dan sebagainya, yang hanya diketahui oleh A dan B. Pada akhir tembang II, ketika sampai pada kalimat “leh-olehe apa” (buah tangannya apa), tangan A dan B saling berpegangan lalu diturunkan untuk mengurung siapa pun yang berada tepat di hadapannya. Anak yang terkurung tersebut kemudian dibisiki, disuruh memilih di antara dua jenis ‘buah tangan’ yang sudah ditetapkan oleh A dan B. Seandainya dua pilihan tersebut adalah “gelang apa kalung”, jika anaknya memilih ‘gelang’, selanjutnya ia menjadi pengikut A, disuruh berdiri di belakang A. Jika memilih ‘kalung’, ia menjadi pengikut B, disuruh berdiri di belakang B. Begitu seterusnya hingga rombongan petani tinggal satu orang. Setelah tembang habis, pada saat A dan B mengurung anak terakhir, terjadi dialog demikian: A dan B: Dikekuru dilelemu dicecenggring digegering. Dadi kidang lanang apa kidang wedok. Yen kidang lanang mlumpata, yen kidang wedok mbrobosa. (dibuat kurus dibuat gemuk dibuat sengsara dibuat sakit. Menjadi kijang jantan atau kijang betina. Kalau kijang jantan melompatlah, kalau kijang betina menyusuplah).[7]
Rujukan
sunting- ^ a b Suyami (30 Mei 2019). "Ancak-Ancak Alis: Ekspresi Budaya Agraris dalam Permainan Anak". Jantra. 14 (1): 15.
- ^ a b Sudrajat; Wulandari, Taat (2015). "Muatan Nilai-Nilai Karakter Melalui Permaina Tradisional di Paud Among Siwi, Panggungharjo, Sewon, Bantul". Jissindo. 1 (2): 62.
- ^ Chacha, Tata (25 Oktober 2018). "7 Olahraga dan Permainan Tradisional Jawa Tengah Serta Cara Bermainnya". Silontong. Diakses tanggal 20 Juni 2020.
- ^ Subhan (28 Maret 2016). "Mengenal Permainan Ancak-ancak Alis". M2Indonesia. Diakses tanggal 20 Juni 2020.
- ^ Prahastiwi, Novita (07 Oktober 2014). "Permainan Tradisional Jawa – Jogja". Permainan Tradisional Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-22. Diakses tanggal 20 Juni 2020.
- ^ Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (7 Maret 2014). "Dolanan Ancak-ancak Alis". Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 18 Juni 2020.
- ^ Haryanto, Dimas (tanpa tanggal). "Dolanan Anak Tradisional". Scribd. Diakses tanggal 20 Juni 2020.