Amenhotep
Amenhotep, putra Hapu, merupakan seorang arsitek, imam, ahli taurat, dan pejabat, yang memegang sejumlah kantor di bawah Amenhotep III.
Ia konon lahir pada akhir masa pemerintahan Thutmosis III, di kota Athribis (modern Banha di utara Kairo). Ayahandanya adalah Hapu, dan ibundanya Itu.[1] Ia adalah seorang imam dan seorang juru tulis dari orang-orang yang direkrut (pengorganisasian tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja untuk proyek-proyek Firaun, baik sipil maupun militer). Ia juga seorang arsitek dan mengawasi beberapa proyek pembangunan, di antaranya kuil makam Amenhotep III di Tebe, yang hanya tersisa dua patung saat ini, yang dikenal sebagai Colossi dari Memnon. Ia mungkin juga adalah arsitek Kuil Soleb di Nubia.[2] Menurut beberapa relief di makam Ramose, ia mungkin telah tiada pada tahun ke-31 Amenhotep III.
Setelah kematiannya, reputasinya tumbuh dan ia dipuja karena ajarannya dan sebagai seorang filsuf. Ia juga dipuja sebagai penyembuh dan akhirnya disembah sebagai dewa peyembuhan, seperti pendahulunya Imhotep. Ada beberapa patungnya yang selamat sebagai juru tulis, menggambarkannya sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang pria tua. Ia adalah manusia yang didewakan dan oleh karena itu hanya digambarkan dalam bentuk manusia. Kultusnya awalnya terbatas pada wilayah Thebes, dengan kuil makam yang diabngun baginya selama masa hidupnya di samping Amenhotep III. Ini jelas merupakan hak istimewa yang luar biasa, karena merupakan satu-satunya kuil pemujaan pribadi yang dibangun di antara monumen kerajaan di daerah tersebut. Ia terus disembah setidaknya selama tiga abad setelah kematiannya. Selama periode Kerajaan Ptolemaik penyembahannya menyaksikan kebangkitan yang menyebabkan kapel dipersembahkan kepadanya di Kuil Hathor, Deir el-Medina dan Djeser-Djeseru di Deir el-Bahari. Patung-patung itu didirikan kepadanya di Kuil Amun, Karnak dan ia dianggap sebagai perantara dewa Amun.[2]
Manetho memberikan sebuah catatan legendaris tentang bagaimana Amenhotep menasehati seorang raja bernama Amenophis, yang "berkeinginan untuk menjadi penonton para dewa, seperti juga Orus, salah satu pendahulunya di kerajaan itu, menginginkan hal yang sama di hadapannya". Amenophis ini biasa dikenali dengan Akhenaten, sedangkan Orus sesuai dengan ayahanda yang terakhir, Amenhotep III. Manetho menceritakan bahwa orang bijak tersebut menasehati bahwa raja harus "membersihkan seluruh negara orang kusta dan orang-orang yang tidak murni lainnya" dan bahwa Raja kemudian mengirim 80,000 penderita kusta ke pertambangan. Setelah ini orang bijak meramalkan bahwa orang kusta akan bersekutu dengan orang-orang yang datang untuk menolong mereka dan menundukkan Mesir. Ia memasukkan nubuatan itu ke dalam surat untuk Raja dan kemudian bunuh diri. Manetho mengaitkan peristiwa ini dengan Keluaran bangsa Israel dari Mesir namun Josephus menolak penafsiran tersebut dengan keras.[3]
Referensi
sunting- ^ Wildung, Dietrich (1977). Egyptian Saints: Deification in Pharaonic Egypt. New York University Press. hlm. 76. ISBN 0814791697.
- ^ a b Wilkinson, Richard H. (2003). The Complete Gods and Goddesses of Ancient Egypt. Thames and Hudson. hlm. 92. ISBN 978-0-500-05120-7.
- ^ Assmann J. (1997). Moses the Egyptian - The Memory of Egypt in Western Monotheism. Harvard University Press. Cambridge. p.30ff. ISBN 978-0674587397
Bacaan selanjutnya
sunting- J. H. Breasted, Ancient Records of Egypt, Part Two, 1906
- Warren R. Dawson, Bridle of Pegasus, 1930, pp. 55ff.
- Miriam Lichtheim, Ancient Egyptian Literature: A Book of Readings: The Late Period, 1980, University of California Press, Page 104
- Siegfried Morenz, Egyptian Religion, 1992 Cornell University Press
- Margaret Alice Murray, 1931, Egyptian Temples, 2002 Courier Dover Publications
- Boyo Ockinga, Amenophis, Son of Hapu - A Biographical Sketch, The Rundle Foundation for Egyptian Archaeology Newsletter No. 18, February 1986