Sultan Syarif Ali dari Siak
Sultan Syarif Ali bin Sayyid Usman Syahabuddin, atau Tengku Udo Said Ali ditabalkan menjadi Sultan Siak Sri Indrapura ke-7 pada tahun 1784, menggantikan Sultan Yahya dengan gelar : Sultan Assayyidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin. Beliau memerintah sampai tahun 1810.
Tengku Said Ali | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Yang Dipertuan Besar Siak Sultan Syarif Ali ibni Syekh Sayyid Usman Syahabuddin | |||||||||
Raja Kesultanan Siak Sri Inderapura ke-7 | |||||||||
Berkuasa | 1784 – 1810 | ||||||||
Pendahulu | Sultan Yahya | ||||||||
Penerus | Sultan Syarif Ibrahim | ||||||||
Kelahiran | Tengku Udo Said Ali | ||||||||
Pemakaman | |||||||||
Pasangan |
| ||||||||
Keturunan |
| ||||||||
| |||||||||
Ayah | Sayyid Usman Syahabuddin | ||||||||
Ibu | Tengku Embung Badariyah |
Sultan Syarif Ali merupakan sultan pertama di Kerajaan Siak Sri Indrapura yang memiliki darah Sayyid. Dan sejak itu pula keturunan Raja-Raja Siak, Pelalawan dan Yang Dipertuan Tebing Tinggi memakai gelar Tengku Said untuk lelakinya dan Tengku Syarifah untuk perempuannya.
Manakala seorang Tengku Said naik menjadi raja, mereka akan bergelar Sultan Syarif.
Biografi
suntingTengku Udo Said Ali merupakan putra dari Sayyid Usman Syahabuddin dengan Tengku Embung Badariyah binti Sultan Alamuddin Syah, yang berarti ia adalah cicit Raja Kecil, pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura, dan juga merupakan keturunan dari Raja-Raja Johor, Melaka, Singapura, Bentan, Malayupura dan Bukit Siguntang Sriwijaya dari pihak ibunya.
Dalam hikayat Melayu beliau dikenal sebagai sosok raja yang progresif, berjiwa sufi, jujur dan adil. Ia berhasil meningkatkan kemakmuran kerajaan secara umum dan ahli dalam menata organisasi kemiliteran. Organisasi, disiplin serta kemampuan di bidang militer terus-menerus disempurnakannya. Beberapa panglima terkenal di masanya adalah Panglima Besar Tengku Said Abdurrahman, adik beliau yang kelak menjadi Sultan Pelalawan I), Tengku Busu Said Ahmad dan Datuk Laksmana Raja Dilaut.[1]
Kemajuan Siak
suntingBermulanya dari dirinya, muncul dalam pemerintahan Siak dinasti Arab-Melayu yang memerintah dengan gelar Assayyidis Syarif. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Mempura ke seberang sungai yaitu Kota Tinggi yang kelak dikenal dengan kota Siak Sri Inderapura. Di ibukota baru ini dibangun benteng sebagai persiapan menghadapi segala kemungkinan dengan Belanda.[1]
Perluasan Wilayah
suntingSetelah merasa kuat, beliau berencana untuk memperluas daerah kekuasaan Siak. Kemudian terjadilah penaklukan terhadap wilayah-wilayah di pantai timur Sumatra yang dikenal dengan jajahan 12 meliputi: Kota Pinang, Pagarawan, Batubara, Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Langkat, Temiang, dan Deli. Selain itu beliau juga berhasil mengembalikan Kubu, Bangko dan Tanah Putih ke dalam kekuasaan Siak sebagaimana pada masa Raja Kecik. Kemudian persekutuan Tapung Kiri dan Tapung Kanan memilih berdamai dan mengakui kedaulatan Sultan Siak karena tidak mungkin bagi mereka untuk menandingi superioritas Siak.[1]
Di samping itu, Sultan Syarif Ali juga memimpin penyerangan ke Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat dan berhasil menaklukkan ibukotanya tetapi tidak diduduki untuk waktu yang lama. Sebagai bukti penaklukan tersebut, di Sambas sekarang masih ditemukan sebuah perkampungan yang bernama Kampung Siak. Selain itu, di Siak terdapat barang-barang yang dibawa dari Sambas seperti piring-piring, senjata dan lain-lain. Ditemukan juga bahwa ada kesamaan antaran Tenunan Siak dengan Sambas. Semenjak itu, Sambas membayar upeti tahunan kepada Siak berupa bunga perak.[1]
Sepulang dari Sambas, dikerahkanlah armada Siak untuk menyerang Kesultanan Pelalawan. Adiknya, Panglima Besar Sayid Abdurrahman dinobatkan sebagai sultannya disamping sebagai Raja Muda di Siak. Adiknya yang lain Sayyid Achmad diangkat sebagai panglima besar berkedudukan di Tebing Tinggi untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya, selanjutnya ia dikenal dengan Tengku Panglima Besar Tebing Tinggi.[1]
Akhir Hayat
suntingSultan Syarif Ali mengundurkan diri sebagai sultan pada tahun 1811, lalu secara sukarela menyerahkannya kepada putranya Tengku Ibrahim. Setelah mangkat beliau bergelar Marhum Kota Tinggi[1]
Rujukan
suntingDaftar kepustakaan
sunting- Donald James Goudie, Phillip Lee Thomas, Tenas Effendy, (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS.
- Christine E. Dobbin, (1983), Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0-7007-0155-9.
- Journal of Southeast Asian studies, Volume 17, McGraw-Hill Far Eastern Publishers, 1986.
Didahului oleh: Raja Yahya |
Sultan Siak Sri Inderapura 1791 - 1811 |
Diteruskan oleh: Raja Sayyid Ibrahim |
Bagian dari seri |
Islam |
---|