Alam Surambi Sungai Pagu

Alam Surambi Sungai Pagu adalah sebuah wilayah adat di kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat, Indonesia yang saat ini terdiri dari tiga kecamatan.

Sejarah

sunting

Alam Surambi Sungai Pagu yang dikenal dahulunya dengan Kerajaan Sungai Pagu merupakan Ikua Darek kapalo rantau Alam Minangkabau.

Beberapa peninggalan sejarah hingga kini masih dapat ditelusuri dan menarik untuk terus diteliti lebih jauh, seperti terdapatnya Istana Puti Sigintir, Istana Tuangku Rajo Malenggang dan Rajo Putiah di Pasir Talang, dan Istana Tuanku Rajo Bagindo di Balun. Peninggalan sejarah semasa awal masuk Islam di Minangkabau seperti Masjid Kurang Aso 60 di Pasir Talang dan Masjid Raya, serta surau Menara di Koto Baru. Dengan keunikan-keunikan tersebut KASSP sekarang akan dijadikan warisan budaya dunia.

Setelah Luhak nan Tigo terbentuk dan penduduk semakin berkembang, dibutuhkan lahan baru untuk pemukiman penduduk, tempat mendapatkan bahan makanan atau tempat di mana mereka bisa saling berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain. Dalam Tambo Alam Minangkabau, daerah yang baru terbentuk ini disebut rantau. Secara geografis rantau terletak di sekeliling Luhak nan Tigo. Secara topografis, daerah ini dapat dibedakan menjadi dua tipe utama, pertama rantau pedalaman yang juga terletak di dataran tinggi, umumnya sebelah selatan dan utara Luhak nan Tigo, kedua rantau dataran rendah yang terletak di kawasan pesisir (tepi pantai) dan di aliran beberapa buah sungai besar, umumnya terletak di sebelah barat dan timur Luhak nan Tigo.

Di samping dua daerah utama di atas, dalam Tambo Alam Minangkabau disebutkan, bahwa di beberapa tempat antara Luhak nan Tigo dan rantau terdapat sebuah kawasan yang disebut sebagai ikua darek kapalo rantau. Dua ikua darek kapalo rantau yang terletak di antara Luhak nan Tigo dengan rantau pesisir di sebelah barat adalah kawasan Maninjau dan sekitar Kayut Tanam. Sedangkan ikua darek kapalo rantau yang lain terletak di antara Luhak nan Tigo dengan rantau XII Koto yaitu kawasan Alam Surambi Sungai Pagu.

Menurut Gusti Asnan, sebutan Luhak nan Tuo terhadap Tanah Datar sesungguhnya tidak hanya memiliki makna sebagai daerah pertama yang ada dalam metamorfosis wilayah di Minangkabau, tetapi juga memiliki makna sosial-politik dalam hubungan antara daerah pusat dengan daerah pinggiran di Minangkabau. Sebagaimana telah disebutkan, Luhak Tanah Datar merupakan daerah di mana nenek moyang orang Minangkabau dan perkampungan pertama orang Minangkabau mulai ada. Dalam pengertian ini, Tanah Datar adalah pusat ingatan kolektif orang Minangkabau akan asal usul penduduk di daerah pinggiran, seperti Siak Sri Indrapura, Muara Takus, Kampar (provinsi riau), Pangkalan Jambu, Tungkal Ulu dan Jambi Timur (provinsi Jambi), Pasaman, Pariaman, Padang dan Pesisir Selatan (provinsi Sumatera Barat) dan mungkin juga penduduk Negeri Sembilan (Malaysia) hampir selalu mengaitkan asal usul nenek moyang mereka dengan Tanah Datar. Di samping itu, Tanah Datar di mana Pagaruyung berada adalah daerah yang dituakan dalam lapangan politik tradisional Minangkabau. Banyak tambo daerah pinggiran juga menginformasikan bagaimana penguasa atau raja yang telah ada di daerah mereka disahkan oleh Pagaruyung atau bagaimana seorang baru dikirim dari Pagaruyung sebagai wakil raja di sana.

Sebagai daerah yang dituakan, baik dalam perspektif perkembangan daerah, sosial atau politik, Tanah Datar pada umumnya dan Pagaruyung pada khususnya, bisa dikatakan sebagai pusat dari alam Minangkabau. Status sebagai pusat ala mini bisa muncul karena Tanah Datar atau Pagaruyung mempunyai kekuatan untuk memengaruhi dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya daerah pinggiran. Sebaliknya daerah pengaruh dari tanah Datar atau Pagaruyung karena mereka juga mengakui akan kelebihan dari kedua daerah itu.

Daerah pinggiran rantau dan ikua darek kapalo rantau juga menampilkan sebuah fenomena yang menarik. Sebagai daerah pinggiran, kedua daerah ini memang menjadi daerah pengaruh dari luhak nan tigo. Sistem dan corak sosial, politik, ekonomi dan budaya daerah pinggiran dalam beberapa hal ditentukan oleh daerah pusat, terutama oleh Pagaruyung dan Tanah Datar. Pengaruh daerah pusat itu, terutama pengaruh politik, bisa hadir karena adanya penyerahan dari daerah pinggiran, jadi bukan ditentukan oleh pusat. Dalam bidang politik, tidak pernah daerah pinggiran mendapat peraturan-peraturan pemerintahan yang didiktekan oleh pemerintah pusat di Pagaruyung. Fenomena unik lainnya dari daerah pinggiran adalah munculnya hubungan pusat-pinggiran yang baru di daerah pinggiran itu. Sumber-sumber sejarah tradisional menyebutkan, beberapa daerah ikua darek kapalo rantau, misalnya Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu telah menjadi pusat pula bagi daerah Pasir nan Gemilang atau Bandar Sepuluh, daerah rantau yang terdapat di rantau pesisir bagian selatan.

Hubungan Kerajaan Alam Minangkabau dengan Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu dan Bandar Sepuluh

sunting

KASSP merupakan sebuah dunia (alam) tersendiri yang menjadi bagian dari alam Minangkabau. Daerah ini memiliki daerah pusat (Pasir Talang) dan daerah pinggiran (Bandar Sepuluh), atau daerah inti dan daerah rantau tersendiri, namun berbeda dengan daerah pusat dalam konsep Alam Minangkabau, di mana daerah pusat muncul dengan sendirinya, maka daerah pusat di KASSP pada mulanya merupakan daerah pinggiran dari Alam Minangkabau. Menurut tambo alam Minangkabau, daerah pusat di KASSP ini dikenal dengan ikua lareh kaplo rantau. Posisi atau penamaan ini diperolehnya karena ia terletak di antara daerah terluar tanah darek dengan daerah rantau. Tepatnya ia berada di antara Surian dan rantau XII Koto (daerah Sangir).

Secara topografis, daerah KASSP ini berada di daerah pedalaman. Ia berada di sebuah kawasan yang memisahkan darek dengan rantau pedalaman Minangkabau di kawasan Selatan Luhak nan Tigo. Oleh karena itu, daerah ini terletak di salah satu rute migrasi yang dilalui penduduk yang berpindah dari Tanah Datar ke arah selatan. Vert pada akhir tahun 1867 menulis ada hubungan langsung berupa jalan dagang antara daerah ini dengan kawasan pesisir yang tercipta jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa (Gusti Asnan, 2005:6). Menurut cerita yang diterima secara turun temurun oleh masyarakat Sungai Pagu, bahwa inyiak Syamsuddin Sadewano orang yang berhak menjadi Raja di Sungai Pagu kurang mendapat sambutan oleh rivalnya, akhirnya melarikan diri ke Pesisir Selatan dan mendapat sambutan oleh masyarakat Ampiang Parak ( wilayah Bandar Sepuluh, Pesisir Selatan). Semenjak kepergian Rajo Alam Surambi Sungai Pagu ke Pesisir Selatan, di Sungai Pagu terjadi kekacauan, panen selalu gagal. Akhirnya diutus Datuk St. Mamat untuk menjemput Bagindo sultan Besar Tuanku Rajo Disambah ke Bandar Sepuluh. Setelah Rajo kembali ke KASSP dan Bandar sepuluh menjadi rantau oleh KASSP. Dengan demikian KASSP sudah menjadi pusat pula oleh wilayah Bandar Sepuluh. Hubungan antara Pagaruyung dengan KASSP cukup rumit. KASSP merupakan Ikua Darek Kapalo Rantau dari Minangkabau (Pagaruyung), orang KASSP menganggap mereka berasal dari Tanah Datar (Pagaruyung) dan rajanya mendapat legitimasi dari raja Pagaruyung. Sementara KASSP mempunyai rantau pula yakni Nagari Bandar Sepuluh. Dengan demikian KASSP sudah menjadi alam (pusat) pula dari Bandar Sepuluh.

Struktur suku basis raja dan penghulu

sunting

Dalam buku Alam Surambi Sungai Pagu dan buku harian Puti Lelo Jati Bundo Kanduang Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah dijelaskan bahwa yang memimpin KASSP ini ada empat orang raja yang mempunyai kewenangan yang berbeda, seperti:

  1. Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah (Rajo Daulat/Rajo Alam).
  2. Tuanku Rajo Bagindo ( Rajo adat, ekonomi dan menguasai Tambo Alam).
  3. Tuanku Rajo Malenggang (mengurus Bea Cukai/Pajak di Banda nan Sapuluah/ menjaga kaum Palimo).
  4. Tuanku Rajo Batuah (Rajo Ibadat, menjaga, mencari tambang sampai Sungai Abu dan Palangki).

Raja nan-4 berbasis pada suku induk nan-4 KASSP. Empat suku ini eksis justru memiliki kebesaran ampek balai. Meskipun suku menjadi basis raja nan-4 tetapi suku tidak sperti partai yang sewaktu suksesi pergantian raja naik nobat serta merta menjadi kendaraan politik atau sewaktu-waktu dapat dirental para calon raja menaiki tahta. Artinya raja nan-4 punya kedudukan kuat dengan basisnya itu. Kalaupun bisa dilemahkan peranannya oleh penghulu-penghulu KASSP pada suku basisnya dengan tidak memberi kebulatan (dukungan penuh), tetapi tidak bisa serta merta dijatuhkan. Justru secara sosio-historis struktur suku dan adatnya merupakan organisasi dan pranata yang dihormati di wilayah sub kultur KASSP.

Mudjadid (1999) mencatat sekarang KASSP, adatnya basandi syarak, dihitung struktur lembaga adatnya dipimpin oleh 117 penghulu yang terdistribusi pada kelembagaan empat kelompok suku yang secara kategoris sudah terurai dalam sumber lokal seperti tulisan Marsadis Dt. St. Mamamt (1980), Hasmurdi (2000), Mudjadid (1999), IKASUPA (2003) dll. Dari sumber ini ditambah lisan orang tua-tua dapat didiskripsikan 4 kelompok suku di KASSP ini sebagai berikut:

  1. Suku Malayu.

Suku Malayu ini berasal dari 4 ninik dari Ninik nan salapan. Juga 17 nini dari ninik 59 (kurang aso 60). Balahan (unit kelompok sosial) sukunya: (a) suku Malayu empat paruik, (b) suku bariang empat paruik, (c) suku koto kaciak empat paruik dan (d) suku durian 5 ruang. Suku malayu ini menjadi basis Raja Daaulat Yang dipertuan Bagindo Sutan Besar Tuangku Rajo Disambah. Kebesarannya (Hasmurdi, 2000)sebagai payung sakaki tombak sabatang, payung panji KASSP. Penghulu induknya 17 sultan dari nan 59 dengan puluhan datuk pecahannya yang mempunyai hak kebulatan untuk rajo nan-4.

  1. Suku Panai.

Suku Panai di antaranya turun dari 3 ibu dan nan-59. Dalam pengembangannya memiliki balahan suku (a) suku panai tanjung (b) suku panai tangah, (c) suku panai lundang. Pada suku ini berbasisi Tuanku Rajo Batuah, dengan kebesarannya “tabung baparuik dan mamagang cupak usali yaitu syarak basandi kitabullah”. Penghulu induknya 3 sultan dari nan-59 dengan belasan datuk pecahannya yang punya hak kebulatan untuk rajo nan-4.

  1. Suku Tigo Lareh bakapanjangan.

Di Bandar Sepuluh, suku ini juga disebut sebagai kelompok Suku Lareh Nan Tigo yang merupakan gabungan dari Suku Caniago, Sikumbang dan Jambak. Suku ini di antaranya turun dari 15 ibu dari ninik 59. Pecahan sukunya (a) suku Sikumbang 4 ibu, (b) suku Caniago nan-6, (c) suku Jambak nan-5, (d) suku Balai mansiang 4 piak dan (e) suku Koto 3 ibu. Marsadis Dt St. Mamat (1980) untuk dua suku terakhir disebut turunan inyiak Talawi dan Inyiak Perpatih nan Sabatang. Suku ini basis rajo: Tuanku Rajo Malenggang. Penghulu induknya 15 sultan dari ninik 59 dan puluhan datuk yang mempunyai hak kebulatan untuk raja nan-4.

  1. Suku Kampai.

Suku ini di antaranya turunyan dari 24 dari ninik 59. Pecahan sukunya: (a) suku bendang nan-4 (b) suku kampai tangah nyiur gading nan -8, (c) suku kampai air hangat nan-5, dan suku kampai sawah laweh nan-7. Suku kampai ini berbasisi rajo adat: Tuanku Rajo Bagindo dengan kebedaran “kain langko puris/ pemegangkitab tambo alam /pemegang adat jo limbago”. Sekarang ialah Bustam Dt. Sj Bagindo. Penghulu induknya 24 dari ninik 59 dengan puluhan datuk yang memiliki hak kebulatan untuk raja nan-4. Gelar Tuanku Rajo Bagindo, Rajo nan-4 di dalam Kelarasan Sungai Pagu (Kecamatan Sungai Pagu dan XII Koto, Keresidenan Padang Darat) pernah mendapat pengakuan kebesaran tuan Gubernur dan dihormati dengan dibebaskan dari kewajiban rodi (Kutipan SK. Tuan Gub. SB di Padang; n. 564 tanggal 17 September 1888).

Para penghulu-penghulu KASSP dalam sukunya mempunyai hak kebulatan untuk memperkuat posisi dan peranan rajo nan-4. Penghulu-penghulu dapat memperkuat kedudukan raja yang berbasisi sukunya maupun raja nan-4 sesuai dengan kapasitas dan fungsinya yakni ada sebagai (1) sandi, (2) urang gadang, (3) manti, (4) jorong, (5) ampang limo,(6) hulu balang, (7) juaro, (8) kadhi, (9) urang tuo, (10) kehakiman dan, (11) khalifah.