Al-Tibrizi
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Abu Zakariya Yahya ibnu Ali Hammad ibnu al Hasan atau lebih dikenal dengan sebutan al-Khatib al-Tibrizi adalah seorang ahli adab dan hadist yang menguasai bermacam ilmu pengetahuan, Ia dilahirkan di Kota Tabriz, Iran, pada 1030 Masehi. Nama panjangnya tak begitu populer, sebab ia kerap disapa berdasarkan nama kota kelahirannya.[1]
Awal kehidupan
suntingHanya sedikit sumber sejarah yang menyingkap riwayat masa kecilnya atau sejak kapan ia mulai menekuni ilmu. Namun, sejarah mencatat bahwa sosok-sosok ternama pernah menjadi mentornya. Ada Abu al-Ala al-Maari, yang menularkan ilmunya kepada al-Tibrizi dalam bidang sastra, filologi, dan adab.Sedangkan dari Sulaym al-Razi, seorang ulama kharismatik dari Tyre, al-Tibrizi banyak menyerap ilmu hadis dan Alquran. Martijn Theodoor Houtsma dalam First Encyclopedia of Islam, mencatat, saat masih belia al-Tibrizi melakukan pengembaraan ke beberapa kota besar di dunia Islam. Keingintahuan yang besar tentang ilmu mendorongnya melakukan itu.
Saat singgah di Damaskus, Suriah, ia belajar adab kepada seorang cendekiawan Muslim, al-Khatib al-Baghdadi. Di kesempatan lain ketika berada di Kairo, Mesir, ia menimba ilmu dari Ibnu Babashad. Ia pun menyempatkan untuk mengamalkan ilmunya dengan mengajar di sana selama satu tahun.Dari Kairo, al-Tibrizi pindah ke Baghdad, Irak. Kepakarannya di berbagai cabang ilmu telah mengesankan para penguasa kota 1001 malam itu. Hingga kemudian, ia diberi jabatan sebagai seorang hakim. Timbunan ilmu yang ada padanya, menjadikan al-Tibrizi sebagai seorang pakar adab gemilang.
Menjadi Guru di Dar al-Kutub
suntingIa memiliki reputasi. Kepakaran dalam bidang yang digelutinya, membuat al-Tibrizi sangat dikagumi. Sehingga, ia dipercaya memegang posisi penting di lembaga pendidikan terkemuka. Ia memperoleh pula mandat sebagai profesor adab serta pustakawan di Madrasah Nizamiyah yang juga dikenal dengan nama Dar al-Kutub.Saat itu, perpustakaan Madrasah Nizamiyah di Baghdad, cukup tersohor di dunia Islam. Inilah lembaga pendidikan adab yang terbaik pada zamannya. Pencapaian prestasi luar biasa ini tentu tak lepas dari kontribusi al-Tibrizi saat mengelola lembaga itu. Ia berhasil mengangkat peran perpustakaan sebagai pusat kajian adab.
Walaupun pada dasarnya, Nizamiyah merupakan sekolah hukum, tetapi fungsi lembaga pendidikan adab tadi tidaklah hilang. Awalnya, para siswa menginginkan lulus sebagai, ahli hukum karena mengharapkan menerima penghasilan lebih baik ketika berkiprah di pemerintahan.Akan tetapi, pada akhirnya justru banyak yang tertarik mempelajari sastra. Penyebabnya, yakni reputasi para profesor adab, termasuk al Tibrizi yang mengungguli koleganya dalam menggeluti bidang hukum. Oleh karenanya, kendati saat lulus mereka menyandang gelar sarjana hukum, para siswa itu biasanya juga mahir di bidang sastra.
Kajian Ilmu
suntingPara penguasa Islam telah lama menaruh perhatian besar pada perkembangan ilmu adab. Sebelumnya munculpakar-pakar lainnya di bidang itu seperti al-Akhfani yang meninggal dunia pada 1348, Dhiya al-Din ibnu al-Atsir, al-Maqarri, hingga Abu Bakr al Shuli yang disebut-sebut sebagai cendekiawan yang menguasai multidisi-plin ilmu.
Sosok al-Tibrizi, seperti diungkapkan oleh sejarawan Martijn Theodoor Houtsma, merupakan salah satu tokoh bidang adab paling berpengaruh pada abad ke-11. Karya-karya serta pemikirannya telah menginspirasi para ilmuwan bidang humaniora hingga berabad-abad selanjutnya.
Kapasitas intelektualitas al-Tibrizi dapat dibuktikan melalui sejumlah karya. Ia telah menulis karya yang mencakup bidang sastra, adab, leksiko-grafi, tata bahasa, dan sejumlah bidang lainnya. Dalam buku Cita Humanisme Islam, sejarawan George Abraham Maksidi melihat kebanyakan karya dari al-Tibrizi yakni berupa uraian.Buku berjudul Shark Diwan Ashar al-Hamasah, merupakan tanggapan al-Tibrizi terhadap karya Abu Tammam. Dia menuliskan tiga komentar, dua yang pertama adalah mengenai tiapbait yang ada. Sedangkan terakhir berupa kesimpulannya atas keseluruhan buku Abu Tammam.
Makdisi menilai, karya lain al-Tibrizi yang memiliki pengaruh besar adalah kitab al-Qufadhdhaliyyat. Ini adalah sebuah buku yang berisi uraian tentang kumpulan syair suku Arab yang dihimpun oleh al-Mufadhdhal al-Dzabbi. Di dalamnya, terdapat pula syair al-Mutannabbi dan Siqt al-Zand (Percikan Bunga Api) karya al-Maari.Tak ketinggalan, al-Tibrizi membahas tentang tujuh syair terkenal dari periode Arab klasik. Kini buku tersebut masih tersimpan di Bibliotheque Nationale di Paris. Tak hanya itu, ia menulis pula buku mengenai sintaksis Alquran. Karya berikutnya terkait dengan rima dan ritme puisi.
Sebagai ahli tata bahasa dan lik sikografi, al-Tibrizi menyumbangkan pemikiran penting dalam perkembangan kajian adab serta filologi. Terkait hal ini, ia menganut metode pemahaman atau dirayah, yang merujuk pada pilihan metode yang dianut gurunya, al-Maari.Kecenderungan metode ini adalah lebih mementingkan isi dan pemahaman terhadap hadis ketimbang bentuk dan periwayatan lisan. George Makdisi lebih jauh mengungkapkan bahwa metode seperti itu sesungguhnya telah menjadi salah satu gaya para ulama adab pada abad ke-11.
Metode pemahaman, ujar Makdisi, cenderung digunakan dengan alasan dianggap lebih mampu untuk menganalisis tema-tema dan ide yang terkandung dalam suatu wacana. Saat al-Tibrizi meminta otoritas periwayatan untuk buku-buku yang dipelajarinya dari al Maari, gurunya itu menyatakan yang diberikan kepadanya adalah metode pemahaman."Jika metode riwayat yang kamu inginkan, silakan belajar di tempat lain, tetapi jika kamu menginginkan metode dirayah, mari belajar denganku," tegas al-Maari kepada muridnya itu
Murid-Murid
suntingAl-Jawaliq, merupakan murid utama al-Tibrizi.Al-Jawaliq belajar di bawah bimbingan al-Tibrizi selama 17 tahun. Bahkan, al-Jawaliq menjadi penerusnya sebagai profesor adab dan pustakawan di Nizamiyah. Dalam bidang leksikografi, dia menulis uraian tentang adab al katib (etika sekretaris) karya Ibnu al-Qutaybah."
Ibnu Khaldun menyatakan kitab ini sebagai buku teks dan rujukan penting para sekretaris. Murid al-Tibrizi lainnya yang berkategori cendekia adalah Ibnu al-Syajari, yang mengajar adab selama puluhan tahun. Al-Syajan pernah memangku kedudukan sebagai gubernur daerah Karkh, sebelah barat Baghdad.Dia dikenal sebagai ahli bidang adab dan tata bahasa. Menurut George Makdisi, karya penting dan al-Syajari, antara lain, uraian tentang sintaksis dan morfologi dari karya Ibnu Jmni. Di samping itu, ada pula kamus homonim, sebuah antologi puisi, dan beberapa antologi syair Arab klasik.
Nama lain yang pernah mendapatkan sentuhan kepakaran al-Tibrizi dalam bidang adab adalah seorang ulama hadis dan sastrawan, Abu Fadhl Muhammad ibnu Nashir al-Salami serta Abu Thahir Muhammad ibnu Abdullah al-Sindji yang tinggal di Merv.[2]