Akal dan cinta
Akal dan cinta adalah topik filsafat yang dikembangkan oleh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Konsep tersebut dapat ditemukan dalam buku berjudul Kitab Cinta: Menyelami Bahasa Kasih Sang Pencipta yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bakrun Syafii dan diterbitkan tahun 2013. Al-Buthi menjelaskan bahwa akal merupakan alat utama untuk memahami berbagai fenomena yang dihadapi oleh manusia, yang terdapat dalam jiwa manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan. Melalui akal, manusia dapat merenungi berbagai masalah yang sedang dihadapinya dalam kehidupan. Lebih lanjut, Al-Buthi mengatakan bahwa perasaan biasanya mengawasi keputusan akal dalam fitrah kehidupan manusia. Hal inilah yang menyebabkan takdir ilahi menghendaki agar manusia diarahkan kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Sinergi antara akal dan cinta menuntun manusia menghasilkan perilaku maupun karya-karya terbaiknya. Energi cinta yang ada di dalam dirinya akan senantiasa memberikan aura positif bagi yang dicintai maupun yang mencintainya sekaligus.
Akal
suntingBanyak orang mengatakan cinta sering tidak masuk akal. Namun, sering pula mereka berujar bahwa akal kerap tidak berperasaan dan egois. Bagaimana keduanya bertemu dan saling melengkapi, tetapi juga berseberangan jalan?
Akal merupakan alat utama untuk memahami berbagai fenomena yang dihadapi oleh manusia, yang terdapat dalam jiwa manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan. Melalui akal, manusia dapat merenungi berbagai masalah yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, akal membuat manusia lebih bermutu dalam berkarya dan berbudaya untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku manusia dalam berbagai bentuknya di sisi lain juga berkaitan dengan akal dan perasaannya. Peran akal dalam masalah ini seperti halnya lampu depan mobil, yaitu sebatas menyingkap dan menunjukkan jalan. Adapun perasaan berperan seperti halnya bensin bagi mobil, yaitu mendorong untuk melahirkan perilaku. Manusia dapat menimbang, menganalisa, memahami, dan menentukan pilihan yang paling baik untuknya dengan akal. Sementara itu, manusia di sisi lain dapat menciptakan keindahan atau menggubah kesenian dengan fasilitas rasa. Manusia akhirnya bisa menjadi pencipta kebenaran, keindahan, kesucian, dan keadilan dengan mengembangkan nikmat rasa, bukan sekadar menjadi penuntut kebenaran dan keadilan.
Kata 'aql dalam bahasa Arab berarti "kecerdasan", lawan dari "kebodohan" – kekuatan manusia yang membedakannya dengan hewan dan tumbuhan. 'Aql juga berarti mengikat, maksudnya membatasi dan memikirkan masalah yang dihadapi manusia untuk mengetahui bentuk kata benda yang harus dikerjakan dan dijauhi. Pepatah Melayu yang tepat mengenai hal ini adalah “mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya”. Jika tali dipakai untuk mengikat unta agar tidak lari, manusia mengikat dengan akal agar tidak lepas mengikuti hawa nafsu semata. Kata 'aql di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan dalam bentuk isim (kata benda). Kata ini berbentuk fi’il (aktif),yaitu al-aqaluh (seayat), ta’qilûn (24 ayat), na’qilu (seayat), ya'qiluha (seayat), dan ya’qilun (22 ayat) yang artinya "paham" dan "mengerti".[1]
Sebelum Islam datang di jazirah Arab, kata "akal" digunakan untuk merujuk arti practical intelligence (kecerdasan praktis) – kecakapan memecah masalah dalam psikologi modern. Selanjutnya, perkembangan maknanya berubah, salah satunya dikarenakan pengaruh filsafat Yunani Kuno dalam perkembangan pemikiran Islam. Makna 'aql serupa dengan kata – dalam bahasa Yunani Kuno – nous, yaitu daya pikir dalam jiwa manusia. Beberapa filsuf yang merumuskan pengertian kata tersebut adalah Ibnu Khaldun dan Ibrahim Mustafah. Khaldun berpendapat bahwa kata 'aql adalah timbangan cermat yang hasilnya pasti dan dapat dipercaya, sedangkan Ibrahim dalam al-Mu’jam al-Wasith memberikan penjelasan bahwa akal adalah sesuatu yang dapat dibedakan antara yang indah dan buruk, orang baik dan jahat, hak dan batil.[1]
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut (dalam arti bahasa), dapat diperoleh suatu gambaran bahwa akal mengandung arti memahami, mengingat, dan merenungkan, walaupun berbeda lafalnya.[2] Hal tersebut merupakan daya yang terdapat dalam diri manusia, yang dapat menghasilkan sesuatu dalam bentuk kreasi. Rasa takut, hormat, kagum, dan ketergantungan dalam diri manusia akan mudah dikontrol jika manusia mampu memanfaatkan akal dan pikiran yang diberikan oleh Tuhan.[1]
Nikmat rasa jika berkembang juga akan menjadikan manusia mampu appreciate (menghargai) keseimbangan dan keharmonisan, bahkan meningkatkan watak manusia yang mengembangkannya (baca: mensyukurinya) menjadi manusia pengasih dan penyayang.[2] Selain itu, manusia juga dapat senantiasa terikat kepada kebenaran, keseimbangan, keserasian, dan keadilan.[3] Keterikatan ini dapat sedemikian kuat, sehingga manusia siap untuk berkorban dan mempertahankannya. Inilah yang menjadi landasan dari iman, serta penyebab utama tumbuhnya watak rindu kepada al-haq (kebenaran mutlak).[1]
Sinergi akal dan cinta
suntingMenurut Al-Buthi, perasaan biasanya mengawasi keputusan akal dalam fitrah kehidupan manusia. Hal inilah yang menyebabkan takdir ilahi menghendaki agar manusia diarahkan kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan, seperti menikah, mendidik anak, makan dan minum, serta menjaga hak milik dengan segenap rasa cinta, sehingga tidak ada kebencian dalam melaksanakan fungsi tersebut. Dengan demikian, terjalinlah sinergi antara keinginan dan kewajiban tanpa diperlukan bimbingan atau aturan perundang-undangan.[1]
Sinergi antara akal dan cinta inilah yang merupakan "persenggamaan spiritual" – dalam bahasa Al-Buthi – yang menuntun manusia menghasilkan perilaku maupun karya-karya terbaiknya. Energi cinta yang ada dalam dirinya akan senantiasa memberikan aura positif bagi yang dicintai mapun yang mencintainya sekaligus. Simbiosis mutualisme (hubungan timbal-balik dan saling memengaruhi) ini juga terjalin antara manusia dengan Tuhan. Mansur Al-Hallaj dalam hal ini menerangkan adanya hubungan timbal balik antara cinta Tuhan dengan cinta makhluk-Nya melalui term ru’yah (penglihatan) dan sama’ (pendengaran). Cinta Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya bermuara kepada penglihatan terhadap mereka di dalam dirinya sendiri. Dia melihat mereka melalui kanzan makhfiyan (perbendaharaan yang tersembunyi), sehingga Dia ingin dikenal oleh ciptaan-Nya. Adapun cinta makhluk terhadap Tuhan berasal dari pendengaran firman “jadilah”, yang kemudian menjadikan mereka terwujud.[1]
Lebih lanjut, Al-Hallaj di sisi lain mengatakan, “Sebagaimana cinta manusia kepada-Nya, asalnya adalah pendengaran, bukan penglihatan. Dia dalam firman-Nya kepada kita, sedangkan kita berada dalam subtansi awan "jadilah”. Awan yang dimaksud oleh Al-Hallaj dalam hal ini berasal dari nafas-Nya, sedangkan bentuk-bentuk yang disebut dengan kosmos berasal dari firman-Nya "jadilah" – karenanya manusia adalah firman-Nya yang tidak tertulis. Ketika manusia mendengar firman-Nya, sementara mereka berada dalam substansi awan, mereka tidak bisa menarik diri dari eksistensi. Manusia menjadi bentuk-bentuk yang berada di dalam substansi awan. Melalui pengejawantahan manusia di dalam awan, Dia memberi manusia wujud awan. Sesuatu yang mewujud berarti telah memperoleh wujud. Inilah asal dari cinta manusia kepada “Tuhan”.[1]
Karakter cinta biasanya selalu egois dan berorientasi diri, tetapi ini tergantung diri yang dimaksud. Jika perasaan cinta yang ada dalam diri seseorang ditujukan untuk Tuhan, sebetulnya dia mencintai Tuhan itu adalah demi kegembiraan dan kebahagiaan yang dirasakannya sendiri.[2] Demikian juga jika cintanya untuk sesorang, cinta tersebut adalah demi kegembiraan dan kebahagiaannya sendiri. Namun demikian, hal seperti ini bukanlah suatu kesalahan karena cinta alamiah semacam ini sepenuhnya pembawaan manusiawi.[1]
Dengan demikian, Al-Buthi menjelaskan kembali bahwa akal dan cinta senantiasa harus tetap dijaga "bersenggama" karena hal tersebut teramat penting dalam ranah kehidupan. Dia bahkan menandaskan bahwa iman bermuara dari akal itu pula. Menurutnya, iman adalah keyakinan terhadap hakikat keberadaan Tuhan, sedangkan amal saleh adalah perilaku yang lahir dari hakikat iman. Peran cinta dalam kehidupan manusia itu ada kalanya mewujudkan keimanan dalam perilaku sehari-hari (amal saleh). Amal saleh inilah yang membedakannya dengan manusia lainnya sebagai orang yang bertakwa, bukan karena agamanya.[1]
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ a b c d e f g h i Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 85–90. ISBN 978-602-0265-30-8.
- ^ a b c Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 32–34. ISBN 978-979-9075-69-7.
- ^ Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 390–392. ISBN 978-979-9483-87-4.