Aji Saka

Cerita permulaan peradaban Jawa

Aji Saka adalah legenda Jawa yang mengisahkan tentang kedatangan peradaban ke tanah Jawa, dibawa oleh seorang raja bernama Aji Saka. Kisah ini juga menceritakan mengenai mitos asal usul Aksara Jawa.[1]

Asal mula aji saka

sunting

Disebutkan A

Ringkasan

sunting

Membawa peradaban ke Jawa

sunting

Segera setelah pulau Jawa dipakukan ke tempatnya, pulau ini menjadi dapat dihuni. Akan tetapi bangsa pertama yang menghuni pulau ini adalah bangsa denawa (raksasa) yang biadab, penindas, dan gemar memangsa manusia. Kerajaan yang pertama berdiri di pulau ini adalah Medang Kamulan, dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa yang lalim yang punya kebiasaan memakan manusia dan rakyatnya.

Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bijaksana bernama Aji Saka yang berniat melawan kelaliman Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Suatu hari menjelang keberangkatannya ia memberi amanat kepada kedua abdinya yang bernama Dora dan Sembodo, bahwa ia akan berangkat ke Jawa. Ia berpesan bahwa saat ia pergi mereka berdua harus menjaga pusaka milik Aji Saka. Tidak ada seorangpun yang boleh mengambil pusaka itu selain Aji Saka sendiri. Setelah tiba di Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman tempat ibu kota Kerajaan Medang Kamulan. Ia kemudian menantang Dewata Cengkar bertarung. Setelah pertarungan yang sengit, Aji Saka akhirnya berhasil mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut Selatan (Samudra Hindia). Akan tetapi Dewata Cengkar belum mati, ia berubah wujud menjadi Bajul Putih (Buaya Putih). Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja Medang Kamulan.

Kisah ular raksasa

sunting

Sementara itu seorang perempuan tua di desa Dadapan, menemukan sebutir telur. Ia meletakkan telur itu di lumbung padi. Setelah beberapa waktu telur itu hilang dan sebagai gantinya terdapat seekor ular besar di dalam lumbung itu. Orang-orang desa berusaha membunuh ular itu, akan tetapi secara ajaib ular itu dapat berbicara: "Aku anak dari Aji Saka, bawalah aku kepadanya!" Maka diantarkanlah ia ke istana. Aji Saka mau mengakui ular itu sebagai putranya dengan syarat bahwa ular itu dapat mengalahkan dan membunuh Bajul Putih di Laut Selatan. Ular itu menyanggupi, setelah berkelahi dengan sangat sengit dengan kedua pihak memperlihatkan kekuatan yang luar biasa, ular itu akhirnya dapat membunuh Bajul Putih.

Sesuai janjinya ular itu diangkat anak oleh Aji Saka dan diberi nama Jaka Linglung (anak lelaki yang bodoh). Di istana Jaka Linglung dengan rakus memangsa semua hewan peliharaan istana. Sebagai hukumannya sang raja mengusir dia ke hutan Pesanga. Ia diikat erat hingga tak dapat bergerak, lalu Aji Saka bersabda bahwa ia hanya boleh memakan benda apa saja yang masuk ke mulutnya.

Suatu hari ada sembilan orang bocah lelaki bermain di hutan. Tiba-tiba turun hujan, mereka pun berlarian mencari tempat berteduh. Untungnya mereka menemukan sebuah gua. Hanya delapan anak yang masuk berteduh ke gua itu. Seorang anak yang menderita penyakit kulit dilarang ikut masuk ke dalam gua. Tiba-tiba gua runtuh dan menutup pintu keluarnya. Delapan orang bocah itu hilang terkurung di gua. Sesungguhnya gua itu adalah mulut Jaka Linglung.

Asal mula aksara Jawa

sunting

Sementara setelah Aji Saka memerintah di Medang Kamulan, Aji Saka mengirim utusan pulang ke rumahnya di Bumi Majeti untuk mengabarkan kepada abdinya yang setia Dora and Sembodo, untuk mengantarkan pusakanya ke Jawa. Utusan itu bertemu Dora dan mengabarkan pesan Aji Saka. Maka Dora pun mendatangi Sembodo untuk memberitahukan perintah Aji Saka. Sembodo menolak memberikan pusaka itu karena ia ingat pesan Aji Saka: tidak ada seorangpun kecuali Aji Saka sendiri yang boleh mengambil pusaka itu. Dora dan Sembodo saling mencurigai bahwa masing-masing pihak ingin mencuri pusaka tersebut. Akhirnya mereka bertarung, dan karena kedigjayaan keduanya sama maka mereka sama-sama mati. Aji Saka heran mengapa pusaka itu setelah sekian lama belum datang juga, maka ia pun pulang ke Bumi Majeti. Aji saka terkejut menemukan mayat kedua abdi setianya dan akhirnya menyadari kesalahpahaman antara keduanya berujung kepada tragedi ini. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya maka Aji Saka menciptakan sebuah puisi yang jika dibaca menjadi Aksara Jawa hanacaraka. Susunan alfabet aksara Jawa menjadi puisi sekaligus pangram sempurna, yang diterjemahkan sebagai berikut.[2]:

Hana caraka Ada dua utusan
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).

secara rinci:

hana / ana = ada
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti 'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya

Aji Saka menurut Kitab Pewayangan

sunting

Aji Saka keturunan Dewa

sunting

Dalam cerita pewayangan, berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa versi Ronggowarsito maupun versi daerah Ngasinan, Aji Saka juga dikenal dengan Batara Aji Saka, Jaka Sengkala, Empu Sengkala, dan Prabu Wisaka. Ia merupakan anak dari Batara Anggajali dan cucu dari Batara Ramayadi. Ayah dan kakeknya adalah Dewa Pembuat Pusaka Kadewatan untuk Para Dewa yang dipimpin oleh Batara Guru. Batara Anggajali menikah dengan seorang Putri bernama Dewi Saka dari kerajaan Najran di Tanah Hindustan. Kerajaan Najran dipimpin oleh Prabu Sakil yang pernah diselamatkan oleh Batara Anggajali saat kapalnya tenggelam di samudra. Sebelum kelahiran Aji Saka, Ayahnya dipanggil oleh Batara Guru untuk kembali membuat pusaka kahyangan. Sampai usia dewasa Aji Saka tidak pernah bertemu dengan Ayahnya. Setelah meminta ijin kakek dan ibunya, Aji Saka pergi mencari ayahnya. Sesuai petunjuk kakeknya Ia menemukan Ayahnya sedang mengambang di atas samudra sambil membuat senjata menggunakan tangannya. Setelah memperkenalkan diri, Batara Anggajali pun langsung mengakui putranya tersebut. Aji Saka yang kagum dengan kesaktian Ayahnya, memohon agar menjadi muridnya. Namun Sang Ayah menolak dan memberitahu kalau Batara Ramayadi yang juga kakek Aji Saka jauh lebih sakti. Setelah mendapat petunjuk ke arah mana Aji Saka dapat menemui kakeknya. Aji Saka dapat menemukan Batara Ramayadi sedang duduk mengambang di udara sedang membuat pusaka kahyangan hanya dengan melihat saja. Aji Saka memperkenalkan diri dan memohon kepada Sang Kakek agar dijadikan murid. Batara Ramayadi menolaknya dan mengatakan kalau Batara Guru jauh lebih sakti dari dirinya, namun Sang Kakek mengatakan kalau Batara Guru adalah Raja Para Dewa di Kahyangan tentu tidak akan menerima Aji Saka sebagai muridnya. Sang Kakek lalu menasihati agar ia berguru kepada putra Batara Guru yang paling sakti yaitu Batara Wisnu. Namun, saat itu Batara Wisnu sedang tidak berada di Kahyangan melainkan sedang berada di Tanah Israil. Setelah berpamitan dan mendapat petunjuk kakeknya, pergilah Aji Saka menemui Batara Wisnu. Disana Batara Wisnu sedang bertukar ilmu dengan Pendeta Usmanaji, yang merupakan Pendeta Keagamaan Bangsa Israil. Setelah Aji Saka memperkenalkan diri dan menyatakan ingin berguru kepada Batara Wisnu. Batara Wisnu lalu mengajari berbagai macam ilmu kesaktian dan kebijaksanaan. Sementara dari Pendeta Usmanaji, Aji Saka belajar tentang ilmu kebatinan dan kerohanian. Setelah Batara Wisnu kembali ke Kahyangan, Aji Saka menjadi pengembara di Tanah Israil.

Aji Saka mengisi Tanah Jawa dengan manusia

sunting

Dalam pengembaraannya Aji Saka berhasil mendapatkan Tirtamarta Kamandalu yaitu air keabadian yang juga dimiliki oleh Para Dewa di Kahyangan. Yang mampu membuatnya menjadi makhluk yang tak pernah menua. Ia mengembara selama beratus-ratus tahun memperdalam ilmu kesaktian dan kebatinannya. Dikabarkan jika Aji Saka dapat terbang dan berjalan di atas samudra. Aji Saka sampai ke Tanah Jawa dan menjadi seorang pertapa dengan nama Empu Sengkala. Karna Tanah Jawa waktu itu hanya dihuni oleh makhluk halus, Empu Sengkala mengajari ilmu penanggalan kepada bangsa jin di tanah jawa. Dan menciptakan lima hari sebagai penghitung penanggalan di jawa, yang sekarang terkenal dengan nama Pasaran. Dalam pertapaannya, Empu Sengkala mendapat sasmita untuk mengisi Tanah Jawa dengan manusia. Sebelum kedatangan Empu Sengkala ke Tanah Jawa, Bangsa Israil yang waktu itu sedang dijajah oleh Bangsa Romawi pernah mengirim sekitar 20.000 Bangsa Romawi untuk mengisi Tanah Jawa dengan manusia. Namun, karna perbedaan iklim dan kondisi alam serta gangguan makhluk halus membuat Bangsa Romawi yang berada di Tanah Jawa banyak yang sakit lalu kemudian mati. Hanya dalam beberapa tahun saja, penghuni manusia di Tanah Jawa tidak sampai 200 orang, kemudian sisanya kembali lagi ke Romawi dan mengosongkan Tanah Jawa kembali. Belajar dari pengalaman Bangsa Romawi itu, Empu Sengkala memasangi tumbal lima penjuru di Tanah Jawa guna mengurangi keangkerannya agar bisa dihuni dengan nyaman oleh Bangsa Manusia. Setelah tumbal terpasang, Empu Sengkala pergi ke Tanah Hindustan dengan tujuan mengirim Orang Hindustan untuk mengisi Pulau Jawa. Sesampainya di Tanah Hindustan, Empu Sengkala sampai di Kerajaan Surati lalu menghadap ke Raja disana guna menyampaikan maksudnya. Ternyata Kerajaan Surati dipimpin oleh Prabu Iwasaka yang merupakan penjelmaan dari Batara Anggajali, Ayah Empu Sengkala. Kemudian Empu Sengkala diangkat menjadi Putra Mahkota dengan nama Raden Aji Saka. Lalu dengan bantuan Prabu Iwasaka, Raden Aji Saka berhasil mengumpulkan orang-orang hindustan yang tidak memiliki rumah, para pendeta, dan masyarakat miskin untuk dikirimkan agar bisa mengisi Tanah Jawa dengan penduduk manusia. Tak sedikit juga rakyat dari golongan mampu yang mendaftarkan diri ikut dalam rombongan itu. Aji Saka memilih 10 pemuda terbaik untuk dijadikan pemimpin rombongan di Tanah Jawa kelak. Aji Saka mengajari ilmu kehidupan, ilmu kebatinan, ilmu pengobatan, dan juga tata cara pemerintahan. Tidak kurang dari 10.000 orang berhasil mendarat dengan aman di Tanah Jawa. Setelah membagi menjadi 10 kelompok dan menyebarkannya ke penjuru Tanah Jawa. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin yang sudah diberi ilmu pengetahuan oleh Aji Saka. Hingga akhirnya, dalam beberapa tahun saja mereka sudah beranak-pinak dan berkembang mengisi Tanah Jawa dengan penduduk dari Bangsa Manusia.

Aji Saka menjadi Prabu Wisaka dan menciptakan Kalender Saka

sunting

Setelah berhasil mengisi Tanah Jawa, Aji Saka pergi ke tanah sebelah timur dari Tanah Israil, yaitu Tanah milik Bangsa Ngarbi (Sekarang Tanah Arab). Disana Ia menjadi seorang penasihat pemimpin dari Bangsa Ngarbi. Setelah puluhan tahun berada di Tanah Ngarbi, Aji Saka kembali ke tanah jawa untuk melihat perkembangan penduduk manusia disana. Sesampainya di Tanah Jawa, Aji Saka merasa senang karna penduduk Tanah Jawa telah berkembang begitu pesat, namun mereka kembali menjadi tidak beradab dan bertingkah seperti hewan. Tanpa aturan dan norma. Hal itu karna tidak adanya pemimpin yang bisa memimpin dan menunjukan adab dan ilmu kehidupan. Akhirnya Aji Saka mendirikan Kerajaan Medang Kamulan disana dan menjadi Raja dengan nama Prabu Wisaka. Prabu Wisaka mengajari ilmu tata kehidupan dan adab dalam bermasyarakat kepada rakyatnya. Prabu Wisaka juga kembali memperbaiki penanggalannya,. Ia menambahkan 7 hari lain disamping 5 hari pasaran yang ia ciptakan sebelumnya. Sehingga dalam sehari terdapat dua hitungan penanggalan, dan selalu berulang selama 35 hari dan dikenal dengan nama selapan. Ia juga menghitung peredaran bulan terhadap bumi dan menamai penanggalannya dengan Candra Sengkala. Lalu Prabu Wisaka juga menghitung penanggalan berdasarkan pergerakan matahari dilihat dari bumi, dan menamai penanggalannya ini dengan Surya Sengkala. Lalu ia menggabungan perhitungan penanggalan candra sengkala, surya sengkala, dan juga perhitungan pekan, pasaran, dan selapanan. Penanggalan yang diciptakan oleh Prabu Wisaka selanjutnya dikenal dengan nama Kalender Saka. Prabu Wisaka menikah dan memiliki beberapa anak. Lalu memberikan tahta kerajaan ke anaknya. Ia kembali memakai nama Aji Saka dan kembali mengembara. Hingga akhirnya Ia diangkat menjadi keluarga Dewa yang dipimpin oleh Batara Guru dan bergelar Batara Aji Saka.

Aji Saka dalam Serat Dharmagandhul

sunting

Dalam serat Dharmagandhul yang diciptakan oleh Ki Kalam Wadi, Aji Saka diceritakan sebagai tokoh yang berasal dari Tanah Ngarbi yang pernah menghilangkan beberapa sumber air di Tanah Jawa.

Analisis

sunting
Patung-patung pendekar perunggu, Jawa, sekitar tahun 500 SM–300 M.

Meskipun Aji Saka dikatakan sebagai pembawa peradaban di Jawa, kisah Aji saka (78 masehi) mendapatkan beberapa sanggahan dan bantahan dari sumber-sumber sejarah lainnya. Ramayana karya Valmiki , yang dibuat sekitar 500 SM, mencatat Jawa sudah memiliki organisasi pemerintahan kerajaan jauh sebelum kisah itu:

"Yawadwipa dihiasi tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya akan tambang emas, dan disitu terdapat Gunung Cicira (dingin) yang menyentuh langit dengan puncaknya."[3](hlm.6)

Menurut catatan China, kerajaan Jawa didirikan pada 65 SM, atau 143 tahun sebelum kisah Aji Saka dimulai.[4](hlm.55-56)

Kisah Saka atau Aji Saka merupakan kisah Jawa Baru. Kisah ini belum ditemukan relevansinya dalam teks Jawa Kuno. Kisah ini menceritakan peristiwa di kerajaan Medang Kamulan di Jawa pada masa lalu. Pada saat itu, Raja Medang Kamulan Prabu Dewata Cengkar digantikan oleh Aji Saka. Kisah ini dianggap sebagai kiasan masuknya bangsa India ke Jawa. Merujuk pada informasi dinasti Liang, kerajaan Jawa terbelah menjadi dua: Kerajaan prapenerapan Hinduisme dan kerajaan setelah menerapkan tradisi Hindu yang dimulai tahun 78 masehi.[5](hlm.5 dan 7)

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Javanese Characters and Aji Saka". Joglosemar. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-28. Diakses tanggal 29 March 2012. 
  2. ^ Soemarmo, Marmo. "Javanese Script." Ohio Working Papers in Linguistics and Language Teaching 14.Winter (1995): 69-103.
  3. ^ Sastropajitno, Warsito (1958). Rekonstruksi Sedjarah Indonesia. Zaman Hindu, Yavadvipa, Srivijaya, Sailendra. Yogyakarta: PT Pertjetakan Republik Indonesia. 
  4. ^ W.P Groeneveldt (1880). Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources. Batavia.
  5. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 

Pranala luar

sunting