Agnes Kim Hyo-ju
Agnes Kim Hyo-ju (1816-1839) adalah seorang martir Katolik Korea. Sebagai adik dari Kolumba Kim Hyo-im (1814-1839) yang lahir pada tahun 1814, ia lahir dua tahun kemudian di keluarga pagan di Bamseom, yang berarti pulau kastanya, di tepian sungai Han. Pada asalnya keluarga mereka bukan Katolik, namun ibunya mengawali ketertarikan terhadap iman dan berangsur-angsur semakin dekat dengan iman, namun ayah mereka bukan seorang beriman. Kenyataannya, ayah mereka bahkan tidak mau mendengar tentang Gereja disebutkan di dalam rumahnya dan dengan ketat melarangnya.
Setelah kematian ayahnya, ibunya menjadi seorang Katolik yang saleh bersama dengan enam orang anaknya: Antonius, Benedikta, Kolumba Kim Hyo-im, Agnes Kim Hyo-ju, Fransiskus, dan Klara. Tak lama setelah mereka dibaptis, Kolumba Hyo-im dan Agnes Hyo-ju bersama dengan adik perempuannya yaitu Klara, mereka berjanji untuk mempersembahkan hidup mereka kepada Allah sebagai seorang perawan. Ibu mereka berpikir bahwa mereka seharusnya menikah, namun mereka tidak mengubah pikiran mereka dan kemudian mereka menata rambutnya dengan konde untuk menyatakan bahwa mereka adalah wanita yang sudah menikah. Mereka pergi untuk tinggal bersama dengan kakak laki-lakinya yaitu Antonius yang tinggal di Yongmori, di dekat Seoul. Mereka mengabdikan dirinya dalam kehidupan spiritual dengan berdoa, berpuasa dua kali seminggu, membaca buku keagamaan, berdoa rosario dan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan. Keluarga mereka adalah keluarga yang berkecukupan namun tidak tertarik akan kekayaan duniawi. Dengan temperamen mereka yang lembut dan penuh kasih sayang dan hal ini tercermin dalam hidup mereka.
Semua orang Katolik di sekitarnya memuji amal kasih dan teladan baik mereka, dan juga sangat menghormati mereka. Ibunya meninggal di Yongmori. Karena ibunya itu seorang Katolik yang setia, Pastor Chastan secara khusus mendatangi dia untuk memberikan ritual terakhir (doa dan sakramen-sakramen yang diberikan sebelum seorang Katolik meninggal, seperti Komuni Suci, Pengakuan Dosa, dan Pengurapan Orang Sakit, namun sakramen Pengurapan Orang Sakit itu sendiri bukan ritual terakhir). Sejak saat itu, mereka tidak pernah meninggalkan Yongmori.
Pada tahun 1839, penganiayaan mulai menyebar dan umat Katolik ditangkap di mana-mana. Namun ketiga saudara itu tidak takut dan berdoa setiap hari bagi mereka yang menderita di penjara. Pada tanggal 3 Mei, seorang pria bernama Kim Sa-mun yang tinggal di desa yang sama melaporkan Antonius kepada jaksa sebagai seorang kaya yang merupakan umat beriman, dan pria itu menggambarkan bagaimana cara untuk menemukan rumahnya. Polisi yang panik mencari umat Katolik di wilayah itu, menuju Yongmori tanpa menunda-nunda lagi. Kebetulan saat itu, Antonius berada di luar kota untuk melakukan bisnisnya serta berlatih keahlian memanahnya. Setelah mendengar berita tentang kedatangan polisi, istri Antonius yaitu Lusia Kim melarikan diri bersama dengan Benedikta dan Klara, dan Kolumba memanjat tembok menuju rumah tetangganya dan bersembunyi didalam tumpukan kayu. Agnes sendiri tidak dapat melarikan diri. Dia sedang duduk di kamarnya ketika polisi menyerbu rumahnya. Polisi yang bersemangat menyerbu rumah itu, menangkap Agnes dan kemudian mencari ke rumah di sebelahnya dan menemukan Kolumba, dan kemudian membawa dia ke rumahnya. Kemudian, Kolumba marah karena melihat perlakuan kasar polisi kepada adiknya yaitu Agnes, dia memprotes dengan cara yang bermartabat: “Jika kalian ingin menangkap kami, kami akan mengikuti kalian tanpa basa-basi. Namun, mengapa kalian menganiaya seseorang yang dianggap seperti seorang penjahat negara?”
Polisi memasukkan dua saudari itu dalam satu ruangan dan bermalam di rumah itu dan berpesta bersama dengan anjing dan ayam di rumah itu. Pada pagi harinya, polisi mengikat dua saudari itu dengan seutas tali merah dan menunukkan mereka kepada kepala desa, kemudian mereka dibawa ke Seoul.
Tak lama setelah mereka tiba di Departemen Hukum, proses interogasi dimulai. Hakim bertanya kepada Kolumba.
“Dikatakan bahwa kamu percaya akan Gereja Katolik. Apakah benar demikian?” “Benar. Saya menyembah dan menghormati Allah.” “Mengapa kamu percaya akan ajaran yang dilarang oleh negara? Mengapa kalian umat Katolik menolak untuk mempersembahkan ritual leluhur?” “Ritual leluhur tidak ada artinya. Dalam dunia ini dibenarkan bagi seorang anak untuk mempersiapkan makanan bagi orang tuanya yang berada di penjara dan meminta mereka keluar untuk memakannya, namun jika orang tua itu tidak dapat keluar dan memakan makanan yang telah disiapkan bagi mereka, apa gunanya?” Kemudian hakim melanjutkan, “Apakah itu yang kamu katakan. Namun demikian, tidak mempersembahkan ritual bagi leluhur adalah tindakan yang menghancurkan hubungan manusia. Katakan bahwa kamu menyerah dari imanmu dan beri tahu kami di mana kalian menyembunyikan buku-buku dan keberadaan umat Katolik lainnya. Beri tahu kami keberadaan kakakmu? Mereka menjawab, “Bahkan jika kami harus mati sepuluh ribu kali, kami tidak dapat menyangkal iman kami kepada Allah. Kami juga tidak tahu di mana kakak kami berada.”
Kedua saudari ini juga menjelaskan mengapa mereka tidak dapat mengkhianati umat Katolik lainnya dan menyerahkan buku-buku rohani mereka. Kemudian persiapan dilakukan untuk menyiksa mereka. Hal yang lumrah untuk menyiksa umat Katolik yang telah ditangkap dan diinterogasi. Polisi pertama kali memukul mereka di seluruh tubuhnya, kemudian menggunakan sebuah gada berduri dan memukulkannya di pundak, lengan, dan kedua kaki mereka yang terikat. Namun ekspresi wajah mereka tidak berubah. Komandan menjadi marah dan berteriak, “Gunakan kekuatan kalian lebih kuat lagi. Pukul mereka lebih keras!”
Jadi, mereka merasakan sakit dari ‘jurae’ sebanyak lima kali. Antara setiap sesi, polisi membujuk mereka dengan janji-janji dan harapan-harapan jika mereka mengubah pikiran mereka. Namun demikian, kedua saudari ini tidak goyah. Mereka menggelengkan kepala mereka dan tetap diam. Tulang kaki mereka bengkok karena disiksa dengan menggunakan ‘jurae’. Selama semua siksaan itu, kedua saudari itu tampaknya sudah menikmati kedamaian surgawi. Mereka tidak pernah bersuara sedikitpun. Sering kali mereka yang menjadi martir memanggil “Yesus, Maria” selama mereka disiksa, namun kedua saudari ini tidak berkata apa-apa.
Mereka berdoa dalam keheningan seakan-akan bercakap-cakap secara langsung dengan Yesus dan Maria. Sipir penjara tidak dapat menyembunyikan kekagumannya akan kegigihan mereka untuk tetap diam. Hal ini membuat mereka lebih marah dan lebih jahat lagi. Sipir penjara berpikir bahwa kedua wanita itu dirasuki oleh kekuatan setan. Mereka merobek pakaian kedua saudari itu dan menuliskan huruf-huruf ‘jumun’ (semacam mantra atau jimat) di punggung mereka. Kemudian mereka membakarkan bentuk huruf-huruf itu ke punggung mereka sampai tiga belas kali dengan sebuah penusuk daging yang membara. Namun, kedua wanita itu seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan ketika daging punggung mereka dibakar, ekspresi tenang mereka tidak berubah.
Jaksa memulai interogasinya. Pertama kali dia bertanya kepada mereka tentang kehidupan selibat mereka. “Kalian sudah dewasa, mengapa kalian tidak menikah?” Kolumba Kim Hyo-im menjawab: “Kami ingin menjaga pikiran dan tubuh kami tetap murni seutuhnya sehingga kami dapat melayani Tuhan dengan setia dan memberikan sukacita yang lebih besar bagi Dia.” Agnes pun memberikan jawaban yang sama. Jaksa berusaha menggunakan hal itu untuk melawan mereka. Jaksa berpikir, jika dia merasakan penghinaan dan pelecehan yang memalukan kepada mereka sebagai seorang perawan, mereka akan menyerah dan menyangkal iman mereka.
Jaksa menyerahkan mereka kepada penjaga yang lebih kasar lagi dengan perintah untuk semakin menghina mereka dengan menyuruh mereka menari ‘tarian bangau’. Hukuman ini terdiri dari menelanjangi tahanan yang kedua tangannya diikat di punggungnya, mengikat tali di antara kedua tangannya dan menahannya di tempat umum. Kemudian empat penjaga secara bergantian mancambuki para tahanan dengan tongkat dari bambu. Setelah beberapa menit, mulut para tahanan akan mengeluarkan busa, lidahnya akan menjulur dan wajahnya akan berwarna biru tua. Jika tidak segera dibaringkan, maka dia akan mati. Bagi wanita, hal itu merupakan siksaan yang brutal.
Kedua saudari ini diseret ke sebuah sel yang terpencil, pakaian mereka dilucuti dan disiksa dengan cara tersebut. Para penjaga yang kasar sudah kehilangan rasa belas kasihan mereka dan mereka berhenti sejenak ketika kedua saudari itu berada dalam ambang kematian, dan memberikan istirahat kepada mereka, sehingga mereka dapat bangun kambali untuk melanjutkan kekejaman mereka. Walaupun rasa sakit dan penghinaan, Kolumba Hyo-im dan Agnes Hyo-ju tidak pernah kehilangan keberanian dan tidak pernah bersuara.
Ketika jaksa melihat bahwa ‘tarian bangau’ tidak cukup untuk membuat mereka mengubah pikirannya, dia berpikir untuk membuat cara yang lebih kejam lagi. Dia memutuskan untuk menghancurkan keperawanan wanita muda itu. Jika keperawanan mereka yang dipersembahkan bagi Allah itu dinodai, mereka akan menjadi takut dan menyangkal iman mereka. Jaksa menelanjangi mereka, dan menempatkan mereka di antara para tahanan pria. Namun demikian, Allah melindungi mereka di sana, dan selama dua hari mereka selamat tanpa dinodai di antara para pria yang sudah biasa melakukan kejahatan.
Seolah-olah, Roh menyelimuti mereka dengan kekuatan-Nya. Para pria di dalam sel sepertinya mengenali kekuatan misterius di dalam diri mereka dan membiarkan mereka tanpa disentuh. Tak lama kemudian, penjaga mengembalikan pakaian mereka dan menempatkan mereka kembali di sel bersama dengan para wanita lainnya. Mereka dikirim ke Departemen Hukum. Kepala hakim menginterogasi mereka.
“Apakah ada tidak ada cara lain untuk menjalankan kebajikan dan melakukan kebaikan selain memasuki Gereja Katolik?” Kolumba Kim Hyo-im menjawab dengan jelas: “Tidak, tidak ada jalan lain.” “Apakah kalian pikir bahwa Konfusius dan Mencius adalah orang bijak?” “Mereka adalah orang-orang bijak hanya untuk dunia ini.” Menjelang akhir interogasi, Kolumba Kim Hyo-im berkata, “Seorang kepala hakim dikatakan sebagai ayah bagi orang banyak. Namun demikian, saya ingin berkata tentang apa yang ada di dalam pikiran saya. Mohon izinkan saya.”
Kepala hakim memperbolehkan dia untuk bicara. Kolumba Kim Hyo-im mengaitkan dengan apa yang terjadi kepada adiknya dan dirinya sendiri ketika mereka di penjara.
“Meskipun dia adalah putri dari seorang bangsawan atau orang biasa, kemurnian seorang wanita muda berhak untuk dihormati. Jika Anda ingin membunuh saya berdasarkan hukum negara, saya dengan rela menerima hukuman itu. Namun, saya tidak berpikir bahwa tidak benar untuk menderita karena penghinaan yang bukan bagian dari hukum dan saya merasa keberatan.”
Kepala hakim merasa heran dengan apa yang telah dia katakan dan nyatakan, “Kemurnian dari wanita ini sama berharganya dengan batu giok putih. Kebiadaban apa yang membuat dia merasa terhina?” Kepala hakim memerintahkan agar kejadian itu diselidiki dan laporannya dikirimkan ke Departemen Hukum.
Kedua saudari itu dibawa dari pengadilan untuk disiksa dan diinterogasi lebih lanjut. Penyelidik yang menangani mereka meminta mereka supaya memberitahukan keberadaan umat Katolik lainnya dan juga secara khusus tentang kakaknya yaitu Antonius. Mereka menolak untuk menjawab, dan dengan ini mereka memilih jalan kemartiran.
Pada tanggal 3 September 1839, Agnes Kim Hyo-ju dipenggal di luar Pintu Gerbang Kecil Barat Seoul bersama dengan lima orang Katolik lainnya. Pada saat itu, Agnes berusia 24 tahun. Pada tanggal 26 September, Kolumba Kim Hyo-im dipenggal di tempat yang sama bersama dengan delapan orang Katolik lainnya. Pada saat itu, Kolumba berusia 26 tahun. Kedua saudari itu dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.[1]