Agastya (Tamil:அகத்தியர் Akattiyar, Sanskerta:अगस्त्य, Melayu: Anggasta, Thai: Akkhot) adalah seorang resi dari India Selatan. Di dalam sejarah penyebaran Agama Hindu, Resi Agastya adalah sangat terkenal jasa-jasanya. Menurut pustaka Purana dan Mahabharata, dia lahir di Kasi (Benares) sebagai penganut Siwa yang taat.[1]

Arca Resi Agastya dari Bihar, India. Agastya digambarkan sebagai sosok resi yang berjanggut dan berperut buncit.
Patung Agastya dari Candi Banon (Museum Nasional)

Oleh karena kebesaran dan kesucian Maha Rsi Agastya, maka juga disebut Batara Guru sebagai perwujudan Siwa di dunia mengajarkan dharma.[1] Di dalam sejarah agama Hindu di Indonesia, Maha Rsi Agastya disucikan namanya dalam prasasti-prasasti dan kesusastraaan-kesusastraan kuno. Yang terdahulu sekali menyebut nama dia ialah Prasasti Dinoyo di Jawa Timur Tahun Saka 682 di mana seorang raja bernama Gajayana membuat pura suci yang sangat indah untuk Maha Rsi Agastya dengan maksud untuk memohon kekuatan suci untuk mengatasi kekuatan yang hebat.

Kehidupan

sunting

Kelahiran Agastya

sunting

Riwayat kehidupan Agastya tidak diceritakan secara kronologis, namun tersebar dalam berbagai literatur. Agastya merupakan anak dari Pulastya.[2] Catatan lain menyatakan bahwa Agastya lahir dari dalam kendi tanah dari setelah dilakukan yadnya oleh Dewa Baruna dan Dewa Mitra yang memunculkan Dewi Urwasi. Kelahiran Agastya juga dibarengi oleh kelahiran kembarannya, Wasista. Kemunculan mereka dari kendi tanah membuat keduanya dikenal juga sebagai "kumbhayoni" atau "maitrawaruni" yang berarti lahir dari kendi.[3] Agastya tumbuh dengan tubuh yang pendek. Ia kemudian mempelajari Weda dan berbagai senjata gaib. Kemampuannya bertambah dan semakin mahir.[4]

Perjalanan ke selatan

sunting

Disebutkan dalam Ramayana oleh cerita Rama kepada Sita, Agastya melakukan perjalanan ke selatan India dan tinggal di sana. Gunung Windya diceritakan memiliki rasa iri pada Gunung Himalaya, sehingga puncaknya menutupi langit dan mempersulit makhluk hidup untuk melewatinya. Agastya kemudian datang dan meminta ijin untuk melewatinya dan meminta gunung tersebut untuk menunduk selama ia berjalan di atasnya. Agastya memilih untuk tinggal dan gunung tersebut diceritakan masih menunggu Agastya lewat. Selain itu, selama tinggal di sana Agastya juga membunuh dua iblis yang memakan korban 9.000 orang.[5] Keberadaan Agastya di selatan dipercaya untuk menjaga keseimbangan bumi bersama dengan dewa lainnya yang tersebar di penjuru bumi lainnya.

Pernikahan dengan Lopamudra

sunting

Agastya juga memiliki seorang istri bernama Lopamudra. Dalam Mahabharata Lopamudra dikenal sebagai hasil tangan Agastya yang dibuat dari berbagai bagian paling indah dari hewan. Mengetahui bahwa Raja Widarbha tidak dikaruniai anak, sang petapa memberikan perempuan tersebut sebagai anak raja.[6] Saat raja mengetahui bahwa sudah saatnya Putri Lopamudra untuk menikah, ia mencari nasihat Agastya. Kemudian petapa tersebut meminang Putri Lopamudra. Walaupun ayahnya sungkan, tetapi dengan rela hati Lopamudra menerima pinangan Agastya dan keduanya melangsungkan pernikahan. Sebagai seorang petapa, Agastya meminta Lopamudra untuk hidup sederhana dan meninggalkan kekayaannya.[7]

Suatu saat Agastya ingin tidur bersama Lopamudra dan memenuhi janjinya kepada nenek moyangnya, namun Lopamudra menolak. Lopamudra meminta suaminya untuk memberikannya kekayaan seperti yang dimiliki ayahnya.[8] Meskipun menurut Agastya hal tersebut bertentangan dengan kesederhanaan petapa, tetapi demi memenuhi janjinya pada nenek moyangnya, ia berusaha memenuhi keinginan Lopamudra.[9]

Untuk memenuhi hal tersebut ia menemui tiga raja, yakni Srutarwa, Bradnashva, dan Trasadasyu, namun ketiganya tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk dibagikan kepadanya.[10] Bersama tiga raja ia pergi menemui Illwala. Keempat tamu disuguhi daging yang merupakan Batapi, saudaranya. Mengetahui apa yang ada di balik sajian tersebut, ketiga raja menjadi sedih dan putus asa, tetapi Agastya meyakinkan mereka dengan memakan seluruh sajian. Ketika waktu makan selesai, Ilwala memanggil saudaranya untuk keluar, tetapi Agastya hanya melepaskan tawa dan mengatakan bahwa ia sudah mencerna Batapi. Hal tersebut membawa kesedihan bagi Illwala, tetapi ia tetap memberikan apa yang dicari oleh keempat tamunya. Tiga raja dan sang petapa kemudian kembali dengan emas dan harta benda lainnya.[11] Setelah Agastya menunjukkan apa yang ia dapat, ia kemudian tidur dengan Lopamudra dan dikaruniai anak, yakni Dredhasyu.

Catatan Mengenai Pengaruh di Asia Tenggara

sunting

Tokoh Agastya memegang peranan penting dalam penyebaran agama Hindu di Asia Tenggara, terutama Jawa, Indonesia. Hal ini dikuatkan dengan keberadaan Prasasti Dinoyo yang diperkirakan dibuat pada Tahun Saka 682. Dalam prasasti disebutkan mengenai pembangunan tempat tinggal untuk Rsi Agastya. Prasasti lain yang mencatat mengenai keberadaan Agastya yakni Prasasti Porong. Prasasti ini berisi tentang beberapa nama lain yang disematkan pada Agastya. Selain itu juga nama petapa ini juga tercatat di Ratu Boko.[12]

Selain prasasti, terdapat beberapa teks yang memperkuat pengaruh keberadaan Agastya dalam penyebaran agama. Kakawin Hariwangsa menyebutkan keberadaan Agastya sebagai penuntun dari Raja Jayabaya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara penganut Wisnu dan Siwa sebagai bentuk pendewasaan dari raja tersebut.[12] Selain itu, teksAgastyaparwa yang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Sanskerta. Isinya berupa pertanyaan Dreshasyu yang mewakili seorang siswa kepada ayahnya yang mewakili seorang guru mengenai alasan manusia naik ke surga atau ke neraka. Teks ini dibuat dengan format yang mirip dengan percakapan di India. Beberapa bangunan di Asia Tenggara juga menunjukkan pengaruh Agastya lewat patung dan ukiran. Candi Prambanan yang terletak di Jawa Tengah memiliki patung Agastya yang dapat ditemukan di sebelah selatan komples candi.[13]

Pertapaan

sunting

Dalam beberapa purana, disebutkan Agastya memiliki beberapa pertapaan seperti: Agastyapuri dan Akolha di sekitar Nashik; Kolhapur, Maharashtra; Sarai Aghat, Uttar Pradesh; Agastya Kuta, Gunung Trinelveli; Agastyamuni, Gharwal; dan beberapa lokasi di selatan India.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ a b BPCB Jateng (2 Maret 2016). "Agastya". Indonesiana. Diakses tanggal 5 Agustus 2020. 
  2. ^ Viswanathan, Priya (2020-01-16). "Ancient Rishis of India - Part 2 - Kanva | Kapila | Kashyapa | Lopamudra | Markandeya | Parashara | Parashurama | Pulastya | Valmiki | Vasishtha | Vishvamitra | Vyasa". Dolls of India (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-07. 
  3. ^ Goodman, Hananya (2012-02-01). Between Jerusalem and Benares: Comparative Studies in Judaism and Hinduism (dalam bahasa Inggris). SUNY Press. hlm. 218. ISBN 978-1-4384-0437-0. 
  4. ^ a b Garg, Gaṅgā Rām (1992). Encyclopaedia of the Hindu World (dalam bahasa Inggris). Concept Publishing Company. hlm. 199. ISBN 978-81-7022-374-0. 
  5. ^ Buck, William (1981). Ramayana (dalam bahasa Inggris). University of California Press. hlm. 138–139. ISBN 978-0-520-22703-3. 
  6. ^ "The Mahabharata, Book 3: Vana Parva: Tirtha-yatra Parva: Section XCVI". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2020-08-08. 
  7. ^ "Lopamudra". www.mythfolklore.net. Diakses tanggal 2020-08-07. 
  8. ^ Leslie, Julia (2014-02-04). Myth and Mythmaking: Continuous Evolution in Indian Tradition (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 34. ISBN 978-1-136-77881-0. 
  9. ^ "The Mahabharata, Book 3: Vana Parva: Tirtha-yatra Parva: Section XCVII". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2020-08-08. 
  10. ^ Pelissero, Alberto (2018). Jain, Pankaj; Sherma, Rita; Khanna, Madhu, ed. Hinduism and Tribal Religions (dalam bahasa Inggris). Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 1–3. doi:10.1007/978-94-024-1036-5_551-1. ISBN 978-94-024-1036-5. 
  11. ^ "The Mahabharata, Book 3: Vana Parva: Tirtha-yatra Parva: Section XCIX". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2020-08-08. 
  12. ^ a b Gonda, Jan (1975-01-01). Handbook of Oriental Studies. Section 3 Southeast Asia, Religions, Religionen (dalam bahasa Inggris). BRILL. hlm. 13. ISBN 978-90-04-04330-5. 
  13. ^ Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor (dalam bahasa Inggris). ABC-CLIO. hlm. 1101. ISBN 978-1-57607-770-2. 

Pranala luar

sunting