Afdeling Poso

(Dialihkan dari Afdeeling Poso)

Afdeling Poso (bahasa Belanda: Afdeeling Poso), adalah salah satu wilayah administrasi afdeling di bawah Karesidenan Manado, Gubernemen Groote Oost. Afdeling ini dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1934, bersama dengan Afdeling Donggala. Ibu kotanya terletak di Poso.[1]

Afdeling Poso dibagi menjadi lima wilayah Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir atau pengawas dan dijabat oleh orang Belanda. Afdeling Poso terdiri dari Onderafdeling Banggai, Onderafdeling Luwuk, Onderafdeling Kolonodale, Onderafdeling Poso, dan Onderafdeling Parigi. Pemerintahan dijalankan oleh Belanda, tetapi kerajaan-kerajaan di wilayah ini tetap berjalan sesuai dengan pemerintahan lokal masing-masing.[2]

Sejarah

sunting

Pada tahun 1800an, tokoh Hindia Belanda, Adriani dan Kruyt dalam buku mereka yang berjudul De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes mengistilahkan istilah Toradja(Toraja) untuk sebagian kecil orang yang hidup seperti yang sekarang ini disebut "gelandangan".[3]

Di wilayah Sulawesi bagian Poso dan Tojo, dahulunya ada istilah Toraja diciptakan Belanda untuk menamakan Suku Bare'e (Bare'e-Stammen ; Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), tetapi masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning, dan Alfouren yang mau ikut Belanda inilah yang disebut dengan istilah Toraja (Toradja).

Alfouren yang bergaya hidup seperti Gelandangan yang diistilahkan Belanda dengan istilah Toradja tersebut harus meninggalkan kebiasaan dari suku lama mereka yaitu Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), karena Suku Bare'e telah banyak yang beragama Islam sehingga bagi pihak Belanda kemudian mengistilahkan "Van Heiden Tot Christen"[4] untuk penduduk asli suatu wilayah yang wilayahnya dinamakan Belanda dengan nama Grup Poso-Tojo yang memiliki nama lain Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Toradja Bare'e) dengan Suku Bare'e sebagai suku asli pemilik wilayah tersebut, dan istilah "Van Heiden Tot Christen" sudah sangat dikenal di wilayah Grup Poso-Tojo, dan orang Toradja (istilah bagi orang Bare'e yang bukan beragama Islam) ini kemudian diberi makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan pengajaran Agama Kristen.

Di wilayah Kerajaan Tojo, Setelah di teliti oleh Albertus Christiaan Kruyt, sebuah tempat yang bernama Lamusa[5], hanyalah wilayah kosong yang susah untuk ditempati orang, hal itu semakin dibuktikan ketika Walter Kaudern seorang peneliti dari negara swedia datang ke wilayah yang dulunya di tempati oleh to lamusa tahun 1916, Walter Kaudern menemukan sebuah "kebohongan besar" tentang Lamusa[6], dan Walter Kaudern hanya menemukan tanah kosong tanpa penghuni, dan adapun kalau ditempati tanah tersebut sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama sekali, karena tanahnya sangat sulit untuk dibuatkan semacam rumah tempat tinggal, jadi kemudian dia menyimpulkan ternyata to lamusa sudah lama meninggalkan wilayahnya dan di bekas tanah yang ditempati oleh to lamusa pada jaman dahulu kini didirikan desa-desa oleh orang-orang to pu’umboto (puumboto). Dan mengenai Kerajaan mana pemilik Tana Poso di Tana Poso teridentifikasi terjadi Politik adu domba (divide et impera) antara Kerajaan Tojo dengan Kerajaan Luwu dari pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan Poso milik Kerajaan Luwu yaitu Dengan adanya pernyataan dari pihak Toraja Kristen di Poso bahwa Tana Poso adalah milik Kerajaan Luwu melalui gerakkan menarik upeti Monangu Buaja[7], dan Poso milik Kerajaan Tojo dengan pernyataan dari pemimpin tana poso yang diangkat pemerintah Hindia Belanda yaitu To Kadambuku yang menyebutkan bahwa Tana Poso adalah milik Kerajaan Tojo karena terikat Mobalusala (pemberian upeti tandan padi).[8]

Dan setelah zaman penjajahan, sumber awal yang berasal dari orang-orang Umat Kristen yang mengaku dari Kerajaan luwu, dan dari penelitian oleh Albertus Christiaan Kruyt dari Belanda dan Walter Kaudern dari Swedia membuktikan sebuah "kebohongan besar", agar Sejarah Poso menjadi kabur.[9]

Keagamaan

sunting

Dijaman penjajah, Belanda melarang semua bentuk kepercayaan Lamoa yang bertuhan kepada Puempalaburu, dan membebaskan budaya dan adat yang tidak berhubungan dengan kepercayaan lamoa seperti Tari Moraego, Tari Mokayori, dll.[10]

Khusus di wilayah Sulawesi bagian tengah (midden celebes) yaitu Wilayah Grup Poso-Tojo Istilah Toraja diciptakan Belanda untuk menamakan Suku Bare'e (Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), dan semua Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang masih beragama Lamoa harus mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) dan bukan lagi Bare'e, tetapi walaupun begitu masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning.


Maka penduduk asli atau ALFOUREN di wilayah Grup Poso-Tojo dibagi 2 Kelompok yaitu :

1. Bare’e, atau Suku Bare'e[11] (Bare’e-Stammen) yang beragama Islam (Mohammadisme), dan Suku Bare'e yang masih beragama Lamoa (Bertuhan PueMpalaburu), dan

2. Toraja (Toradja)[12] yang Orang-orangnya diambil dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang beragama Lamoa, dan Alfouren yang mau ikut Belanda inilah yang disebut Toraja, sehingga bagi pihak Belanda kemudian mengistilahkan “Van Heiden tot Christen”, yang semua Toraja tersebut berasal dari wilayah wotu, luwu, yang sekarang wilayah dari Kabupaten Luwu Timur, yang dijelaskan dalam buku "De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes" jilid 1 halaman 5, sub.bab Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen[13].

Tetapi perkembangannya Suku Bare'e yang beragama Lamoa lebih banyak yang ikut dengan Suku Bare'e yang beragama islam karena belum terbiasa dengan kebiasaan hidup Orang-orang Belanda yang berkulit putih dan bermata biru.

Penolakan istilah Toraja di Sulawesi Tengah

sunting

Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[14], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.

Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[15] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[16]

Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[17]

Referensi

sunting
  1. ^ Tirtosudarmo 2008, hlm. 12.
  2. ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 297-298.
  3. ^ De bare'e-sprekende toradja's van midden-celebes, SERIES [1]", Diakses 21 Juni 2023.
  4. ^ Van Heiden tot Christen, dari agama suku masuk agama kristen [2]", Diakses 31 Mei 2023.
  5. ^ To Lamusa, sebuah kebohongan besar yang terbukti, lihat halaman 33, [3]
  6. ^ To Lamusa, hanyalah tanah kosong yang tidak berpenghuni halaman 122, [4]
  7. ^ "POSSO" HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen). [5].
  8. ^ AANRAKINGEN MET DEN DJENA VAN TODJO, De Bare'e-Sprekende jilid 1 halaman 139.[6].
  9. ^ MONANGU BUAYA (krokodilzwemmen), page 151. [7].
  10. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: BELANDA MELARANG SEMUA BUDAYA YANG BERHUBUNGAN DENGAN LOBO SUKU BARE'E, [8], Diakses 3 Juli 2023.
  11. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 119, De Namen of Stamenners [9]", Diakses 21 Juni 2023.
  12. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 6, Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen [10]", Diakses 21 Juni 2023.
  13. ^ Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen [11]", Diakses 30 Juni 2023.
  14. ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA HANYA SAMPAI MOROWALI, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH. [12].
  15. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [13], Diakses 30 Juni 2023.
  16. ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [14].
  17. ^ Aragon 2000, hlm. 2.

Sumber

sunting