Paus Adrianus VI
Adrianus VI (2 Maret 1459 – 14 September 1523) adalah Paus yang menjabat sejak 9 Januari 1522 sampai 14 September 1523. Ia adalah satu-satunya orang berkebangsaan Belanda yang pernah memerintah di Takhta Suci. Ia juga paus terakhir yang berasal dari luar Italia hingga terpilihnya Paus Yohanes Paulus II di abad ke-20. Ia adalah satu-satunya paus di era modern yang mempertahankan nama baptisnya, selain Paus Marselus II dan paus terakhir dengan nama Adrianus.[1]
Paus Adrianus VI | |
---|---|
Awal masa kepausan | 9 Januari 1522 |
Akhir masa kepausan | 14 September 1523 |
Pendahulu | Leo X |
Penerus | Klemens VII |
Informasi pribadi | |
Nama lahir | Adrian Florisz Dedel |
Lahir | 2 Maret 1459 Utrecht, Belanda |
Meninggal | 14 September 1523 Roma, Italia |
Adrianus VI hanya menjabat satu setengah tahun sebagai paus karena kesehatannya yang buruk. Ia memiliki beberapa kebijakan radikal yang berbeda dari pada pendahulunya, termasuk mengusir seniman dan pelacur dari Vatikan. Ia juga mengajak raja-raja Eropa untuk berperang melawan Turki Ottoman dan berupaya melakukan Reformasi Gereja sebagai jawaban atas tesis-tesis Martin Luther yang memimpin protes tentang kemunduran gereja katolik. Sayangnya, reformasinya tidak berjalan baik hingga akhir hayatnya.[1][2][3]
Paus ini memancing amarah sekian rohaniwan inti Vatikan karena menyatakan koreksi diri bahwa "Martin Luther tidak akan pernah menimbulkan kericuhan dalam tubuh Gereja, jika Gereja sendiri mau berbenah diri".
Kehidupan awal
suntingAdriaan Florenz Dedel lahir di Wilayah Keuskupan Utrecht, Belanda. Ia lahir dari keluarga biasa. Ayahnya, Florenz Dedel, adalah pembuat kapal dan tukang kayu keturunan Jerman. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil sehingga Adriaan dirawat sendiri oleh ibunya. Dia awalnya dididik ibunya sendiri di rumah sebelum masuk ke sekolah di Zwolle. Pada 1476 dia belajar filsafat, teologi, dan hukum di Universitas Leuven dengan beasiswa oleh Margaret dari Burgundy. Dia meraih gelar doktor di bidang teologi pada 1491.[2][3][4]
Karier
suntingAdriaan mengawali kariernya sebagai profesor teologi di Universitas Leuven. Dia terpilih sebagai pemimpin Gereja Santo Petrus di Leuven dan rektor universitas. Kuliah-kuliahnya dipublikasikan berdasarkan catatan para mahasiswanya. Salah satu mahasiswanya yang terkenal adalah Erasmus dari Rotterdam.
Pada 1506 dia dipilih oleh Kaisar Romawi Suci Maximilian I untuk menjadi tutor bagi cucunya, yang kelak diangkat sebagai Kaisar Karl V yang saat itu berusia 6 tahun. Karl V mempelajari berbagai hal dari Adriaan, dan yang terpenting adalah kepercayaan agama. Kariernya sebagai tutor dan profesor membawanya ke posisi lain yang lebih tinggi. Pada 1515, Adriaan dikirim ke Spanyol untuk misi diplomatik. Ia kemudian menduduki jabatan sebagai Uskup Tortosa.
Pada 1516 dia terpilih sebagai Inkuisitor Utama untuk kerajaan Aragon dan Kastila. Setahun setelahnya, Paus Leo X mengangkatnya sebagai kardinal Gereja Katolik Roma. Adriaan juga menjabat sebagai gubernur Spanyol bersama Francisco Cardinal Jimenez de Cisneros. Setelah kematian Jimenez, pada Maret 1518 Adriaan ditunjuk sebagai jenderal inkuisisi kerajaan Aragon dan Kastila hingga ia diangkat sebagai paus. Ia kembali ditunjuk sebagai gubenur Spanyol pada 1520 oleh Karl V. Pada masa itu, dia harus menghadapi Pemberontakan Comuneros yang berlangsung hampir setahun hingga hingga April 1521.[4]
Pemilihan Paus
suntingSetelah kematian Leo X, konklaf untuk memilih paus baru dihadiri 39 kardinal, sedangkan 9 kardinal termasuk Kardinal Inggris Thomas Wolsey absen. Keputusan membutuhkan suara 2/3 mayoritas tetapi keputusan sulit diambil pada saat itu karena rivalitas politik dan perbedaan pendapat antar kardinal. Konklaf berlangsung selama 51 hari pada tanggal 27 Desember 1521 hingga 9 Januari 1522.[5]
Konklaf terbagi menjadi kubu kardinal Italia dan non-Italia dan tidak ada kardinal yang punya suara yang cukup. Faksi Kardinal Italia cenderung mendukung Kardinal Giulio de' Medici, keponakan Leo X dari Wangsa Medici. Namun, faksi-faksi lain yang tidak ingin Wangsa Medici kembali berkuasa juga berbeda pendapat terkait pengaruh dari Kekaisaran Romawi Suci atau Kerajaan Prancis di Italia.[5] Kardinal Giulio de' Medici yang sebenarnya menginginkan takhta paus untuk dirinya sendiri mencoba mengusulkan Kardinal Adriaan Florenz Dedel yang pada saat itu di Spanyol, menjabat sebagai gubernur, sebagai kompromi saat terjadi kebuntuan. Di kalangan kardinal, tak banyak orang yang mengenalnya meskipun kariernya bervariasi dan ia adalah orang kepercayaan Charles V. Ia bukan orang Italia, bukan berasal dari keluarga Borgia atau Medici yang merupakan keluarga terpandang di Eropa dia berada di luar permainan politik Kuria Roma. Kardinal Giulio cukup yakin usulannya akan ditolak dan dia sendiri dianggap sebagai kandidat paus yang ideal.[6][7] Namun, tak disangka, Kardinal Adriaan malah mendapatkan suara yang cukup untuk terpilih sebagai paus. Terpilihnya Adriaan dianggap sebagai suatu kompromi di konklaf ketika kubu pro kardinal Prancis dan Jerman tidak dapat membuat kesepakatan. Selain itu, Adriaan saat itu sudah berumur 62 tahun dan punya kesehatan yang buruk. Ia dianggap pilihan yang tepat sebagai paus sementara.[6][2] Adriaan sendiri juga tak menyangka dirinya menjadi paus setelah berita intelejen sampai padanya.[4]
Masa kepausan
suntingAdrianus VI akhirnya terpilih sebagai paus baru pada 9 Januari 1522. Namun, ia membutuhkan waktu lebih dari setengah tahun untuk pindah dari Spanyol ke Vatikan. Ia tiba di Roma pada 29 Agustus 1522. Penahbisannya dilakukan pada 31 Agustus 1522 di Basilika Santo Petrus.[3] Ia adalah paus non-Italia terakhir hingga terpilihnya Yohanes Paulus II pada 1978. Di luar tradisi pada umumnya di mana paus baru akan memilih nama baru, Adrianus VI tetap memakai nama baptisnya dan menjadi paus terakhir yang memakai nama Adrianus.[8]
Karl V bahagia setelah mendengar kabar mantan tutornya menjadi paus. Namun, ia kecewa setelah mengetahui paus baru itu memutuskan untuk menjadi paus yang netral. Sebaliknya, François I yang awalnya berpikir Adrianus VI adalah alat Kaisar Romawi Suci kemudian berbalik arah untuk mendukungnya dan mengirimkan duta besar untuk menyampaikan penghormatannya.[3]
Tidak seperti kardinal lain di Roma yang terbiasa dengan kekuasaan dan kemewahan, Adrianus VI memiliki gaya hidup sederhana dan memahami alasan ketidakpuasan masyarakat. Jadi, ia pun secara terbuka meminta maaf atas kesalahan para pendahulunya dan berjanji untuk membersihkan keseluruhan gereja, dimulai dari Kuria Roma.[9] Adrianus VI terkenal sebagai paus yang saleh. Ia mungkin paus pertama dan satu-satunya yang menyelenggarakan misa setiap hari. Ia juga mengawasi sendiri reformasi yang digagas seperti studi keinjilan, pendidikan pastor, dan peningkatan dakwah.[9]
Paus baru ini segera melakukan perubahan radikal yang berbeda dari kebijakan para pendahulunya.[2][4] Ia menolak tradisi untuk entri yang mulia (Glorious Entry), mengirim pencuri, pelacur, dan gelandangan ke luar kota, memerintahkan kardinal untuk mencukur jenggot yang dianggap sebagai bentuk kesombongan, dan menolak segala permintaan untuk bantuan atau lowongan pekerjaan. Ia juga mengumumkan akan menghapus badan-badan yang diciptakan pendahulunya dan menjalankan program pengurangan anggaran besar-besaran untuk mengisi kembali kas Vatikan yang kosong.[9] Ia mengurangi jumlah staf dan pekerja di istana kepausan. Ia bahkan memecat semua staf pribadi paus, termasuk koki, pelayan, dan penghibur. Ia hanya mempekerjakan satu pelayan asal Belanda.[2][3] Kebijakan ini menjadi bumerang bagi Adrianus VI karena memberhentikan administrator yang penting sehingga urusan kepausan sempat tertunda dan Adrianus VI kesulitan mengambil keputusan penting.[10]
Adrianus VI cenderung tak peduli dengan gerakan Renaisans. Koleksi patung Vatikan dianggapnya tak lebih dari "berhala kafir". Pekerjaan dekorasi apartemen Vatikan dan gerbang yang dibangun kota untuk menyambut dirinya dihentikan, dengan alasan paganisme.[9] Ia memecat seniman, cendekiawan, aktor, musisi, pelawak, dan pelacur yang memenuhi istana-istana kepausan. Hal-hal tersebut menyulut kemarahan warga Roma yang menyebutnya sebagai "musuh asal Utrecht yang pelit dan palsu" dan "manusia barbar".[2][3] Sayangnya, anggota gereja Katolik tidak mau mengubah gaya hidup mereka selama ini yang penuh kemewahan, sedangkan kaum Protestan melihat langkah ini sudah terlambat untuk memulihkan kepercayaan mereka terhadap gereja. Adrianus VI pun gagal dalam hal ini.
Meski memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam pemerintahan, Adrianus VI kurang piawai dalam berpolitik. Pada masa kepausannya, ia kampanye bersama dengan para raja-raja Eropa melawan Turki Ottoman yang telah menguasai Beograd pada 1521 dan kemungkinan akan menguasai Hungaria. Hanya saja hal ini tidak berjalan karena para raja sibuk berdebat di kalangan mereka sendiri. Ia berusaha membujuk Kerajaan Prancis untuk bekerjasama, tetapi Prancis berbalik arah dan mengancam menginvasi Lombardia. Akibatnya, sri paus mendekati Karl V untuk menjalin aliansi dengan kerajaan lainnya. Aliansi Vatikan dan Kekaisaran Romawi Suci sayangnya tak mampu mengatasi pasukan Turki Ottoman. Pada Desember 1522 Turki Ottoman berhasil menguasai Rodos.[10]
Adrianus VI juga mencoba menjawab Reformasi Gereja yang dimulai dari tesis Martin Luther. Ia mengirimkan delegasi ke Diet Nuremberg pada November 1522. Namun, Adrianus VI tak memiliki pemahaman yang mendalam terkait Martin Luther dan gerakan Lutheran di Jerman. Ia menganggap Martin Luther sebagai pemberontak dan jika Luther mengakui kesalahannya, gereja akan menerimanya kembali dan mereka bisa menghentikan pemberontakan. Sebaliknya, Luther telah mengumpulkan kekuatan, gerakan Lutheran telah berkembang dengan pesat, dan ancaman represi terhadap pemberontakan justru membuatnya semakin kuat.[11]
Tak lama setelah ini, ia meninggal dunia karena penyakit. Adrianus VI hanya menjabat selama kurang lebih setahun dan digantikan Kardinal Giulio de' Medici yang bergelar Paus Klemens VII.
Kematian
suntingAdrianus VI meninggal dunia pada September 1523. Kematiannya malah menjadi berita gembira bagi warga Roma dan Eropa. Konon, warga Roma berterimakasih kepada dokter yang gagal menyelamatkan nyawa Adrianus dengan memberi plakat di pintu rumahnya yang berbunyi "Penyelamat Warga Roma".[8][10]
Peninggalan
suntingPaus Adrianus VI memiliki rumah di kampung halamannya di Utrecht yang sekarang dinamakan Paushuize. Dia membangun rumah ini pada 1517 sebagai tempat tinggalnya sepulang dari Spanyol. Setelah terpilih sebagai paus, dia langsung ke Roma sehingga tidak pernah tinggal di rumah ini. Sejak 2005 ada patung dirinya di alun-alun depan Paushuize yang terinspirasi dari lukisan potret dirinya karya pelukis Belanda Jan van Scorel. Di Leuven, ia juga memiliki rumah selama menjadi hakim. Atas donasinya, rumah tersebut diubah menjadi institusi untuk mahasiswa teologi, Kolese Paus (Pope's College).[2]
Di Roma, makamnya terletak di Chiesa di Santa Maria dell'Anima. Makamnya didesain oleh pemahat Baldassare Peruzzi yang menghiasinya dengan relief saat ia pertama kali masuk Roma sebagai paus dan teks yang memuji kehidupan dan karyanya. Makamnya direstorasi pada 1999 dan menjadi salah satu tujuan wisata para peziarah Belanda.[2]
Catatan kaki
sunting- ^ a b "Adrian VI | pope | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-12.
- ^ a b c d e f g h Heering, Aart (2022-01-05). "Adrianus VI: het jubileum van de falende Nederlandse paus". Dit is Italië (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 2023-01-12.
- ^ a b c d e f "Pope Adrian VI". Catholic Encyclopedia.
- ^ a b c d "Pope Adrian VI - New World Encyclopedia". www.newworldencyclopedia.org. Diakses tanggal 2023-01-12.
- ^ a b Duffy 2014, hlm. 202.
- ^ a b Walsh 2003, hlm. 114.
- ^ Strathern 2016, hlm. 291.
- ^ a b O'Malley 2010, hlm. 185.
- ^ a b c d Duffy 2014, hlm. 203.
- ^ a b c Duffy 2014, hlm. 204.
- ^ Duffy 2014, hlm. 203-204.
Referensi
sunting- Walsh, Michael John (2003). The conclave: a sometimes secret and occasionally bloody history of papal elections. Lanham: Sheed & Ward. ISBN 978-1-58051-135-3.
- O'Malley, John W. (2010). A history of the popes: from Peter to the present. Sheed & Ward. ISBN 978-1-58051-229-9.
- Duffy, Eamon (2014). Saints and sinners: a history of the Popes. New Haven & London: Yale University Press. ISBN 978-0-300-11597-0.